Mohon tunggu...
jusuf suroso
jusuf suroso Mohon Tunggu... -

seorang biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Tersandera Korupsi

20 Juni 2011   08:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:20 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai-partai politik saat ini, banyak yang tersandera kasus korupsi bagi kadernya di DPR dan pejabat publik seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sungguh sayang partai yang seharusnya menjadi agen pembaruan dan penguatan demokrasi, terperosok dalam korupsi. Dengan maraknya korupsi di tubuh partai, pasti menurunkan citra Parpol, wibawa pemerintah, dan merusak sendi-sendi demokrasi.Praktek tidak bermoral itu, menunjukkan ada pergeseran korupsi dari birokrasi kini melebar ke parpol. Praktek saling sandera itu, merupakan gaya politik Orde Baru, yang bertujuan merusak citra parpol pesaing, terutama dalam persiapan menghadapi pemilu 2014 (Kompas, 16 Mei 2011).

Hampir sebagian besar partai yang lolos ke senayan hasil pemilu 2009, beberapa kadernya tersandung korupsi. Sebut saja contoh, dari Golkar ada Paska Suseta, Hamka Yandu, Antoni Sedra Abiddin terkait cek perjalanan pemilihan deputi senior Gubernur BI, Miranda S Goeltom. Kemudian Jeferson Soleiman S Rumajar, Walikota Tomohon, korupsi Kas Daerah Rp 33,7 milyar atau Azwar Chesputra dan Fahri Andi Leluasa, proyek alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang, Banyuasin, Sumsel untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api. Dari kasus ini ada Hilman Indra (PBB) dan Yusuf Emir Faisal (PKB) yang sudah difonis masuk penjara.

Dari Partai Demokrat, korupsi Pajak Bumi dan Bangunan Propinsi Bengkulu tahun 2006-2007 sebesar Rp 20,16 milyar, melibatkan Agusrin M. Najamuddin (Gubernur Bengkulu dan Ketua DPD Partai Demokrat), Bupati Muara Djambi, A’syat Sam Pembangunan PLTD, senilai Rp 4,5 milyar. Kemudian mantan Bupati Panajam Paser Utara, Kaltim, Yushah Aspar proyek pembebasan tanah PNS senilai Rp 6,3 milyar dan Bupati Boven Digoel, Yusak Yaluwo korupsi dana APBD, sebesar Rp 49 milyar.

Sementara politisi PDI-Perjuangan, sebanyak 26 kader PDI-P di DPR terlibat kasus cek perjalanan pemilihan deputi senior Gubernur BI, Miranda S. Goeltom masing-masing Rp 500 juta. Kecuali Panda Nababan sebagai koordinator mendapat bagian paling besar Rp 2,5 milyar. Sebagian dari kader PDI P ini sudah ada yang dipecat seperti Agus Condro sebagai peniup peluit dan keluar dari partai seperti Engelina Patiasina.

Dari PAN, Abdul Hadi Djamal kasus korupsi pembangunan bandara di wilayah  Indonesia Timur, divonis 3 tahun. Kader PPP, Al Amin Nur Nasution, kasus Pengalihan Fungsi Hutan Lindung, Kabupaten Bintan Kepri divonis 8 tahun. Kemudian kader PPP, Endin AJ Soefihara kasus cek perjalanan pemilihan Deputi Senior Gubernur BI, Miranda Goeltom. Birokrat seperti Wafid Muharam Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga ditangkap KPK, melibatkan Bendahara Umum Demokrat Muhammad Nazaruddin dan anggota DPR Angelina Sondakh.

Banyaknya kader partai tersandung korupsi itu menunjukkan Parpol sekarang ini menjadi bagian dari masalah bangsa dan gagal memaknai reformasi. Padahal tujuan utama reformasi antara lain ingin memberantas berbagai bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai ke akar-akarnya yang marak pada era Orde Baru. Masalah bangsa sekarang menjadi semakin sempurna bobroknya, tatkala bagian dari masalah itu adalah Partai-partai politik (Farid Wajdi : 2011).

Sehingga tidak mengherankan jika telinga anggota DPR, meminjam Safi’I Ma’arif sudah beku, tidak bisa lagi mendengarkan aspirasi rakyat. Sudah dikritik soal pembangunan gedung baru DPR masih ngotot, dikritik soal studi banding ke luar negeri masih ngotot, meski tidak jelas apa hasilnya. Dikritik soal dana aspirasi juga ndableg, hobinya hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.

Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana nasib ke depan 33 juta rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Malah melihat video porno di saat sidang paripurna, tidur di saat sidang, bertengkar sesama anggota Dewab seperti Sidang Paripurna DPR Pansus Bank Century. Sudah moralnya rendah, kualitas kekaderannya di bawah standar, tidak ada prestasi yang bisa membanggakan publik, kini marak korupsi. Menjadi anggota DPR, bukan menjalankan amanah berjuang demi rakyat, tapi sama seperti pencari kerja lalu serakah dan lupa daratan. Lantas apa bedanya dengan DPR Orde Baru yang dicap rubber stamp, hanya datang, duduk, diam, dan duit? Setali tiga uang alias sami mawon.

Semua itu menjadi bagian dari tragedi bangsa, tatkala masalah kebangsaan yang seharusnya diselesaikan melalui artikulasi dan agregasi partai politik di DPR diinjak-injak sendiri oleh mereka. Rakyat dalam hal ini, tidak dianggap meski sesungguhnya rakyat adalah majikan mereka dan sekaligus konstituennya. Sehingga rakyat hanya dijadikan tumbal politik, untuk menentukan posisi tawar dalam perebutan kekuasaan lewat pemilu. Sayang, setelah semua tercapai mereka tidur nyenyak dan baru bangun kembali menjelang pemilu mulai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun