Mohon tunggu...
Ignatius Jovan Liem
Ignatius Jovan Liem Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kanisius

Seorang siswa biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kupu-Kupu Malam

25 Mei 2024   17:26 Diperbarui: 25 Mei 2024   17:28 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu tempat di kota Jakarta. Lampu warna-warni bersinar sembari suara musik yang asik berdering memenuhi ruang. Aku dan seorang temanku tengah duduk di meja pojok ruangan tersebut. Karena sudah larut, tiada yang mengusik kami. Lampu terang, suara berisik, dan suasana yang mulai sepi tak membuat kami resah, sebab kami telah terbiasa.

"Dandananmu makin tebal aja tiap hari," ujar temanku

"Namanya juga kupu malam, kalau tidak begini tak ada yang mau milih," balasku.

Kami terus bercengkrama, tak menyadari waktu berlari begitu cepat. Cerita akan masa lalu dan pekerjaan keluar begitu saja. Sambil sedikit bercanda, kami bercerita mengenai keresahan terhadap pelanggan.

Namun, aku sedih. Merenungi pekerjaanku ini. Bekerja tiap hari tanpa tau kapan berhenti. Mengorbankan kesucian, tak ada masa depan. Jujur saja aku lelah. Aku lelah dengan keadaanku, lelah dengan kondisiku. "Mau sampai kapan aku begini?" tanyaku dalam hati sambil mengeluarkan setetes air mata.

Selepas itu, aku lekas pulang. Melewati gang-gang kecil yang tampak menyeramkan bagi banyak wanita, tapi tidak bagiku. Di persimpangan gang, di ujung jalan, seorang wanita tua dengan tubuh yang kurus berdiri mematung menatapku. Matanya lesu memancarkan aura kesedihan yang menusuk ke hatiku. Dia wanita pertama yang kujumpa di hidupku, yang membesarkanku saat masih kecil.

"Ibu..." sebuah kata terlontar dari bibirku yang tengah bergetar. Sambil menyembunyikan ekspresi wajahku, aku bertanya,"Ibu kok di Jakarta?"
"Eneng, ibu kangen, kamu kurusan ya?" balas wanita tersebut.
Mendengar suara familiar yang tak lama kudengar, ekspresiku pecah, diri ini tak sanggup menahan air mata. Luapan emosi keluar seraya aku berlari dan memeluk tubuh ibuku yang kurus. 

"Gapapa nak, ibu udah tau semuanya, kamu berhenti ya" ucap ibuku yang juga tak kuasa menahan ekspresi wajahnya, matanya sedikit memerah, dan suaranya sedikit bergetar.

"Iya Bu, mari pulang," jawab anaknya sambil menghapus setetes air mata di pipinya.

Cr: kelvinstevianos

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun