Kita tau perbedaan antara berpolitik di kampus dengan politik yang ada di Desa. Menurut salah satu sumber yang saya tanya berpolitik di desa itu lebih sulit dari pada berpolitik di kampus dikarnakan musuh kita di desa itu sebagian orang-orang awam  di karnakan masih mempercaya paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil.
Baik mengenai tradisi, adat istiadat,atau segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya atau (Primordialisme) Â pandangan atau paham yang masih percaya dengan satu orang yang di tokohkan misalkan ketua suku, adat, tokoh agama dll.
Menurut J.L.Gilin dan J.P.Gilin : mengatakan bahwa masyarakat desa adalah klompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan,tradisi,sikap dan perasaan persatuan yang sama
Ciri khas yang dimiliki masyarakat desa agak tergaggu dengan rentetan proses politik formal yang terjadi baik di tinggkat Desa,Kabupten,Provoinsi maupun Presiden.Â
Banyak masyarakat konflik akibat pemilihan kepala Desa (PILKADES), mereka saling membicarakan saling menycurigai dan yang lebih fatal adalah politik dibawa ke ranah ibadah banyak orang tidak mau jum,atan karna karna imam masjid di anggap memilih si A bukan si B fenomena di atas memang bener-bener terjadi di salah satu Desa di Kabupaten Lombok tengah. Alasannya, konflik Pilkades, di karnakan bersebranagan  mendukung salah satu calon kepala Desa.
Permasalahan yang terjadi dalam proses pilkades, bisa kita pastikan setiap ada proses politik maka tatanan social di Desa akan goyah. Hal ini memberikan gambaran bahwa pengaruh pemilu untuk menentukan kepala desa sangat besar memberikan dampak negatif bagi masyarakat desa. Contohnya melemahkan rasa solidaritas,kepercayaan antara satu dengan yang lain.
. by; Jo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H