Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hapus Air Matamu, Dita!

1 Januari 2017   21:57 Diperbarui: 1 Januari 2017   22:23 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Model: Rani Ambarwati (ig: rani_amb)

Aku hanya berdiri di pojok kelas, tak ada satu pun yang mau menemani, entahlah, mungkin mereka jijik denganku, kondisi yang tak sempurna dan penampilan yang berantakan cukup menjadi alasannya. Aku mengerti. Kalau aku jadi mereka, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama. Makanya, tak ada yang bisa kulakukan, selain diam, menyendiri seperti ini. Aku tahu, aku tidak boleh banyak tingkah, tidak boleh melawan, tidak boleh membela diri kalau mereka mengejek atau usil, karena pasti akan sia-sia, dan yang jelas mereka akan semakin menjadi. Menangis pun tidak akan merubah keadaan.

Selama enam tahun aku menjalani hidup seperti itu. Sakit sudah pasti, merasa terkucil sudah tentu, aku seperti berada di dunia asing yang tidak menginginkan kehadiranku. Tapi aku tidak punya pilihan, dan mau tidak mau harus menerima, meski semua ini bukan keinginanku. Jujur, aku tidak mau menjadi seperti ini, menjadi seonggok daging yang hanya dijadikan bahan olok-olok, karena sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu kenapa harus seperti ini. Kesal? Tak usah ditanya lagi seberapa besar kesalku. Sudah sejak dulu aku marah pada keadaan, berontak, kecewa atau mungkin menggugat. Aku merasa Tuhan tidak adil, pilih kasih dan sengaja ingin membuatku menderita. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Kenapa tidak Lena, Yani, atau Sinta? Mereka yang bermulut nyinyir, lebih tajam dari silet.

Aku yakin, tidak ada seorang anak pun di dunia ini yang ingin terlahir dengan kekurangan, baik secara fisik atau keluarga. Tapi aku harus mendapatkan keduanya. Kaki kiriku tidak berkembang sempurna seperti kaki kananku dan kaki anak-anak lainnya, hingga aku harus menggunakan jangka agar bisa berjalan. Sementara kedua orang tuaku, entah berada dimana. Mereka berpisah sejak aku masih balita, dan aku ditinggalkan begitu saja, diabaikan, bersama Dito, adikku, yang juga memiliki kekurangan fisik, organ pendengarannya tidak berkembang baik, sehingga menyulitkannya untuk mengenali suara dan tentu berdampak pada kemampuannya berbicara. Kami dititipkan pada nenek yang sudah tidak lagi muda, dan hingga sekarang, mereka ---kedua orang tuaku--- tak pernah datang untuk menjenguk kami, keduanya atau salah satunya.

Kami tumbuh tanpa belaian lembut seorang ibu dan dekapan hangat seorang ayah. Kami seperti anak yatim-piatu yang tidak memiliki orang tua, atau anak yang dibuang, karena orang tuanya tidak menginginkan kehadirannya. Maka jangan salahkan kami,     ---terutama aku--- jika tumbuh dengan rasa benci pada diri sendiri, pada orang tua, dan juga pada mereka yang suka menghina dan memandang dengan sebelah mata, termasuk (pernah terbersit) untuk membenci Tuhan. Untunglah nenek begitu sayang dan perhatian pada kami, meski kondisinya sangat jauh dari kata cukup, tapi beliau tak pernah putus asa mengurus kami, hingga sebesar sekarang ini. Aku sudah kuliah, dan adikku di SLB-B, setara SMA.

 Untuk bisa bersekolah seperti ini, tentu bukan hal mudah bagi kami. Kondisi keuangan nenek, tidak akan cukup untuk membiayainya. Beliau hanyalah seorang pembuat sapu lidi, yang penghasilannya untuk makan sehari-hari pun terkadang masih harus ngutang ke warung. Tekad dan cita-citalah yang membuatku yakin hingga bisa ke tahap ini, tahap yang sama sekali tak pernah kupikirkan, bahkan meski hanya di dalam mimpi.

Aku berkeyakinan, cita-cita bukan hanya milik orang kaya, bukan pula hanya milik mereka yang terlahir dengan kesempurnaan fisik, dan bukan pula hanya milik mereka yang memiliki keluarga utuh. Tidak. Semua orang berhak memiliki cita-cita, termasuk aku, dan adikku.

Tentunya ada seseorang yang menyulut api semangatku hingga bisa bertahan hingga seperti ini, ya beliau adalah Paman Handi, adik ibu semata wayang, yang juga merupakan anak bungsu nenek yang begitu gigih memperjuangkan kami. Meskipun beliau hanya lulusan Sekolah Dasar, tapi pola pikirnya jauh melampaui ijazah yang dimilikinya. Mungkin kerasnya kehidupan telah membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab.

Kakek meninggal saat ibu masih duduk di Sekolah Dasar dan paman masih belum bersekolah. Kondisi nenek yang tidak bekerja, membuat beliau hanya mampu mengantarkan kedua anaknya hanya sampai lulus SD. Ibu kemudian mencoba peruntungan di kota, dan malah ketemu ayah, lalu menikah, dan bercerai setelah Dito lahir, lalu pergi membawa lukanya, entah kemana, hingga kini tak diketahui rimbanya. Paman Handi, setelah lulus SD, tetap di rumah membantu nenek dan setelah kami lahir, beliau lantas ikut mengurus kami ---dua orang anak yang diabaikan oleh kedua orang tuanya, dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.

Tidak seperti anak seusianya, Paman Handi jarang menghabiskan waktu untuk bermain atau bersenang-senang, ia lebih memilih bekerja, apa saja, asalkan halal dan bisa mendapatkan uang. Ia menyadari, kalau ia bukan berasal dari keluarga cukup, jadi dirinyalah yang harus ikut mencukupi. Ikut menanggung beban yang sebenarnya bukan bebannya. Tapi beliau tak pernah mengeluh, meski kadang kulihat tubuhnya begitu lelah, karena pekerjaan kasar yang harus ia lakukan.

Kepadanya pula aku sering mengadu, kalau ada teman di sekolah yang mengejek atau mengusiliku. Terkadang beliau membela, mendatangi anak itu dan menegurnya. Namun, beliau lebih sering menenangkan dan membesarkan hatiku kalau aku merasa down, minder atau putus asa, yang kadang terkesan memaksa agar aku bisa menerima keadaanku yang hanya begini adanya. Mau bagaimana lagi? Kalau kamu tidak bisa menerima, maka selamanya akan didera rasa benci pada orang-orang yang mengejekmu, dan tentu pada dirimu sendiri, dan yang pasti, selamanya akan menyiksa batinmu.

Beliau juga sering bilang, kalau kita telah diciptakan untuk jadi orang yang kuat, jadi jangan menyerah dan menyesal, bagaimanapun keadaannya. Berkali-kali, beliau menguatkan aku, untuk bisa menerima keadaanku. Dan aku mengakui, nasihat beliaulah yang akhirnya berhasil menyumbat saluran air mataku untuk tidak mengalir lagi, aku menyadari, air mata tidak akan menyelesaikan apapun, tapi justru hanya membuatku semakin lemah dan semakin terpuruk, berkubang dalam kesedihan tak berujung. Beliau jugalah yang berhasil membakar tekadku untuk bisa move ondari semua kesengsaraan hati ini. Kesengsaraan yang aku buat sendiri karena membiarkan hatiku terkekang oleh perasaan benci pada takdir. Hidup harus terus berjalan, bahagia atau sedih hanyalah pilihan. Jangan jadi cewek cengeng. Jangan kalah, karena pasti akan ada bingkisan istimewa yang disiapkan Tuhan untukku. Aku yakin itu, guru agama di sekolah pernah berkata bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan. Dan, titik balik itu terjadi saat aku sudah duduk di bangku SMP, pamanlah yang mendesakku untuk tetap bersekolah, padahal aku sudah males, karena pasti aku hanya akan dijadikan bahan ledekan teman-teman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun