Mohon tunggu...
Jovita Lavenia
Jovita Lavenia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi di Yogyakarta

Mahasiswi yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kualitas Hidup adalah Kunci Peningkatan Kuantitas Sumber Air Bersih dan Penurunan Insiden WBD di Gunung Kidul

29 Maret 2019   18:38 Diperbarui: 30 Maret 2019   00:15 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kualitas Hidup adalah Kunci Peningkatan Kuantitas Sumber Air Bersih dan Penurunan Insiden WBD di Gunung Kidul

Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi 18 Kecamatan, 144 desa, dan 1.431 padukuhan, dimana kecamatan tersebut antara lain : Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Rongkop, Girisubo, Semanu, Ponjong, KarangMojo, Wonosari, Playen, Patuk, Gedangsari, Nglipar, Ngawen, dan Semin. Dari 18 kecamatan tersebut, beberapa diantaranya tercatat dalam beberapa kasus krisis air bersih. Salah satu yang masih baru di ingatan adalah berita yang dituliskan oleh Republika.co.id Bulan Juni 2018 lalu, lebih dari 96 ribu warga Gunung Kidul kekurangan air bersih dan 96 ribu warga tersebut diantaranya berasal dari Kawasan Purwosari, Panggang, Tepus, Rongkop, Sidoarjo, serta Girisubo. Tidak hanya itu, sebelumnya, di tahun 2017 juga muncul berita bahwa sejumlah sungai di Wonosari mengalami pencemaran. Dari pemantauan dan pemetaan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Peningkatan Kapasitas mengatakan bahwa dari 5 sungai yang melewati Kota Wonosari, 2 diantaranya mengalami pencemaran tingkat berat. Faktor pencemaran sungai tersebut dilatarbelakangi oleh kebanyakan masyarakat yang membuang limbahnya secara langsung ke sungai. Mulai dari limbah rumah tangga, limbah tahu, sampai limbah ternak sapi maupun babi dibuang oleh warga ke sungai begitu saja. Dan berita terbaru di tahun 2019 ini, kurangnya akses air bersih di Kabupaten Gunung Kidul juga masih ada dan disoroti oleh Tim Redaksi Tugu Jogja (kumparan.com).

Berbagai kasus diatas telah mengakibatkan bermasalahnya stok dan penyediaan air bersih di Kabupaten Gunungkidul. Jika penyediaan air bersih di Kabupaten Gunungkidul bermasalah, artinya sanitasi lingkungan Kabupaten Gunung kidul juga bermasalah, karena sebenarnya sanitasi menggambarkan status kesehatan suatu lingkungan yang salah satunya mencakup aspek penyedian air bersih. Buruknya sanitasi lingkungan akan berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas air bersih. Penurunan kualitas dan kuantitas air bersih akan memberikan kesempatan untuk berkembangnya dan meluasnya suatu penyakit. Selain itu, di musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi ini juga dapat membuka kesempatan berkembangnya suatu penyakit. Sebagai contoh, di Kabupaten Gunungkidul, masih banyak halaman rumah warga yang berupa tanah lempung, dimana tanah dengan tekstur geluh atau lempung tersebut cenderung memiliki potensi infiltrasi yang kecil, sehingga  jika terjadi hujan yang cukup intensif peluang air untuk meresap ke dalam tanah semakin kecil karena pori-pori yang terbentuk dari tekstur tanah tersebut kecil, dengan begitu stok air bersih akan berkurang. Selain menyebabkan kurangnya stok air bersih, kemampuan infiltrasi yang kecil dari tanah lempung juga akan mengakibatkan terbentuknya genangan air yang dapat menjadi tempat bersarang nyamuk Aedes sp., dan yang tidak kalah penting adalah memungkinkan untuk mendukung terjadinya banjir yang dapat mencemari sumber air bersih yang kembali berujung pada berkurangnya stok air bersih. Dari genangan air yang sering terbentuk dan sumber air bersih yang sering tercemar serta berkurangnya kuantitas air bersih sudah pasti akan mempengaruhi kesehatan warga Gunungkidul. Kesehatan warga Gunungkidul dapat menurun akibat WBD atau Water Borne Disease. WBD menurut Triyono (2014) adalah penyakit yang ditularkan ke manusia akibat adanya cemaran baik berupa mikroorganisme ataupun zat pada air.

Beberapa insiden WBD yang pernah terjadi di Kabupaten Gunungkidul adalah chikungunya, DBD, dan diare. Insiden diare yang pernah terjadi di Kabupaten Gunung Kidul dimungkinkan tidak hanya berasal dari kesalahan dalam konsumsi bahan pangan seperti yang selalu dipikirkan oleh warga, tetapi mungkin juga disebabkan oleh kebiasaan warga dalam membuang sampah. Banyak warga yang masih sering membuang sampah rumah tangganya secara langsung ke sungai. Tidak hanya sampah rumah tangga, bangkai binatang yang ditemukan juga banyak yang dibuang secara langsung ke sungai. Limbah rumah tangga, khususnya dari kamar mandi juga banyak yang langsung tersalurkan ke sungai. Sungai-sungai yang seharusnya menjadi salah satu akses air bersih tersebut malah berubah menjadi tempat pembuangan akhir, akibatnya banyak sungai mengalami pencemaran. Air sungai yang mengalami pencemaran bukan tidak mungkin tidak akan mencemari sumber air bersih yang ada. Mungkin saja air sungai yang mengalami pencemaran tersebut merembes ke air tanah dan mencemari air sumur warga, sehingga warga yang masih menggunakan air sumur untuk berbagai aktivitas rumah tangganya dapat terserang diare karena sumber air yang tidak bersih. Sedangkan insiden WBD lain yang masih sering terjadi di Kabupaten Gunungkidul adalah gatal-gatal akibat kutu air. Dari observasi saya di beberapa kecamatan, menunjukkan kebiasaan warga yang cukup buruk, yaitu beraktivitas tanpa menggunakan alas kaki. Awal mula penyebab kutu air bukanlah karena kutu, melainkan karena adanya jamur yang mendiami jaringan kulit, rambut, maupun kuku di bagian kaki atau tangan. Trichophyton, T. interdigitale, dan Epidermophyton floccosum merupakan sekelompok jamur penyebab kutu air, yang dinamakan dermatofita. Jamur tersebut akan berkembang di kulit kaki atau tangan sehingga mengakibatkan kulit terasa kering, gatal, iritasi, serta mengelupas. Sebenarnya, jamur yang menyebabkan kutu air bisa hadir kapan pun dan sifatnya tidak terlalu berbahaya selama kulit kita kering dan bersih. Namun sebaliknya, jika kulit tangan atau terutama kaki berada dalam kondisi basah, lembab, dan hangat dalam waktu yang cukup lama dan sering akan mempercepat perkembangan jamur dermatofita, sebab lingkungan yang lembab dan suhu yang hangat sangat disukai jamur untuk berkembang biak. Dari observasi saya, kebiasaan warga Kabupaten Gunung Kidul yang tidak menggunakan alas kaki berlangsung dalam melakukan berbagai aktifitas, mulai dari mencuci baju, memasak di dapur (dengan kondisi dapur yang masih cukup tradisional, belum berkeramik atau bersemen), memberi makan ternak, berjualan di pasar, membersihkan halaman rumah, hingga beraktifitas di sawah. Semua aktifitas yang sering dilakukan tanpa menggunakan alas kaki tersebut masih ditambah dengan kebiasaan warga yang tidak langsung membersihkan / mencuci kaki dan mengeringkannya setelah selesai beraktifitas. Jadi, banyak warga yang masih selalu membiarkan kondisi kakinya tetap kotor dan lembab setelah beraktivitas dalam waktu yang cukup lama, bahkan hal tersebut hampir dilakukan terus-menerus di setiap aktivitas yang sering berhubungan dengan air, sehingga penularannya cukup mudah dan mengakibatkan gatal-gatal akibat kutu air masih terus terjadi di Kabupaten Gunung Kidul.

Untuk menekan dan mengurangi insiden WBD berupa diare dan gatal-gatal akibat kutu air maka diperlukan perbaikan kualitas hidup kita terlebih dulu. Untuk memperbaiki kualitas hidup banyak orang sekaligus kualitas lingkungan hidup, akan lebih baik jika semuanya dimulai dari kesadaran diri sendiri. 22 Maret lalu adalah Hari Air Sedunia yang hingga saat ini masih terasa euforianya. Saya, Jovita Lavenia, mahasiswi Fakultas Biotekonolgi Universitas Kristen Duta Wacana ingin mengajak seluruh warga Gunung Kidul dan pembaca sekalian untuk memperingati dan merayakan Hari Air Sedunia pada tanggal 22 Maret kemarin dengan instrospeksi diri dan meningkatkan kesadaran diri bahwa sungai diperuntukkan bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, bukan sebagai tempat pembuangan akhir. Mari kita manfaatkan fasilitas pembuangan sampah yang sudah diberikan oleh pemerintah dengan sebaik-baiknya serta manfaatkan badan air sesuai dengan peruntukannya untuk meminimalisir terjadinya insiden WBD. Mari kita tingkatkan kualitas hidup kita dengan menjaga kebersihan lingkungan sekitar dan menjaga kebersihan diri sendiri, dimulai dari membuang sampah pada tempatnya, menggunakan alas kaki dalam melakukan aktifitas sehari-hari, segera membersihkan diri setelah beraktifitas, memasak sumber air yang akan digunakan untuk minum hingga benar-benar matang (hingga mendidih), melakukan penyaringan hasil rebusan air yang akan digunakan untuk minum dan masak, dan masih banyak lagi. Perbaiki perilaku sehari-hari untuk tingkatkan kualitas hidup kita. Dengan meningkatkan kualitas hidup kita, maka kualitas sanitasi lingkungan juga akan meningkat, dan ujungnya kualitas air serta kuantitas air bersih di Kabupaten Gunungkidul akan berangsur-angsur meningkat. Mari kita sumbangkan sedikit waktu untuk bergotong royong peduli akan lingkungan, membersihkan sampah-sampah yang ada di badan air, dengan begitu kita membantu sungai-sungai di Kabupaten Gunung Kidul untuk melakukan "self purification" nya, yaitu kemampuan alam untuk "membersihkan" pencemar melalui proses-proses kimia-fisik-biologi yang berlangsung secara alami dalam badan air. Ayo bangun rasa memiliki akan sungai tersebut, berhati-hati dalam memperlakukan sungai. Sungai memang bukan makhluk hidup, namun walaupun begitu sungai tetap harus dihargai dengan perlakuan yang tidak semena-mena. Kita bantu wujudkan mimpi Pemerintah di tahun 2019 ini, dimana seluruh masyarakat Indonesia sudah memiliki akses 100% terhadap sumber air minum aman dan fasilitas sanitasi layak di akhir tahun 2019. Melalui peningkatan kualitas hidup dengan kebiasaan hidup sehat dan bersih, sedikit banyak kita sudah membantu meringankan kebutuhan dana Pemerintah untuk mewujudkan mimpinya di akhir tahun 2019 ini. Kualitas lingkungan kita adalah cermin kualitas diri kita. Kesehatan lingkungan kita adalah bagian dari kesehatan kita! Selamat memperingati HARI AIR SEDUNIA!! Salam air bersih!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun