Dengan wajah berseri, Miranti menatap bayangan dirinya di cermin, sambil sesekali menambahkan bedak di bagian wajah yang dirasa kurang, atau memoleskan lipstik di bibir yang sudah tampak merona. Hatinya berbunga-bunga. Betapa tidak? Karena hari ini adalah hari Jum’at, dan itu berarti, hari ini adalah jadwal Mas Han untuk mengunjunginya. Mudah-mudahan Mas Han benar-benar datang menemuiku, dia berharap. Meski jauh di lubuk hatinya terbersit rasa khawatir, kalau-kalau Mas Han akan meninggalkannya, mengingat sudah lebih dari satu bulan ini, Mas Han tidak lagi menepati jadwal kencan yang sudah disepakati, dengan alasan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan.
Mungkin Miranti percaya, tapi mungkin juga tidak, karena belum melihat sendiri kenyataannya. Bisa saja Mas Han hanya berbohong untuk menghindar, atau bisa juga dia memang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Dua-duanya masih belum pasti, dan tentu saja Miranti hanya bisa menduga-duga dengan perasaan tak menentu. Bagaimana jika Mas Han benar-benar meninggalkanku? Sanggupkah aku menerima?Ah! Tapi, Miranti selalu menunggu Mas Han dengan setia, dan mempersiapkan semuanya --termasuk penampilan-- agar terlihat istimewa di depan Mas Han. Karena bagi Miranti, Mas Han adalah sosok yang sangat istimewa.
Dalam seminggu, Miranti hanya memiliki kesempatan dua kali bertemu dengan Mas Han, yaitu Senin dan Jumat. Karena setiap hari tersebut, Mas Han akan memiliki alasan yang tepat kalau harus terlambat pulang ke rumah. Ya, meeting. Kantornya selalu mengadakan pembahasan atau evaluasi terhadap program yang akan, sedang atau telah dilaksanakan. Namun, itu pun jika kondisinya memungkinkan, jika tidak, Miranti harus merelakan jadwal kencannya berlalu begitu saja.
Bagi Miranti, sebagai seorang ... hm, apa ya? Istri? Bukan, kekasih pun bukan, karena sampai saat ini Mas Han belum pernah menyatakan cintanya dengan tegas. Mungkin hanya sebatas teman, tapi mesra. Miranti tahu betul kalau dia tidak bisa memiliki Mas Han seutuhnya. Ini adalah resiko yang harus dihadapi. Walau kadang merasa kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memendamnya dalam hati, karena mau tidak mau harus memahami bahwa semua itu dilakukan Mas Han untuk menjaga kelangsungan hubungan mereka, agar tidak tercium oleh Mbak Wida, istrinya yang sah. Miranti pun harus menyadari, bahwa ini adalah bagian dari jalan hidup yang telah dipilihnya.
Sebenarnya dia tak pernah berpikir sedikitpun untuk menjadi TTM atau apalah, dan menjalani kehidupan seperti sekarang ini; berhubungan dengan lelaki yang sudah beristri. Ketika masih remaja dulu, pikirannya tidak jauh beda dengan teman-temannya, ingin menjalani hidup dengan normal, menikah dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya sepenuh hati, tanpa harus berbagi dengan siapapun, apalagi dengan sembunyi-sembunyi seperti ini.
Tapi semua angan-angannya hilang ditelan kebohongan dan kekecewaan yang dia dapatkan dari semua laki-laki yang pernah menjalin hubungan dengannya. Mas Doni, Bang Zul, Kak Setya, semuanya tidak dapat dipercaya. Janji yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kenyataan, hingga Miranti harus merasakan berkali-kali terhempas dalam jurang kepahitan yang dalam.
Dan, Mas Hanlah yang telah berhasil menariknya kembali ke permukaan. Senyumnya yang ramah, mampu menenangkan hatinya yang gundah. Belaiannya yang lembut mampu menyeka air matanya yang basah. Dan sedikit perhatiannya mampu membuat bibir tipisnya kembali tersenyum.
Miranti pun teringat ketika pertama kali bertemu dengan Mas Han. Waktu itu, dia sedang menunggu bis di sebuah halteu. Dia baru pulang kerja dan sepertinya Mas Han pun begitu. Tapi, hujan yang turun deras, bis yang datang terlambat, penumpang yang berjubel dan saling berebut, membuat Miranti berkali-kali tidak dapat terangkut. Kesal. Sementara hari kian beranjak sore, yang tentunya sebentar lagi malam akan menjelang.
Di saat itulah, ketika Miranti hampir saja menyerah, dan sudah memutuskan untuk ganti angkutan, memilih untuk naik angkot atau taksi, tiba-tiba tangannya ada yang menarik dengan keras, hingga dia bisa masuk ke dalam bis terakhir. Huuh...! Sakit sih, tapi dia bersyukur, bisa bebas dari tiga kali ganti angkot --karena tidak ada trayek yang langsung menuju ke rumahnya-- dan juga dari ongkos taksi yang mahal, bisa untuk lima hari naik bis.
Huh! Miranti membuang nafas sekali lagi, sambil terus memegangi tangannya yang masih terasa sakit. Sementara matanya dibiarkan berkeliling, mencari jawaban atas pertanyaan yang bergelayut di hatinya, siapakah gerangan yang sudah menarik tangannya tadi? Sayang, kejadian yang begitu cepat, dan juga banyaknya penumpang yang berdiri di pintu, membuatnya tak begitu jelas melihat orang itu.
“Maaf ya, sudah lancang narik tangan Mbak tadi,” kata seseorang yang berdiri di belakangnya. Miranti menoleh, dan terlihat seraut wajah simpatik dihiasi senyum ramah terkembang.