Mohon tunggu...
Jovita Ailsa Sari
Jovita Ailsa Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Law Student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Integritas Profesi Hukum: Fenomena Tembak SIM

29 November 2024   16:51 Diperbarui: 29 November 2024   16:51 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu syarat utama dalam berkendara adalah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dikeluarkan oleh kepolisian daerah setempat. Apabila ketahuan tidak memilikinya saat berkendara maka dapat dipastikan masyarakat harus membayar denda dengan jumlah yang telah ditentukan oleh polisi lalu lintas. SIM, STNK, BPKB, dll adalah syarat administrasi yang memiliki fungsi berbeda namun sama-sama penting, sehingga pengendara diwajibkan untuk memiliki syarat administrasinya terlebih dahulu.

Dalam pembuatan SIM, masyarakat diwajibkan untuk mengikuti sejumlah tahapan tes yakni tes tertulis dan tes praktek. Namun, ternyata tidak sedikit yang mengaku bahwa tes pembuatan SIM ini cukup sulit terkhusus tes praktek. Tidak jarang masyarakat beberapa kali gagal sehingga harus melakukan pengulangan tes dan bolak-balik ke kepolisian. Mendengar kesulitan dalam tes ini, rupanya ada oknum-oknum polisi yang memanfaatkan keadaan dan menjadi calo dalam pembuatan SIM. Fenomena ini dilakukan dengan masyarakat akan memberikan sejumlah uang yang cukup banyak dengan kisaran Rp500.000,- hingga Rp1.000.000,- kepada oknum polisi agar melewati tes-tes yang ada dimana uang tersebut akan masuk ke kantong pribadi. Dengan bahasa lain, ini merupakan tindak penyuapan dan polisi sebagai sosok yang seharusnya memiliki integritas serta dapat dipercayai publik ternyata melanggar etik dimulai dari hal-hal yang kecil.

Budaya penyuapan dan korupsi ada di masyarakat kita dan diwajarkan, padahal tanpa kita sadari fenomena “tembak SIM” adalah salah satu contoh dari penyuapan dan korupsi. Masyarakat sering kali mengutuki pejabat pejabat yang korupsi, padahal mereka sendiripun melakukan korupsi.. Fenomena “tembak SIM” bukan hal yang asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia dan bahkan telah menjadi suatu kewajaran dengan dalil tes yang ada terlalu rumit.

Kasus polisi menerima uang hasil "tembak SIM" di Indonesia mencerminkan praktik korupsi yang telah meresap dalam sistem pelayanan publik, khususnya dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM). Istilah "tembak SIM" merujuk pada tindakan memberikan uang kepada oknum tertentu untuk mempermudah proses pembuatan SIM, tanpa mengikuti prosedur yang sah. Kasus penyuapan yang melibatkan oknum polisi seringkali menggambarkan sisi gelap dari sistem penegakan hukum yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Praktik tembak SIM adalah bentuk dari penyuapan yang jelas melanggar hukum. Istilah Suap diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Suap dalam undang-undang ini diartikan sebagai pemberian atau janji yang diberikan kepada pejabat publik agar melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugasnya, atau sebaliknya, untuk tidak menjalankan kewajibannya.

Praktik tembak SIM juga melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (KEPP). Dimana kode etik ini mengatur perihal perilaku dalam menjalankan tugasnya yang harus dipatuhi oleh setiap anggota. Pasal 5 KEPP mengatur bahwa polisi wajib menjaga integritasnya dan menghindari tindakan yang dapat merusak citra serta kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Menerima suap dari masyarakat merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip integritas dan kepercayaan publik tersebut.

Praktik penyuapan yang melibatkan oknum polisi dalam kasus tembak SIM juga memberikan dampak buruk terhadap integritas dan efektivitas sistem penegakan hukum secara keseluruhan. Ketika oknum polisi terlibat dalam penyuapan, hal ini membuka peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan dan dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap kepolisian serta sistem peradilan kita. Praktik semacam ini dapat merusak legitimasi hukum, karena masyarakat mungkin merasa bahwa hukum bisa dipengaruhi oleh uang, bukan diterapkan berdasarkan prinsip keadilan yang berintegritas.

Apabila fenomena ini tidak segera ditangani, maka akan ada beberapa akibat, yaitu :

1. Citra Hukum yang Tercoreng

Penyuapan berupa Tembak SIM tentu saja melanggar prinsip hukum dimana setiap individu diperlakukan sama di hadapan hukum. Memang apabila kita berbicara mengenai materi maka itu adalah hak setiap individu. Namun akibat dari ketidakterjaganya integritas kepolisian dalam penyuapan ini maka akan ada proses yang berbeda antara individu yang “menembak SIM” dengan yang berproses sebagaimana mestinya. Ini dapat membuat masyarakat berpikir bahwa buat apa melewati proses yang susah jika ada proses yang mudah yaitu jalur uang. Masyarakat juga akan berpikir bahwa hukum kita dapat dibeli dengan uang.

2. Menyebarnya Praktik Korupsi dan Suap di Institusi Kepolisian

Praktik tembak SIM berisiko meningkatkan tingkat korupsi di dalam kepolisian. Ketika satu oknum terlibat dalam penyuapan, hal ini bisa membuka kesempatan bagi oknum lain untuk melakukan tindakan yang sama. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi merusak integritas sistem kepolisian secara keseluruhan.

3. Merosotnya Kepercayaan Publik

Kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian bisa terkikis jika oknum polisi terus terlibat dalam praktik penyuapan. Masyarakat mulai merasa bahwa hukum tidak lagi ditegakkan dengan adil, dan proses penegakan hukum bisa dipengaruhi oleh uang. Fenomena ini dapat memicu timbulnya kekecewaan oleh masyarakat dan merusak citra kepolisian sebagai lembaga yang seharusnya menjaga keamanan dan keadilan.

Oleh karena itu diperlukan pula upaya penanggulangannya dengan segera yang dapat dilakukan dengan :

1. Pengawasan yang Diperketat

Salah satu langkah penting untuk mencegah praktik tembak SIM adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap perilaku oknum polisi, baik melalui pemantauan langsung maupun menggunakan teknologi seperti CCTV di lapangan. Pengawasan yang ketat akan membuat oknum polisi lebih berhati-hati dan berpikir dua kali sebelum terjerumus ke dalam praktik penyuapan.

2. Meningkatkan Pendidikan dan Pelatihan Etika

Selain itu, penting untuk memberikan pelatihan yang lebih mendalam mengenai etika profesi kepada polisi, termasuk nilai-nilai integritas dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Hal ini diharapkan dapat mendorong anggota polisi untuk mematuhi kode etik yang berlaku dan menjaga reputasi profesinya dengan lebih baik.

3. Penegakan Hukum yang Tegas

Kasus penyuapan melalui tembak SIM harus diselidiki secara menyeluruh dan pelaku harus diberi sanksi yang tegas. Langkah ini tidak hanya akan memberikan efek jera bagi oknum polisi yang terlibat, tetapi juga menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa tindakan korupsi dan suap di kepolisian tidak akan ditoleransi.

Praktik "tembak SIM" mencerminkan masalah yang lebih detail dalam sistem administrasi dan birokrasi publik di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas terhadap oknum-oknum yang terlibat, serta upaya untuk mengubah pandangan masyarakat tentang korupsi kecil, merupakan langkah awal penting dalam meningkatkan integritas institusi kepolisian dan pelayanan publik. Untuk itu mari hargai setiap proses yang terjadi untuk menciptakan lingkungan hukum yang berintegritas dan beretika!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun