[caption id="attachment_316212" align="aligncenter" width="600" caption="Dari kiri: Louis Nousy, Willem Sopacua, Mr. Antonio Stango, Yusuf Daud dan Martha Meijer (unpo.org)"][/caption]
Pada tanggal 14 Maret 2014 lalu di Geneva, Swiss berlangsung kegiatan UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization) yang menggelar side event tentang “Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia” dengan menggundang beberapa perwakilan dari organisasi separatis seperti ASNLF, RMS dan Republik Papua Barat.
Side event tersebut dimoderatori oleh Mr. Antonio Stango dari Nonviolent Radical Party yang dimulai dengan gambaran situasi HAM di Indonesia oleh Mrs. Martha Meijer yang juga merupakan penasihat HAM independen berbasis di Belanda yang berfokus pada Indonesia.
Selanjutnya para perwakilan dari organisasi separatis di Indonesia memberikan presentasi atas pelanggaran HAM mulai dari Aceh yang diwakili oleh Yusuf Daud, Maluku Selatan oleh Willem Sopacua dan Papua Barat oleh Louis Nousy. Semua argumentasi mereka memiliki kesamaan bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap kelompok separatis yang notabene adalah juga penduduk asli negara itu.
Acara pun ditutup oleh pidato Mr. Antonio Stango yang menekankan pentingnya menemukan resolusi damai untuk konflik yang sedang berlangsung.
Kritik terhadap UNPO
Valery Tishkov, Direktur Institute of Ethnology and Anthropology di Russian Academy of Sciences dan bekas Menteri Rusia untuk kebangsaan, mengkritik UNPO dengan menyatakan:
“Aktivitas UNPO di Den Haag mulai menyimpang ketika bendera rejim dan organisasi separatis yang muncul setelah bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia dikibarkan di atas markasnya. Dalam hubungannya dengan persaingan geopolitik dan eforia Barat tentang membangun kembali dunia paska komunis, ‘ketidak terwakilan’ dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap keteraturan daripada sebagai suatu peningkatan, sebagai suatu proses keluar dari sistem daripada memperoleh suara seseorang di dalamnya.“
[caption id="attachment_316216" align="aligncenter" width="600" caption="Bendera-bendera separatis dikibarkan sebelum side event dimulai (unpo.org)"]
Sepertinya kritik tersebut sangatlah mengena, melihat situasi yang ada saat ini dalam UNPO. Bendera-bendera separatis berkibar di sana dengan bebasnya tanpa memperdulikan harkat dan martabat suatu negara yang justru merasa terinjak-injak hak asasinya sebagai bangsa yang berdaulat.
Wajarlah argumentasi para wakil dari organisasi separatis tersebut seragam, karena bagi mereka HAM dapat dijadikan wahana untuk merealisasikan mimpinya yakni mendirikan negara dalam negara. Apalagi mendapat dukungan pula dari organisasi internasional semacam UNPO, walau ‘unrepresented’ tapi bagi mereka (separatis) adalah suatu kemajuan diplomasi yang luar biasa dalam kancah dunia internasional.
Pidato Mr. Antonio Stango yang menekankan pentingnya menemukan resolusi damai untuk konflik yang sedang berlangsung, adalah sesuatu yang absurd karena faktanya konflik itu diciptakan oleh mereka (separatis) itu sendiri. Negara yang berdaulat di manapun pastinya akan memerangi organisasi separatis yang merongrong kedaulatannya, karena hal itu merupakan tindakan makar terhadap negara dan bukan merupakan pelanggaran HAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H