Budaya semacam ini dapat dilihat dalam masyarakat suku Jawa. Masyarakat suku Jawa terkenal memiliki karakter unggah-ungguh yang beradab, baik dalam bertindak maupun bertutur kata.Â
Dalam berkomunikasi masyarakat suku Jawa cenderung tidak langsung mengatakan apa yang ingin disampaikan. Hal ini sama seperti yang disampaikan oleh Edward T. Hall (1973) bahwa masyarakat yang menganut budaya kolektivisme cenderung menganut pola High Context Culture atau budaya konteks tinggi. Â
Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi, yaitu kebanyakan pesan bersifat implisit tidak langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda dan sebagainya).Â
Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan dengan pesan nonverbal. Sebagaimana Edward T. Hall (1976) menyatakan bahwa,"A high context (HC) communication or message is one in which most of the information is already in the person, while very little is in the coded, explicit, transmitted part of the message".Â
Pola komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat Jawa cenderung menggunakan cara komunikasi yang tidak to the point dalam menyampaikan sesuatu. Mereka cenderung mengawali pembicaraan dengan kata pembuka yang terkesan basa-basi dengan tujuan untuk menjaga rasa persaudaraan.Â
Selain itu, masyarakat Jawa bukan tipikal masyarakat yang asal-asalan dalam berbicara, mereka terkesan halus dan hati-hati dalam penyampaian pesan dan pemilihan kata sehingga tidak akan menyinggung dan menyakiti lawan bicaranya.Â
Eh tunggu, Bulik (mama temenku) tiba-tiba ke teras dan ngajak kita bicara....
"Lee, nduk sampun magrib lho ini. Ndak cari bapak sama ibuk dirumah?"
("Nak, sudah magrib loh ini. Apa tidak dicari Bapak sama Ibuk dirumah?"
Jadi, pernah dengar hal serupa?Â
Yuk, pulang!