Dulu informasi dikendalikan kekuasaan. Ketika reformasi pecah pabrik-pabrik berita menjamur bak spanduk di musim politik. Seiring berkembanganya teknologi dan demokrasi industri informasi tumbuh cepat. Berita, sajian peristiwa, percakapan, interaksi global menggelinding mengubah konstruksi kehidupan.
Internet membawa manusia ke era World Wide Web yang kelak mempengaruhi cara pandangnya. Kemudahan akses ke dunia digital membuat warta menjadi barang murah. Berita datang tanpa diminta. Persaingan ekonomi seringkali membuat industri media "memaksa" konsumen membacanya. Informasi mengalami inflasi.
Media sosial, blog, micro blogging hadir menjadi ujung tombak revolusi informasi. Manusia modern menjadi semakin aktif berbagi dan mengomentari bahkan cenderung liar ketika merespons berbagai hal dan remeh-temeh.
Di lautan informasi itu manusia diseret ke pusaran gelombang fakta, fiktif, fiksi, realita, nyata, maya, mainstream, alternatif, propaganda, viral, hoaks, verifikasi, truth, post-truth, dan sebagainya. Badai politik dan Isu SARA memanipulasi kebenaran. Ancaman oknum penyebar prasangka dengan senjata click bait, kalimat hiperbola, dan gambar-gambar yang dicomot dari mana saja.
Media sosial membangun informasinya sendiri, memiliki ragam tutur tersendiri. Ia juga membuat kultur budayanya secara mandiri. Mengelompokkan Manusia A, B, C dan seterusnya. Tarik menarik kutub positif dengan negatif. Penyuka tempe mem-follow penyuka tempe. Yang suka tahu memilih berteman dengan penyuka tahu. Slogannya saja connecting the world, sejatinya mengkotak-kotakkan, menggrup-grupkan.
Sayangnya, manusia modern menikmati itu semua. Mereka rela hilang akal sehat asal tak dilupakan. Minimal di-like dan dikomentari. "Ketik 1 dan lihat apa yang terjadi". Kepopuleran materialisme menjebak mereka dalam ilusi suka-tidak suka, kepentingan untung-rugi, kekayaan materi. Narasi dibangun untuk mencari siapa yang benar: kebenaran versi Prabowo, kebenaran ala Jokowi, benar menurut Demokrat,Nasdem, PDI-P, PKS, tafsir kebenaran edisi Alumni 212. Bukan mencari apa yang sejatinya benar.
Literasi media pun digaungkan sebagai jangkar agar netizen tak karam dihempas kepalsuan. Pers yang dulu dikekang kini "diwajibkan melawan" kebohongan-padahal kebohongan juga datang dari kekuasaan. Pemblokiran menjadi jalan terakhir-mungkin juga pertama-saat "Viralkan!" gagal dikendalikan. Ucapan Tuhan dikutip: Fa tabayyanu. Utamakan klarifikasi. Pemerintah, politisi, akademisi merepitisi, Tabayun...Tabayun...Tabayun.
Tidak semua pengguna internet memiliki kemampuan memvalidasi informasi. Bertanya ke sumber utama. Energi manusia akan terkuras jika meneliti kelengkapan setiap berita. Kepada siapa isu kebangkitan PKI ditanyakan, misalnya. Apa benar presiden kita yang sekarang anak cucu PKI, bagaimana masyarakat bisa mengakses silsilahnya?. Â Hoax or not: Erdogan mengecam Jokowi karena membiarkan penistaan agama di Indonesia? Invasi android membuat orang semakin mesra dengan prasangka-prasangka.
Kepekaan membaca informasi adalah alat utama dalam diri manusia untuk menjauhkannya dari segala macam syak dan wasangka. Filter dari tipuan popularitas dan hegemoni viralitas. Berdaulat atas diri sendiri di tengah tradisi manipulasi, topeng-topeng digital dan jati diri anonim. Bangun keseimbangan berpikir dengan mengenali setiap jenis informasi. Apakah ia penting, aktual, faktual, hiburan, drama, opini, atau sekadar interpretasi penulisnya. Berbasis riset dan data atau hanya bersandar pada "katanya..ucapnya..tuturnya", dikutip dari media ini, disadur dari media itu.
Suandri Ansah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H