Apa yang sebenarnya dimaksud dengan bahasa ibu? apakah bahasa yang ditentukan berdasarkan suku/etnis dia berasal atau bahasa yang ditentukan dengan lingkungan sosialnya? dua hal ini memiliki arti yang berbeda. tulisan ini muncul setelah membaca tulisannya mas bain mengenai bahasa jawa yang memprihatinkan, termasuk di wilayah-wilayah yang menjadi kantong pengembangan budaya jawa.
mengapa saya menanyakan hal ini? karena ada dua beda pendapat mengenai hal ini. Setahu saya, bahasa ibu selalu berhubungan dengan suku atau etnis dari mana individu berasal, misalnya seseorang itu sejak lahir adalah suku jawa, maka secara otomatis bahasa ibunya haruslah bahasa jawa, begitu juga dengan orang sunda, orang batak dan sebagainya, termasuk orang keturunan Tionghoa, maka bahasa ibunya adalah bahasa sunda dan bahasa batak dan bahasa Cina. Sementara pendapat yang kedua yang dikemukakan oleh rekan saya yang kebetulan seorang guru bahasa indonesia menyatakan bahwa itu tergantung dengan lingkungan sosial tempat dia berada. Misalnya dia adalah orang jawa, namun dia lahir di Sumatra atau di Jakarta yang lingkungan sosial menggunakan bahasa indonesia, maka secara otomatis bahasa ibunya adalah bahasa batak/sumatra (atau yang lain) atau bahasa indonesia karena tinggal di jakarta yang jarang ditemukan orang berbahasa jawa. itulah dua pendapat, mana yang benar. karena ini menurut saya yang menjadi dasar dulu sebelum menjawab pertanyaan berikutnya.
Semakin lama di lingkungan sosial di Solo itu semakin banyak orang tua yang sejak kecil yang mengajarkan bahasa indonesia menjadi bahasa komunikasi (bukankah ini secara otomatis menjadi bahasa ibu), jarang yang mengajarkan bahasa kromo alus dan sebagainya, sehingga seorang anak kemudian berbicara dengan orangtua menggunakan bahasa indonesia atau bahasa ngoko, Sebuah kenyataan yang membuat saya sendiri mengelus dada. Jika wilayah-wilayah yang menjadi kantong budaya jawa saja sudah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas pengguna bahasa jawa, apalagi yang diluarnya, bukan tidakmungkin akan semakin hilang.
Dan sudah menjadi hal yang diketahui umum, dengan era globalisasi, maka orangtua cenderung mengusahakan agar anaknya mampu menguasai bahasa asing, terutama bahasa inggris, mandarin, jepang atau perancis dan sebagainya. jangankan bahasa lokal, bahasa indonesia saja semakin terpinggirkan. mari kitalihat, begitu banyak sekolah internasional yang bahasa pengantarnya adalah bahasa inggris, bahkan kadang ditemukan bahasa pengantarnya adalah bahasa inggris dan mandarin. itu adalah fakta. bahasa indonesia menjadi nomor dua. buktinya saja, banyak ditemukan orang yang menggunakan bahasa campuran indonesia dan inggris, yang dipelopori oleh media televisi. bahasa campuran adalah bahasa gaul, bahkan penguasaan bahasa inggris mutlak untuk bisa menembus era globalisasi.
Sah-sah saja untuk bisa menguasai bahasa asing, namun apakah itu berarti harus memupus bahasa lokal?Di India, selain bahasa hindi juga ada bahasa pemersatu, juga ditemukan puluhan bahasa lokal seperti layaknya di Indonesia. Namun bahasa inggris juga menjadi bahasa resmi kedua setelah hindi. dengan kata lain, ada kemungkinan setiap orang india bisa menguasai tiga bahasa sejak kecil (itu jika pembelajarannya tepat). Sama halnya di Malaysia. Begitu getyol mengajarkan bahasa inggris, namun mereka juga mengajarkan bahasa melayu sebagai bahsa resmi dan juga bahasa etnis masing-masing (tamil dan bahasa Cina), sehingga paling tidak setiao orang menguasai minimal 3 bahasa. Orang Israel/yahudi dari yang pernah saya baca, juga selalu menguasai minimal tiga bahasa asing. dengan kata lain, banyak orang dari berbagai negara yang selain menguasai bahasa lokal, bahasa persatuan dan bahasa asing, namun mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia?
