Mohon tunggu...
jovian_057
jovian_057 Mohon Tunggu... Mahasiswa -

You know my picture, not my story Terbit Artikel tidak menentu, Salam Super :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pandangan Masyarakat Indonesia tentang LGBT, Bagaimana?

26 Maret 2016   18:27 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 16483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar: equalityoffice"][/caption]

Banyak sekali masyarakat beranggapan bahwa LGBT adalah kaum yang menyimpang, kaum berdosa, dan bahkan ada negara yang melarang adanya LGBT. Sebenarnya apa itu LGBT ? LGBT adalah akronim dari Lesbian, Gay, Bisex, dan Transgender. Lesbian adalah seseorang perempuan yang tertarik dengan perempuan lain; Gay adalah seorang pria yang tertarik dengan pria lain atau sering dipakai untuk menggambarkan homoseksual; Bisex adalah orang tertarik baik kepada pria dan perempuan; dan Transgender adalah orang yang identitas gendernya bukan laki-laki dan perempuan atau berbeda dengan yang biasa ditulis dokter di sertifikat. Istilah tersebut digunakan untuk menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah tersebut sudah mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.

Dibuatnya akronim bertujuan untuk menekankan keanekaragaman budaya yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender. Istilah LGBT kadang-kadang juga digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender. Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili. Queer adalah kata yang bisa digunakan sebagai pernyataan politik dan menunjukkan seseorang yang tidak mau diidentifikasi sebagai gender yang bisa dipasangkan.

LGBT juga mempunyai simbol tersendiri yaitu bendera pelangi. Dalam sejarahnya, bendera pelangi ini dibuat oleh Gilbert Baker, seniman San Fransisco pada tahun 1978. Ketika itu ia menyanggupi permintaan seorang gay, Harvey Milk, untuk mendesain bendera mendukung hak-hak kaum gay. Baker memilih warna pelangi bukan tanpa alasan, ia mengungkap kepada Time, “Kami membutuhkan sesuatu yang menyatakan (ekspresi keberadaan) kita. Pelangi benar-benar cocok untuk menggambarkan ide itu, dalam hal keberagaman: warna, jenis kelamin dan ras. Bendera tersebut berwarna enam warna tanpa pink dan biru kehijauan.

Mengapa LGBT tidak dapat diterima dalam lingkup masyarakat Indonesia? karena memang menurut nilai-nilai agama, budaya, UU di negara Indonesia masih tidak diperbolehkan, dan adanya prasangka bahwa suatu hari nanti LGBT akan membuat anak Indonesia menjadi seperti kaum LGBT, dan banyaknya asumsi dari masyarakat bahwa LGBT itu buruk, berikut anggapan masyarakat: hubungan sesama jenis dilarang oleh agama dan tergolong dosa besar; manusia diciptakan berpasang-pasangan oleh Tuhan, sudah seharusnya kita sebagai manusia mengikuti aturan tersebut dan tidak bertindak melawan kodrat; dan bencana alam semakin hari semakin banyak terjadi dan merupakan tanda-tanda berakhirnya zaman, seiring dengan semakin banyaknya orang yang menyatakan dirinya bagian dari LGBT, serta juga media juga ikut berperan, adanya beberapa kutipan pendapat yang tidak setuju dengan LGBT sebagai berikut: Wakil Ketua MPR RI Mahyudin menegaskan bahwa penyebaran paham dan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) itu jelas bertentangan dengan Pancasila dan agama. Untuk itu, siapa pun di Indonesia tidak boleh menyebarkannya. "Semua agama yang diakui di Indonesia jelas melarang perilaku dan paham LGBT. Dan, karena itu pasti bertentangan dengan falsafah bangsa, yakni Pancasila,’’ kata Mahyudin seusai mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa di Aula Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, di Cilegon, Kamis (25/2); Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) turut bersuara menanggapi fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Mereka mengecam tindakan promosi dan propaganda LGBT. "Kita bersandarkan nilai-nilai agama, budaya dan UU yang ada di negara ini," ujar Wakil Ketua Umum ICMI, Sri Astuti Buchari, di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (19/2/2016).   

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pihak-pihak yang tergolong LGBT sebenarnya tetap hanyalah manusia biasa yang berhak hidup dengan damai dan tenteram di negaranya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang memiliki hati, memiliki perasaan, juga dapat jatuh cinta pada orang lain sama seperti kaum Heteroseksual. Namun perbedaan hanya terletak pada pasangan yang mereka sukai.

Maka dari itu seharusnya kita dapat menghargai keberadaan LGBT atas dasar kemanusiaan sebagaimana kita menghargai perbedaan yang ada di sekitar kita; mendukung bukan berarti menjadi bagian darinya,  kita cukup menerima dan memahami keadaannya; jangan mengucilkan apabila ia tidak mengganggu kita; LGBT bukanlah lagi penyakit atau kelainan mental menurut penelitian yang dilakukan oleh American Psychiatric Association semenjak tahun 1973; juga menghargai bahwa ia juga memiliki hak asasi yang sama dengan kita; dan sejumlah pemuka agama di Indonesia menyatakan bahwa kaum LGBT harus dilindungi dari sikap diskriminasi warga negara lainnya, meskipun LGBT sangat bertentangan dengan ajaran agama, namun mereka tetap harus dilindungi dan dipenuhi hak serta kebebasan sebagai warna negara.

Dalam pembahasan kali ini akan menggunakan Teori Spiral of Silence yang menjelaskan bahwa orang yang yakin bahwa mereka memiliki sudut pandang yang minoritas mengenai isu-isu publik akan tetap berada di latar belakang di mana komunikasi mereka akan dibatasi dan akhirnya mereka akan kehilangan kepercayaan diri untuk menyuarakan opininya, sedangkan mereka yang yakin bahwa mereka memiliki sudut pandang yang mayoritas akan lebih terdorong untuk membuka suara. Bahwa dalam hal ini suara mayoritas adalah kaum yang tidak setuju dengan adanya LGBT, sedangkan suara minoritas adalah kaum yang setuju dengan adanya LGBT. Pada suara mayoritas juga didukung dengan adanya media, karena banyaknya media yang tidak setuju dengan LBGT sehingga memberikan ruang bagi opini dari kelompok yang bersudut pandang mayoritas, dan membuat kelompok mayoritas memiliki keberanian dan kepercayaan diri untuk mengemukakan pendapat bahwa LGBT itu buruk, sedangkan kelompok minoritas akan takut mengemukakan pendapat tentang LGBT. Adanya juga asumsi dari Teori Spiral of Silence yaitu masyarakat mengancam individu-individu yang dianggap bertolak belakang dengan pandangan publik melalui tindakan pengisolasian serta adanya rasa takut terhadapat isolasi yang sangat berkuasa. Bahwa dimana kelompok mayoritas berkuasa tentang pendapat bahwa LGBT itu buruk sehingga kelompok minoritas tidak berani mengemukakan pendapatnya karena takut terhadap tindakan isolasi.

Jadi dapat di katakan bahwa kaum LBGT umumnya memiliki hak asasi yang sama-sama  pantas mereka dapatkan yaitu adalah hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk berekspresi dan masih banyak lainnya. Sehingga sudah seharusnya kita tidak menyudutkan atau membatasi hak asasi para kaum LBGT, menghargai perbedaan, serta menerima dan memahami keadaannya. Kita pun juga perlu melakukan suatu tindakan, seperti dengan membimbing mereka agar mereka dapat kembali kedalam perilaku yang normal dan tidak menyimpang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun