Jaya merasa malu kalau dia harus ke semak semak dan kala ada laki laki yang lewat  dengan menyalakan lampu motor (kan malam) dia memang menutupi wajahnya tapi dia malu luar biasa karena terlihat bokongnya, termasuk saat ayahnya naik motor dan melihat dia lagi BAB di semak (walau ayahnya tidak tahu kalau itu dia,tapi pemikiran Jaya yang tidak terbiasa dengan hal itu yang membuat dirinya malu sendiri)
Jaya akhirnya melakukan pemberontakan dengan kembali ke rumah tuanya dan mengancam melakukan perceraian. Hal yang membikin marah desa tersebut karena selama ini memang tidak ada wanita yang bercerai di desa itu.
Keinginan Jaya hanya sederhana, sebuah toilet di rumahnya, tapi hal yang tidak mungkin dikabulkan karena dalam tradisi agama di desa tersebut (bukan agama Hindu ya, karena ini banyak aliran) membangun toilet di rumah sama saja mengotori rumah tersebut. Hal yang sebenarnya sangat aneh karena para pria di desa itu bisa buang kecil di mana saja, di pagar tembok atau depan rumahnya, tapi kalau toilet dilarang.
Berbagai tekanan yang dilakukan tidak membuat Jaya mundur, bahkan Keshav yang semula menentangnya dan menginginkan dia untuk adaptasi dengan budaya di desa itu, akhirnya justru berusaha memenuhi keinginan Jaya.Â
Aku suka dengan prinsip Jaya yang tidak mundur, karena Jaya melambangkan wanita modern dan berpendidikan tinggi. Jika dia sebagai pemberontak akhirnya menyerah maka akan dilihat oleh para wanita wanita lain bahwa setinggi apapun pendidikan pada akhirnya akan takluk pada budaya dan agama (terlepas dari tradisi itu benar atau tidak). Jaya disimbolkan sebagai wanita berpendidikan yang dianggap ingin lebih tinggi dari tradisi yang sudah mengakar ratusan tahun di desa tersebut.
Aku menyoroti banyak hal di film ini, bahwa di film ini, agama tidak untuk di perdebatkan. Suatu tradisi dan keyakinan harus diterima dengan mentah. Seperti toilet yang dilogika itu sangat dibutuhkan tapi berbenturan langsung dengan budaya. Dan ada suatu adegan di keluarga Jaya bagaimana ada tindakan pemerkosaan yang dilakukan di kawasan sana karena anak gadis saat pergi kelapangan jauh dari rumah akhirnya justru diculik dan diperkosa.Â
Pada akhirnya yang menjadi korban dari masalah toilet ini adalah para wanita. Tapi seperti di negara negara lain, aku melihat di film itu bagaimana wanita justru mendukung budaya yang sebenarnya merugikan mereka sendiri (walau di akhir film mereka kompak melakukan pemberontakan sepertihalnya Jaya sih). Yah, aku melihat wanita sebagai kelompok kelas dua yang hanya mengikuti apa kata pemimpin desa (yang pasti laki-laki)
Aku juga menyoroti kalangan pemuka agama, saat ada musyawarah desa unuk memutuskan apakah mereka diijinkan untuk membangun toilet atau tidak, pemuka desa menggunakan dalil dalil agama dengan Bahasa sansekerta (yang hampir tidak semua orang paham Bahasa tersebut).Â
Hmmmm aku jadi ingat ,kritik ini pas sekali , mungkin juga di Indonesia bagaimana Bahasa tertentu di identikkan dengan pengetahuan tertinggi dan tidak semua bisa berbahasa dan menulis Bahasa tersebut.Â
Hal yang bisa ditemui di Indonesia juga. Karena tidak ada yang bisa berbahasa sansekerta maka apapun yan dikatakan oleh sang pemuka agama itu di iyakan saja oleh penduduk desa, hanya Keshav yang berani menentang.
Masalah budaya ini masih di tambah lagi dengan pemerintah yang punya dana untuk membangun toilet di desa desa tapi terlibat korupsi . Yah, karena desa desa banyak yang tidak mau atau tidak mau tahu masalah pembangunan toilet sementara dana ada, maka dana itu akhirnya malah hilang kemana gak jelas (jelas korupsi) .Â