Mohon tunggu...
Jovannie Kimiko Jaya Siswoyo
Jovannie Kimiko Jaya Siswoyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

GERD: Bukan Sekedar Perut Kembung, tapi Bisa Berakibat Fatal

20 Juni 2024   22:38 Diperbarui: 20 Juni 2024   22:48 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesehatan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya. Itulah pepatah yang sering kita dengar, namun di era sekarang ini pepatah tersebut sudah tidak relevan lagi. Nyatanya banyak masyarakat yang tidak peduli akan kesehatannya, tidak berolahraga, bahkan mengonsumsi makanan yang tidak jelas nutrisinya. Data epidemiologi di Amerika menunjukkan 1 dari 5 orang dewasa memiliki gejala refluks esofagus berupa heartburn dan regurgitasi asam lambung sekali dalam seminggu. Tidak jarang orang yang memiliki refluks esofagus juga mengalami gejala perut yang kembung.

Apa itu GERD?

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi patologis akibat refluks kandungan lambung ke esofagus yang dapat disertai berbagai gejala yang melibatkan esofagus, faring, laring, dan saluran napas. GERD dapat terjadi secara kronis dan mengikis lapisan lambung apabila tidak segera diatasi. GERD dapat juga berkembang dan menyebabkan komplikasi seperti striktur, barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. GERD merupakan masalah kesehatan utama di sebagian besar negara.

Berbagai studi di Indonesia menyebutkan prevalensi GERD mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi GERD di RS Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) meningkat dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 (Syam, dkk). Studi lain menyatakan bahwa prevalensi GERD lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria, meningkat seiring kenaikan usia dan peningkatan indeks massa tubuh (IMT), serta muncul pada 50% perokok aktif, 33,3% peminum kopi rutin, dan 56,2% dari peminum alkohol aktif (Darnindro, dkk). Bila peningkatan ini tidak segera dicegah, maka akan ada kemungkinan peningkatan terus berlanjut.

Stres, memicu GERD?

Kecemasan adalah reaksi alami manusia terhadap rangsangan lingkungan yang terus-menerus. Untuk mempertahankan diri, manusia akan bereaksi dengan melawan atau melarikan diri. Secara alami, baik kecemasan maupun reaksi tubuh akan mereda, sehingga manusia dapat melanjutkan aktivitas sehari-hari dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Namun, kecemasan dianggap abnormal jika berlangsung lama, tidak mereda, memiliki intensitas yang sangat tinggi, atau berulang, yang dapat menyebabkan penyakit fisik seperti GERD.

Banyak masyarakat tidak menyadari bahwa kecemasan berlebihan seperti stres dapat memicu terjadinya GERD di tubuh mereka. Kondisi psikologis seseorang yang buruk dapat memperburuk gejala GERD, menyulitkan dan memperburuk hasil pengobatan, dan mengganggu kualitas hidup pasien. Sebuah studi menunjukkan bahwa kecemasan dapat meningkatkan risiko terjadinya GERD (penyakit asam lambung), sehingga muncul istilah GERD anxiety. Hal ini dipicu oleh beberapa mekanisme, diantaranya:

  1. Pertama, kelemahan sfingter esofagus bagian bawah. Kecemasan dapat melemahkan otot ini, sehingga asam lambung mudah mengalir kembali ke kerongkongan dan menyebabkan heartburn.
  2. Kedua, gangguan motilitas esofagus. Kecemasan dapat mengganggu pergerakan kerongkongan dalam mendorong makanan ke lambung, yang memicu refluks asam.
  3. Ketiga, peningkatan sensitivitas terhadap rasa sakit dan produksi asam lambung. Kecemasan dapat membuat seseorang lebih sensitif terhadap rasa sakit dan meningkatkan produksi asam lambung di lambung.

Apa saja faktor risiko GERD?

Beberapa faktor risiko terjadinya refluks gastroesofageal antara lain obesitas, usia lebih dari 40 tahun, wanita, ras (India lebih sering mengalami GERD), hiatal hernia, kehamilan, merokok, diabetes, asma, riwayat keluarga dengan GERD, status ekonomi lebih tinggi, dan skleroderma. Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal, seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofageal, dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfingter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan non steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus.

Selain dari yang telah disebutkan sebelumnya, berdasarkan beberapa studi, genetik memiliki kemungkinan besar menjadi penyebab GERD. Nampaknya, variasi DNA yang disebut GNB3 C825T merupakan gen berisiko membawa penyakit GERD dan masalah kesehatan lainnya yang berhubungan dengan organ kerongkongan. Namun, periset menyebutkan butuh penelitian lebih lanjut mengenai gen ini. Selain itu, gen ini disebut bukan jadi penyebab GERD tunggal. GERD sangat mungkin terjadi bila juga dikombinasikan dengan faktor risiko lain.

Bagaimana pencegahannya?

Meskipun kehadirannya tidak bisa ditebak dan tidak mengenal waktu, namun GERD bisa dicegah. Saat gejala GERD muncul, tidak bisa hanya dengan meminum obat asam lambung untuk langsung meredakan keluhan. Berikut beberapa langkah pencegahan yang perlu dilakukan.

  1. Menghindari makanan yang bisa memicu GERD, seperti gorengan, makanan pedas, makanan berlemak, cokelat, atau makanan bercita rasa asam. Karena cokelat mengandung methylxantine yang mirip seperti kafein dan dapat membuat sfingter rileks sehingga tidak cukup erat menutup dan terjadi refluks. Makanan pedas mengandung capsaicin, senyawa kimia dalam cabai yang bisa mengiritasi bagian kerongkongan dan bisa mengakibatkan refluks asam. Selain itu, sifat makanan pedas yang sangat asam dapat mengiritasi lapisan lambung.
  2. Tidak mengonsumsi minuman berkafein atau beralkohol. Kafein, senyawa yang terdapat pada kopi dan teh sudah diidentifikasi sebagai pemicu heartburn pada beberapa orang. Kafein diketahui dapat mengendurkan lower esophageal sphincter (LES), katup antara kerongkongan dan perut, sehingga asam lambung bisa naik kembali ke kerongkongan. Alkohol bisa membuat lambung memproduksi lebih banyak asam yang dapat membuat jaringan tubuh lebih sensitif terhadap asam, yang bisa menyebabkan GERD.
  3. Makan dalam porsi kecil, tetapi lebih sering. Karena pada saat makan terlalu banyak, tekanan pada katup meningkat, sehingga ada kecenderungan refluks setelah makan.
  4. Mengelola stres dan melakukan hal-hal positif. Sebagai contoh dengan melakukan meditasi, yoga, berbincang dengan kerabat, atau menekuni hobi.
  5. Menerapkan sleep hygiene agar kualitas tidur meningkat. Kualitas tidur yang baik, dapat mempengaruhi kesehatan tubuh baik secara jasmani maupun mental.

Apabila beragam cara mengelola stres hingga perubahan pola hidup telah dilakukan tapi tidak juga bisa mengatasi gejala GERD yang dialami. Maka perlu bagi orang tersebut untuk mendapatkan penanganan yang tepat dengan berkonsultasi ke dokter.

Daftar Pustaka

Didik Kuswono, A., Yurizali, B., & Akbar, R. R. (2021). Kejadian Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Dengan GERD-Q Pada Mahasiswa Kedokteran. In BRMJ : Baiturrahmah Medical Journal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun