“Dik, tolong belikan mama odol yaaa”
“Pasta gigi maa, mau yang merk apa nanti dibelikan”
“Ya odol, odol yang pepsodent………”
Sepertinya salah satu perbuatan paling sia-sia di Indonesia adalah meminta orangtua untuk menyebut pasta gigi sebagai pasta gigi atau paling tidak menyebut dengan merk dagangnya.
Sebab dari sekian banyak macam merk dan variant pasta gigi yang hadir di Indonesia, semua itu masih disebut dan disama artikan sebagai “Odol” oleh banyak penduduk Indonesia, khususnya di pulau Jawa, dan termasuk kedua orangtua saya.
“Persepsi seseorang ditentukan atas informasi verbal dan non verbal yang telah dikumpulkan. (Samovar, 2017). Selain itu, persepsi tiap individu terbentuk dengan dilatarbelakangi oleh pengaruh budaya.
Menilik kembali kebelakang, rupanya “Odol” merupakan sebuah merk pembersih mulut asal Jerman yang distribusi produknya telah ada sejak era kononial sampai beberapa tahun setelahnya.
Walaupun setelah itu menghilang dari peradaban pasta gigi di Indonesia, rupanya “Odol” tetap memiliki ruang istimewa diingatan orang Indonesia. Mungkin, pengalaman orang Indonesia berkenalan pertama kali dengan pasta gigi ber-merk “Odol” ini yang mendasari persepsi mereka dalam budaya turun-temurun menyebut semua pasta gigi sebagai “Odol”.
“Dalam budaya, penting untuk melihat bahwa kepercayaan dan nilai yang kita anut mempengaruhi cara kita menyampaikan pesan pada orang lain (Samovar, 2017).”
Kecenderungan kita menilai suatu obyek terbentuk dari pemaknaan kolektif yang dianut oleh budaya kita. Pemaknaan tersebut tanpa kita sadari menjadi sebuah persepsi yang dengan sadar atau tidak lahir sendiri dari kepala dan kita amini dalam kehidupan sehari-hari.
Penyebutan pasta gigi sebagai "Odol" bukan merupakan satu-satunya hal aneh yang ada dalam budaya orang Indonesia, hal lainnya adalah penyebutan semua jenis dan merk mie instant sebagai "Indomie".