Bahasa Indonesia banyak yang tercampur-campur. bahasa lokal, dalam hal ini dikatakan sebagai bahasa ibu, semakin terpinggirkan, semakin hilang, dianggap tidak gaul, ketinggalan jaman.
bahasa adalah budaya. bahasa menunjukkan jati diri. bahasa Indonesia menunjukkan jati diri orang indonesia. kemudian, dimana posisi bahasa jawa? apakah bahasa jawa atau bahasa lokal lain juga menunjukkan jati diri? jati diri secara lokal tentunya, seperti jati diri dan karakter orang jawa, orang sunda, orang papua dan lain sebagainya. sudah beberapa kali saya baca tulisan di media, bagaimana beberapa bahasa lokal di Indonesia (di Papua dan maluku) yang sudah punah karena tidak ada penuturnya, sementara itu beberapa bahasa lain sudah menunjukkan kondoso kritis karena penuturnya sudah sangat sedikit. bahasa jawa memang belum akan mengalami kepunahan, namun menunjukkan gejala mengalami penurunan pengguna. tanya setiap orang yang mengaku dirinya orang jawa, apakah dia bisa berbahasa kromo alus? bahasa ngoko sebagai bahasa pergaulan, pasti mereka paham, namun bahasa dengan tingkatan lebih tinggi, apakah mereka mampu menggunakan ?mungkin tidak, dan banyak yang menggunakan bahasa indonesia untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati.
Saya pernah sekali memiliki pengalaman memiliki seorang dosen yang nguri-nguri budaya dan bahasa jawa. beberapa mahasiswa yang ingin menghormati beliau, sewaktu menghadap menggunakan bahasa jawa kromo alus, namun kemudian dikritik oleh sang dosen, karena bahasa jawanya buruk dan tidak sesuai kaidah bahasa jawa. Akhirnya tidak ada lagi mahasiswa yang berani berkomunikasi dengan beliau dengan menggunakan bahasa jawa, mungkin mahasiswa-mahasiswa yang bahasa jawanya sudah sangat baik yang berani bertutur menggunakan bahasa tersebut dengan sang dosen.
Ini adalah fakta. Sekolah tidak mengajarkan (mungkin) apa fungsi bahasa jawa, selain sebagai bahasa komunikasi, juga mengajarkan budaya dan perilaku manusia (mengingat dalam bahasa jawa ada tiga tingkatan bahasa yang secara otomatis penutur diajar untuk bisa bersikap dengan siapa dia berbicara, belajar sopan santun). Semuanya mungkin hanya mandek dengan apa yang disebut nilai. Apakah nilai itu mencerminkan segalanya? bukankkah lebih baik kita melihat itu digunakan sebagai alat komunikasi praktek, bukan sekedar teori?
Karena itu saya sangat antusias sekali sewaktu di Solo dilakukan upacara pemerintah menggunakan bahasa jawa lengkap dengan pakaian tradisional.Mungkin di mata orang lain, itu seperti berlebihan dan tidak berguna, namun bagi saya, itu adalah upaya untuk mempertahankan karakter dan budaya jawa, sebagai upaya untuk mempertahankan identitas. Bukankah identitas itu sangat penting? apa yang menunjukkan diri kita sebagai orang jawa? ataumungkin orang indonesia? Misalnya saja kita fasih berbicara jepang dan paham budaya jepang, namun kita tidak fasih dan paham budaya jawa? terus, apa yang menarik dari kita di mata orang jepang tersebut? Bukankah kita menjadi menarik saat kita mampu menunjukkan budaya kita, menampilkan budaya kita didepan orang lain yang budayanya berbeda. Kita memiliki identitas.
saya juga akhirnya mendukung saat di jawa tengah dan Jogja pelajaran bahasa jawa diajarkan sampai tingkat SMA. karena fakta menunjukkan bahwa dengan diajar sampai SMP membuat siswanya semakin meremehkan bahasa lokal dan akhirnya jarang digunakan. Yang jelas, bentuk apapun untuk mempertahankan budaya lokal manapun haruslah dijunjung, agar kita mampu menjadi unik dan berkarakter di era globalisasi. Era globalisasi memang mengharuskan kita untuk menguasai bahasa asing, namun kitapun juga jangan lupa, selain penguasaan bahasa, juga ada faktor-faktor lain yang membuat kita eksis, salah satunya adalah kita unik dan menjadi diri sendiri, tidak berusaha untuk menjadi seperti orang lain dan melupakan jati diri kita (kok jadi ngelantur ya?)