Bahasa ibu, hmmm sebetulnya aku harusnya buat artikelnya di tanggal 21 Februari kemarin saat peringatan hari Bahasa ibu internasional , tapi karena ketiadaan waktu jadi baru bisa sekarang, yah sekarang baru sempat.
Pada masa saya kecil, yang dimaksud dengan Bahasa ibu identik dengan Bahasa yang sejak kecil diajarkan oleh ayah dan ibu saya dan itu berkaitan dengan etnis saya. Tapi seiring berjalannya waktu, arti Bahasa ibu ini sudah mengalami pergeseran makna. Bukan lagi Bahasa yang kita gunakan karena kita etnis apa, tapi karena kita berasal dari daerah mana.
Tapi aku pikir apakah definisi ini juga masih layak dipertahankan? bayangkan misal Si A seorang keturunan Sunda campuran Batak, menikah dengan wanita B yang merupakan campuran Dayak dan Tionghoa. Kemudian mereka menikah dan tinggal di Surabaya. Maka menurut standar , mana yang bisa dianggap Bahasa ibu si Anak, apakah sunda dayak, tionghoa, atau batak, atau justru jawa?
Dari beberapa referensi, maka saya mendapat kesimpulan bahwa Bahasa ibu adalah Bahasa yang diajarkan oleh Ibu kepada anaknya. Nah, Bahasa ini bukan lagi merujuk pada identitas etnis maupun daerah, tapi Bahasa yang bisa jadi adalah Bahasa nasional kita.
Masih sering terjadi salah kaprah dalam masyarakat kita bahwa Bahasa ibu identik dengan Bahasa daerah, atau Bahasa yang berdasarkan identitas kesukuan, padahal artinya sudah tidak seperti itu. Sudah banyak contoh di sekitar saya bagaimana anak-anak Jawa yang sejak kecil sudah diajarkan dan dibiasakan untuk berbicara Bahasa Indonesia dan Inggris, bukan Bahasa Jawa.
Artinya Bahasa ibu anak anak tersebut adalah Bahasa Indonesia. Permasalahan berikutnya adalah Indonesia terdiri dari Beragam Bahasa daerah yang harus dilestarikan. Disini terjadi suatu krisis , saat masyarakat terbiasa menggunakan Bahasa nasional sebagai Bahasa ibu, maka kedudukan Bahasa daerah semakin terancam.
Anak-anak yang sudah terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia sejak dini, akhirnya tidak terbiasa berbicara dengan Bahasa daerahnya, apalagi Bahasa yang memiliki tingkatan seperti Bahasa jawa dan bali serta Sunda. Sebagai generasi muda, kita harus berupaya untuk menyelamatkan Bahasa daerah ini agar tetap lestari. Slogan Lestarikan Bahasa daerah, utamakan Bahasa Indonesia, kuasai Bahasa asing akhirnya hanya akan menjadi slogan semata.
Para orang tua berpikir, dalam pergaulan kelak, entah di sekolah maupun di instansi-instansi, anak anak akan berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah, maka bahasa daerah harus menjadi yang utama, bukan Bahasa yang kedua. Apalagi di era globalisasi penguasaan bahasa asing adalah kewajiban, maka kedudukan Bahasa daerah akan semakin lemah.
Hal ini diperkuat jika terjadi perkawinan campur. Ada banyak contoh , pernah dimuat di media Yogyakarta, bagaimana orangtua generasi muda enggan untuk mengajarkan Bahasa daerah karena ribet dan sukar. Belum lagi mereka dari perkawinan campur, maka daripada anak bingung bicara menggunakan bahasa daerah ayahnya atau ibunya, jalan paling aman adalah dengan menggunakan bahasa nasional.
Hmmm, kadang saya juga menyalahkan Lagu Satu Nusa deh. Mengapa? Karena lagu satu nusa satu Bangsa dan satu Bahasa karya L.Manik itu menekankan Bahasa Indonesia sebagai satu Bahasa. Padahal arti satu Bahasa dan Bahasa persatuan itu menurut saya pribadi adalah dua hal yang berbeda.Â
Satu Bahasa artinya Indonesia sebagai satu bangsa memiliki satu Bahasa saja, sementara isi sumpah pemuda menekankan pada Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan.Â