Oleh JS Kamdhi
Dalam dunia pewayangan sebutan panakawan tidaklah asing. Panakawan adalah pengikut ksatria. Hadir dalam setiap 'pakeliran' baik wayang kulit, wayang golek. Maupun wayang orang. Kehadirannya meredam dan mencairkan suasana. Hadir sebagai penunjuk arah setelah alam 'kekacauan' (goro-goro) terjadi.
Istilah panakawan berasal dari dua kata: pana dan kawan. Pana berarti paham, sedang kawan bermakna teman. Panakawan tidak sekadar abdi, pelayan, atau hamba. Panakawan tidak sekadar menjadi 'batur'; selalu disuruh, dikuasai, bahkan diperintah. Panakawan sangat paham akan situasi dan kondisi 'sang tuan'.
Sisi lain, panakawan menjadi penasihat yang memberi petuah, solusi, serta pencerahan. Mendampingi, menguatkan, meneguhkan 'sang tuan' yang sedang terbeban, terpuruk, atau menderita.Â
Para dalang dalam setiap pementasan menempatkan panakawan menjadi peredam goro-goro yaitu keadaan kacau-balau baik gunung meletus, banjir, gempa, maupun konflik.Â
Redanya goro-goro menyiratkan setelah gelap timbul terang. Setelah duka, muncul bahagia, setelah gagal bangkit kesuksesan. Kehadiran panakawan sebagai tanda pergantian nuansa hidup dalam konsep berpasangan: gagal-sukses, sengsara-bahagia, buruk-baik, kalah-menang.
Panakawan sebagai pengasuh, pendamping, atau penasihat memposisikan diri berada di samping-di belakang-di depan. Di belakang berperan memotivasi, mendorong, dan menyemangati. Di belakang tetapi tidak merasa ditinggalkan. Panakawan bersedia berada di samping sebagai pendamping. Dan, berada di depan sebagai penunjuk arah: panutan-teladan.
Menjadi 'panakawan', sebagaimana disimbolkan dalam dunia pewayang (yang nota bene sangat erat dengan hidup dan kehidupan kita) hanya dimungkinkan bila ada penerimaan dan keteguhan bahwa sesama adalah prototif hidup kita. Menjadi panakawan dalam keluarga, menjadi panakawan di tempat kerja, menjadi panakawan dalam hidup bermasyarakat akan menciptakan kedamaian-pencerahan-kebahagiaan.
Dalam situasi "serangan" Covid 19, dibutuhkan pribadi-pribadi yang cerdas memotivasi, mendorong, dan menyemangati. Dibutuhkan sosok pribadi yang rela dan tulus menjadi "teman seperjalanan".Â
Dibutuhkan keutamaan bela rasa kepada mereka yang terduga, terindikasi, atau terkena virus yang harus menjalani perawatan dan penyembuhan. Minimal berempati dan bersimpati pada anggota keluarganya. Tentu, asas penangkal virus: cuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, dan hidup sehat telah menjadi habitus kita.
Namun, dalam realitas kongkret, "Menjadi teman seperjalanan", mulai luntur. Kejadian-kejadian memilukan terus berlangsung: menolak rapid test, mengambil paksa mayat terindikasi virus, menolak penguburan di tempat khusus, tidak menghargai "perjuangan pahlawan kesehatan, atau hirau dalam pencegahan tersebarnya virus.