Mohon tunggu...
Jalu Priambodo
Jalu Priambodo Mohon Tunggu... profesional -

antara Bandung-Jakarta. ITB angkatan 2002. Pengamat dan analis kebijakan, teknologi dan masyarakat INSTRAT.

Selanjutnya

Tutup

Politik

1000 Alasan Mendukung Jokowi-JK

9 Juli 2014   00:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:57 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anda sudah punya pilihan tanggal 9 Juli? Apa alasan anda memilih kandidat tersebut?

Saya mau coba sharing aja diskusi-diskusi dengan teman-teman dekat saya terkait alasan mereka menjatuhkan pilihannya. Ada banyak alasan yang diajukan ketika memilih. Di antara calon dengan alasan yang paling banyak tentulah kandidat paling favorit, Joko Widodo. Berikut ini beberapa alasan yang saya dapatkan :

Tidak ingin dipimpin diktator

Tidak ingin kembali ke era orde baru

Tidak ingin dipimpin orang yang dikenal sebagai pelanggar HAM

Jokowi orangnya sederhana

Jokowi didukung relawan yang tidak dibayar

Jokowi tidak berasal dari darah biru

Ingin membuktikan bahwa kandidat tidak perlu keluar uang supaya bisa menang

dan banyak lagi.

Dari sekian banyak alasan yang diberikan, saya merasa ada beberapa kemiripan alasan tersebut. Jika dikelompokkan secara garis besar alasan tersebut terbagi dua

Pertama, alasan yang didasari pada pengalaman masa lampau. Masalah rezim otoritarian, orde baru, ketika kebebasan dibelengu memang menimbulkan trauma yang mendalam. Trauma ini tentu tidak mudah dihilangkan. Terlebih lagi jika salah satu kandidat memiliki hubungan dengan orde baru, ga tanggung-tanggung pula, mantu Pak Harto.

Akan tetapi, ada satu masalah dalam alasan trauma persepsi ini. Kita sudah hidup dalam jaman yang jauh berbeda dari masa orde baru. Kekuasaan seorang Presiden kini tak lagi sekuat dulu. Dalam era reformasi ini, perubahaan UUD sudah dilakukan berulang kali yang menyebabkan tidak ada lembaga yang super power. Bahkan, di era ini kita pernah menurunkan seorang Presiden dan membuat seorang Presiden incumbent gagal menang di periode selanjutnya.  Siapapun Presidennya jelas tidak bisa mengembalikan orde baru begitu saja.

Kedua, alasan yang didasari pada kesamaan psikologis antara kandidat dan pemilih. Mayoritas penduduk kita memang hidup dalam kesederhanaan. Tidak ada yang ingin mengeluarkan uang untuk politik. Kalau bisa gratis, dengan modal dengkul, mengapa harus sedia uang. Dengan memilih kandidat berkarakter sama, pada dasarnya pemilih ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa jadi Presiden di masa mendatang.

Keinginan membuktikan sesuatu ini landasannya lebih ke selera. Apakah ada kaitannya dengan kemampuan Presiden yang dipilih? Belum tentu. Masalah kesederhanaan, asal usul, kerumunan relawan tak ubahnya sebagai brand value.

Sebenarnya alasan yang dilandasi trauma persepsi maupun keinginan untuk membuktikan diri sah-sah saja dalam iklim demokrasi. Akan tetapi, kalau boleh jujur, saya merasa kedua alasan tersebut punya kesamaan, yakni berorientasi pada diri sendiri. Trauma persepsi bersifat pribadi dan belum tentu sesuai dengan realitas saat ini. Demikian pula dengan pembuktian diri yang orientasinya juga untuk memuaskan statement pribadi. Pertanyaannya, apakah kita memilih presiden untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan seluruh penduduk Indonesia?

Jika kita mau berhenti sejenak, berpikir dengan jernih sebelum memasuki bilik suara. Coba pertimbangkan, Siapakah pemimpin yang kita butuhkan untuk memikul beban hidup 260 juta rakyat Indonesia. Siapakah pemimpin bangsa ini yang siap bertanggung jawab penuh atas semua keputusannya, tidak sekedar menunggu bocoran staf ahli maupun petunjuk ketua partai, tidak pula sekedar mengambil kredit atas keberhasilan namun melempar tanggung jawab atas kegagalan kepada anak buahnya. Akal sehat mengatakan bukan Jokowi jawabannya.

Dan dengan satu alasan tersebut, yang bernama akal sehat, saya memilih Prabowo Subianto.

I stand on Logical Side.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun