Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Gusti

10 Maret 2017   14:17 Diperbarui: 10 Maret 2017   14:29 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Sindotrijaya

Gimin melemparkan pandangannya ke tengah areal persawahan yang kerontang, menjelma lapangan gersang dengan garis-garis rekahan tanah yang terbelah-belah. Bahkan jarak rekahannya sudah cukup lebar, sehingga kaki bisa saja terjepit jika terperosok masuk ke dalamnya.

Kemarau ini sudah sedemikian parah. Sudah empat bulan lebih tak pernah turun hujan. Kekeringan bukan hanya melanda lahan pertanian, tapi juga penduduk di pemukiman sudah kesulitan mendapatkan air bersih. Sementara, pasokan dari kecamatan masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.

Bagi mereka yang mampu, tentu bisa membeli kepada para pengecer yang mulai menjamur untuk menutupi kekurangannya. Tapi bagi dirinya, dan juga penduduk kurang beruntung lainnya, harus rela mengonsumsi air keruh. Itu pun didapat dengan penuh perjuangan, berjalan menyusuri bukit terjal sejauh 1-2 kilometer.

Hmm... Gimin menghela napas, pandangannya dialihkan pada perbukitan dan pegunungan kapur yang menjulang di kejauhan. Begitu gagah, seolah membentengi Kecamatan Karangmojo, tempat ia tinggal sejak lahir, bahkan hingga kini setelah menikah dan menjadi Bapak dari seorang Bocah Kurus, yang sedang berlari-lari kecil di pematang sawah, bersama teman-temannya mengejar layangan putus.

“Sampai kapan penderitaan ini akan berlangsung?” Hatinya berbisik pilu. Ia teringat pada Sati, istrinya yang tengah mengandung anak kedua. Dengan kondisi seperti ini, ia khawatir, makanan yang masuk ke perut istrinya tidak mencukupi pertumbuhan Si Jabang Bayi. Belum lagi untuk persalinan nantinya yang tentu membutuhkan biaya tidak sedikit.

Sebagai buruh tani, yang hanya menggantungkan hidup pada sawah tadah hujan sang pemilik lahan, musim kemarau berarti juga sumber pendapatannya tertutup. Biasanya ia masih bisa menanam palawija, tapi dengan kondisi tanah yang kerontang dan terbelah, tanaman apa yang bisa tumbuh dengan baik?

“Apakah Gusti Allah tidak melasmaring wong cilikkoyokulo?” bisik hatinya lagi, lebih kepada protes. “Sudah sejak dulu kulo berjuang, mencari nafkah untuk kulawargo, tapi selalu saja ndak mencukupi? Duh Gusti...”

Hatinya menjerit. Mempertanyakan keadilan yang dirasa tak pernah berpihak. Ia hanya bisa pasrah menjalani garis hidup yang harus ditapaki. Bukan! Bukan tidak mau merubah nasib, tapi segala upaya yang dicoba selalu berakhir dengan kebuntuan, sekeras apapun ia mengusahakannya.

Kali ini, ia benar-benar ingin Tuhan datang memeluknya. Membuka jalan untuk keluar dari kesengsaraan yang menghimpit. Karena ia sudah tak sanggup lagi berpikir, mencari jalan sendiri.

“Paringi kulo dalan, Gusti...” desisnya pelan. Lantas, matanya mencari-cari sosok kecil yang masih berlarian untuk diajaknya pulang. Di ufuk Barat, mentari sudah hampir tenggelam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun