Kata Ustadz gaul Hanan Attaki, berat badan istri saleha itu 55 kg. Gak boleh lebih. Kalau lebih? Auto durhaka? Auto neraka? Hmmm..
Tentu perkataan Hanan tak bisa dipahami secara tekstual. Sebab, kalau tingkat saleha diukur dari berat badan, istri-istri Rasulullah yang lain, istri para Sahabat, istri pembaca sekalian, barangkali banyak yang tidak lulus seleksi ini. Bayangkan, bagaimana repotnya malaikat di yaumil hisab nanti, mesti bawa-bawa timbangan untuk mengukur berat badan. Belum lagi sibuknya admin @penurunberatbadan menerima pesanan dari akhwat-akhwat milenial  yang ingin segera saleha dan langsing itu.
Bagi banyak perempuan, urusan berat badan adalah kurusan sensitif. Sama sensitifnya bagi lelaki saat ditanya "Kapan nikah?", "Kapan beli rumah?, dan "Kapan punya mobil mewah kaya tetangga?". Wajar kalau ceramah Hanan memantik kontroversi, apalagi taruhannya surga dan neraka. Kebanyakan cowok emang gak bisa peka soal ini. Janganlah melulu menyalahkan perempuan yang sulit dipahami. Jangan-jangan memang cowok yang tidak pernah mau belajar mengerti.
Saran saya, bacalah buku Panduan Memahami Wanita, yang dengan melihat bukunya saja lelaki sudah keringetan. Apalagi membaca dan mengaplikasikan.
Namun, ada yang luput dari pandangan masyarakat terlepas dari polemik Hanan di lingkup dakwah. Yakni seksisme. Ungkapan yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual. Meskipun, saya yakin Hanan tidak bermaksud demikian. Apalagi meremehkan keluarga Nabi Muhammad.
Sadar atau tidak, ucapan Hanan menyiratkan stereotip bahwa hanya perempuan yang bermasalah dengan kondisi fisiknya. Berat badannya. Terlepas bahwa kecantikan dan kemolekan adalah hak tubuh perempuan itu sendiri. Setereotip semisal memang telah menjamur, tidak hanya oleh Hanan, tidak hanya di Indonesia, yang menjadikan banyak perempuan memikul beban diskriminasi seksual.
"Kalau tidak 55 kilogram tidak saleha". Misalnya. Seksisme berbungkus Islam Pop.
Sentimen patriarki telah mengkatalisasi cara pikir masyarakat menjadi sebuah dikotomi gender. Dari berat badan, pekerjaan, seks, akademis, pemikiran, kepribadian hingga urusan beragama. Perempuan dipandang tidak pantas menjadi digdaya, cerdas dan berdaulat atas diri dan ekspresinya. Tentu dengan tuntunan agama dan kewajaran budaya nusantara yang semestinya.
Untuk membuktikan apakah dikotomi gender masih bertengger di kepala kita, saya ingin bereksperimen sebentar. Jika saya sebut jenis pekerjaan, segera bayangkan siapa yang cocok menempti posisi itu. Perempuan atau lelaki. Dengan cepat! Siap? Mari kita mulai...
POLISI ?