“Doktor-doktoran (?)”
-Joy Aritonang-
Indonesia tahun demi tahun mengalami peningkatan secara kuantitas dalam bidang pendidikan. Peningkatan itu tampak dari semakin banyaknya berdiri sekolah-sekolah dan beragam perguruan tinggi. Salah satu wujud dari peningkatan kuantitas pendidikan di Indonesia juga tampak dari semakin menjamurnya program doktoral di berbagai perguruan tinggi termasuk juga di berbagai sekolah tinggi teologi (STT) baik yang telah lama berdiri atau yang baru berdiri.
Pendidikan doktoral (S3) dimaksudkan untuk menghasilkan peneliti. Lulusan S3 harus siap meneliti dan mempublikasi pengetahuan baru. Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah peningkatan dunia pendidikan di Indonesia ini selaras juga dengan peningkatannya secara kualitas?. Hal ini (seharusnya) menjadi pertanyaan besar bagi semua orang yang turut mengenyam pendidikan di Indonesia.
Secara umum dapat dinilai bahwa kualitas seorang doktor khususnya dalam sebuah sekolah tinggi/institusi teologi tampak dari kualitas karya-karyanya. Khususnya dalam bidang teologi, seorang doktor teologi (dengan beragam sub-bidangnya) tentunya harus memiliki ilmu yang memadai dibidangnya. Selain itu, seorang doktor teologi juga adalah seorang peneliti, oleh karena itu seorang doktor teologi harus memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk bisa melakukan riset mandiri. Seorang doktor teologi diharapkan menghasilkan berbagai penemuan baru melalui penelitian-penelitiannya, karena itu biasanya ukuran keberhasilan mereka adalah makalah yang dipresentasikan dan yang dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah di bidang mereka/di institusi mereka. Doktor teologi adalah orang yang senang mencari kemudian memodifikasi pengetahuan baru. Jadi syarat utama seorang doktor teologi sebenarnya adalah keinginan untuk merenungi, memahami, meneliti, dan menghasilkan suatu inovasi terhadap sebuah objek. Tanpa memiliki hasrat yang kuat untuk melakukan penelitian dibidangnya dan juga mempublikasikan temuan-temuannya baik melalui diskursus maupun dalam karya tulis maka sebenarnya studi doktoral yang telah diperjuangkan menjadi sia-sia dan tepatlah disebut sebagai “Doktor-doktoran”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H