Akhir-akhir ini, isu tentang angket sedang hangat di pemberitaan. Kemenangan Prabowo-Gibran (02) di pilpres 2024 mengundang kritikan dari kubu Anies-Imin (01) dan Ganjar-Mahfud (03) karena menurut kedua pihak, paslon 02 menang secara curang. Partai yang saat ini paling keras mengusulkan angket adalah PDIP. Selain kalah secara telak di pilpres, PDIP memiliki semacam dendam terhadap presiden Jokowi.Â
Meskipun masih berstatus anggota PDIP, Jokowi tidak mendukung Ganjar-Mahfud. Paslon yang didukung oleh Jokowi (meskipun secara tidak langsung) adalah paslon 02, apalagi wakilnya, Gibran, adalah anak sulung Jokowi. Terdapat perdebatan soal rencana angket di DPR. Ada yang mengatakan angket diperlukan sebagai semacam usaha mempertahankan demokrasi serta mengusut kecurangan. Ada juga yang melihatnya sebagai upaya sia-sia karena masalah waktu dan mustahil untuk membuktikan kecurangan.Â
Hingga artikel ini dirilis, belum ada kepastian apakah angket akan dilaksanakan. Dilansir dari Detik (2024), Mahfud Md, yang merupakan cawapres 03, menyatakan hak angket tidak akan mengubah hasil pemilu, keputusan KPU, dan keputusan MK. Tapi, Mahfud juga menjelaskan bahwa hak angket boleh saja diusulkan selama berkaitan dengan pemilu sebab target dari angket adalah pemerintah/presiden, bukan KPU maupun bawaslu.Â
Kubu 01 yang juga merupakan kubu yang kalah, turut mendukung usulan angket dari PDIP, meskipun tidak seratus persen sebab beberapa hari sebelumnya, kader dari partai-partai di koalisi 01 (PKS, PKB, dan Nasdem) cenderung memberi pernyataan yang terkesan kurang mendukung angket.
Saat ini, baru empat partai yang menyatakan siap angket. PPP, meskipun merupakan bagian dari 03, tidak menyatakan dukungan terhadap angket, bahkan beberapa anggotanya cenderung menentang pengajuan angket. Jika kita melihat dari awal pilpres (atau mungkin sebelum pengajuan capres) hingga sekarang, hal utama yang mungkin lebih dibutuhkan PDIP bukanlah angket. Hal pertama yang seharusnya dilakukan PDIP adalah introspeksi diri.
Hal pertama yang tentu akan dibahas adalah soal isu kecurangan. Kita belum tahu apakah paslon 02 menang dengan curang sebab belum ada bukti beserta proses hukumnya. Selain itu, sangat sulit membuktikan kecurangan ketika perbedaan persen suara antara Prabowo-Gibran dan Anies-Imin  saja sudah  lebih dari 30%, apalagi dengan Ganjar-Mahfud.Â
Jika kita melihat kemenangan Prabowo-Gibran tanpa faktor dugaan kecurangan, kekalahan telak 03 dari 02 bukanlah hal yang aneh atau anomali. Mengutip dari Republika (2023), pemimpin dari lembaga Indikator Politik, Burhanudin Muhtadi, menyatakan bahwa basis 03 dan 02 memiliki basis yang sama. Itu berarti jika suara 02 naik, maka 03 mengalami penurunan suara.Â
Begitu juga sebaliknya apabila 03 mengalami peningkatan suara. Penjelasan sederhananya adalah pemilu adalah ajang untuk membuktikan apakah hasil kerja Jokowi perlu diteruskan atau dirubah. Dari ketiga paslon, hanya 01 yang mempromosikan agenda perubahan sehingga perubahan suara di 02 dan 03 tidak berpengaruh pada 01. Di sinilah, ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh tim Ganjar-Mahfud.Â
Pertama, 03 memiliki posisi politik yang tidak jelas. Mereka mempromosikan diri mereka sebagai penerus pak Jokowi. Bahkan pendukung-pendukung garis keras 03 berpendapat kalau Ganjar adalah penerus Jokowi. Namun, pada saat yang sama, kubu 03 melontarkan kritik terhadap pemerintahan, terutama kepada Jokowi.Â
Para pemilih menjadi bingung. Bagaimana bisa anda menyerang pemerintahan, sedangkan selama 10 tahun terakhir, partai penguasa di Indonesia adalah PDIP. Itu berarti, ada peran PDIP dari perumusan kebijakan-kebijakan buruk yang dikritik oleh kubu 03 maupun kubu 01 selama masa kampanye. Alhasil, para pemilih yang ingin perubahan akan condong  ke 01, sedangkan pemilih yang ingin melanjutkan akan beralih ke 02 sebab tidak ada kepastian dari paslon Ganjar-Mahfud.Â
Kedua, kubu 03 meremehkan peran Jokowi dalam elektoral. PDIP selalu berpikir tanpa PDIP, Jokowi bukanlah apa-apa. Hal tersebut benar jika mengacu pada saat Jokowi menjabat sebagai walikota dan gubernur, tetapi untuk tiga pilpres terakhir, saya melihat sebaliknya. Sebelumnya, Elit-elit PDIP ingin Megawati yang maju sebagai presiden, namun tidak didukung dengan hasil survei di lapangan.Â