“Pendidikan itu tidak sempit. Malala Yousafzai, seorang gadis 17 tahun peraih Nobel Perdamaian saja bisa mengalami pendidikan saat tengah memperjuangkan hak wanita dan anak-anak akan pendidikan. Sementara kita disini masih sibuk memikirkan ujian. Itulah pendidikan. Sangat luas dan bisa dialami siapa saja.”
Begitulah seorang teman mengungkapkan pandangannya akan pendidikan. Intinya, pendidikan adalah sebuah proses yang bisa terjadi (dan dialami) dalam konteks yang beragam. Lebih dari itu, pendidikan (sesungguhnya) ialah serangkaian proses penyampaian (transmisi) nilai-nilai keutamaan (virtues) lewat segala realitas dan fenomena yang ada. Nilai-nilai itu didapat dengan mendengarkan, membaca, melihat, serta memahami pelbagai perspektif dari seluruh dinamika kehidupan yang terjadi (dan juga korelasinya).
Semangat Berpikir
Tentu saja pencapaian nilai-nilai itu tidak terlepas dari semangat berpikir sebagai elemen paling essensial –yang kemudian memicu timbulnya potensi-potensi lain yang bisa dikembangkan. Tanpa itu, yang dihasilkan dari pendidikan hanyalah insan-insan yang gamang dalam menghadapi persoalan (lack of problem solving) dan mudah terjebak dalam pragmatisme. Lihatlah Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker (Multatuli), Sam Ratulangi, Soe Hok Gie, juga Habibie. Mereka adalah orang-orang dengan semangat berpikir tanpa (ber)henti.
Kini semangat berpikir itu sudah (dan semakin) tergerus seperti yang kita saksikan sekarang. Celakanya, hal ini telah mengakar pada hamipr seluruh stakeholder di berbagai instansi (baik pemerintah maupun swasta). Akibatnya, tumbuhlah manusia-manusia (mengacu pada istilah Yudi Latif) bermental konformis. Begitu berhadapan dengan masalah, bukan segera di cari jalan keluarnya (melakukan problem solving), tapi malah diam, mengeluh, menyerah, merasa terusik, menghindar, bahkan berkelit dengan seribu satu alasan.
Lebih berbahaya lagi jika kemunduran semangat berpikir ini lalu mengarahkan bangsa pada hal-hal pragmatis yang melulu mengajarkan cara-cara instan dan jalan pintas. Penulis menjadi teringat pada sebuah pengalaman yang langsung penulis alami dalam suatu ujian (praktek). Saat itu, mata pelajaran yang diujikan adalah TIK (Komputer); siswa diperbolehkan membawa catatan saat ujian berlangsung. Bayangkan! Sudah membawa catatan, masih tidak bisa mengerjakan soal pula. Inilah dampak yang sering kali tidak kita sadari. Daya pikir, terlebih critical thinking kita akan suatu hal atau persoalan menjadi terbatas, bahkan terbelenggu.
Keteladanan
Maka, dalam upaya pencapaian itu, diperlukan keteladanan di dalamnya; bisa datang dan berasal dari siapa saja. Baik tua maupun muda bisa saling mengisi dan melengkapi. Penulis amat sangat menghargai Rhenald Kasali dan Anies Baswedan yang begitu menggugah ruh kebudayaan bangsa, Poltak (Miswan Edi) dan Eva Bande yang berjuang demi kemashalatan masyarakat, juga seorang guru bahasa Inggris yang mendedikasikan hidupnya; tidak sekedar mengajar (teaching), tapi juga mendidik (educating). Bukan saja menjadi teladan, tapi juga role model, bahkan pionir; lewat pemikiran, cara hidup, serta kebajikannya.
Harus diakui bahwa bangsa ini masih minim keteladanan, di segala lini kehidupan. Ini terjadi karena sendi-sendi kehidupan berbangsa dirusak oleh kebatilan-kebatilan yang kian mengakar. Alhasil, terciptalah pelbagai kebobrokan yang (masih) membelenggu bangsa ini: korupsi, feodalisme, degenerasi, eksklusivisme, kevakuman, dan sebagainya. Bahkan lebih mengerikan lagi manusia yang justru malah menjadi troublemaker dari masalah yang telah disebutkan diatas.
Akan tetapi, kita tidak perlu berkecil hati karena masih banyak dari kita yang meyakini, meneruskan, bahkan mewariskan pada sesama lain keteladanan lewat tindakan nyata dalam kesehariannya. Layaknya seorang guru yang menyebarluaskan ajarannya kepada murid-muridnya, keteladanan juga harus terus dilanjutkan dari masa ke masa. Sebab ia kelak akan menjadi pegangan, pedoman, prinsip hidup bagi generasi berikutnya, generasi anak, cucu, hingga buyut kita.
Menempa Diri