Siapa yang tak kenal Abdur Rauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Samsudin As-Sumatrani, dan Nuruddin Ar-Raniry. Para cendekiawan besar yang mengharumkan nama Aceh hingga ke luar negeri. Kelahiran tokoh-tokoh itu terjadi pada masa kejayaan pengembangan tradisi keilmuan dan institusi pendidikan di tanah rencong Aceh. Tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang terkenal. Para mahasiswa dan staf pengajarnya berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Kesultanan Turki, Iran, dan India.Punjauh sebelum Belanda berusaha menjamahtanah rencong, telah berdiri Universitas Baitur Rahman.
Beranjak ke tahun 1957, awal masa pembentukan Provinsi Aceh. Para tokoh setempat antara lain Gubernur Ali Hasjmy, Penguasa Perang Letkol H. Syamaun Ghaharu, dan Mayor T. Hamzah Bendahara serta didukung para penguasa, cendikiawan, ulama, dan para politisi lainnya sepakat untuk meletakkan dasar pembangunan pendidikan di Aceh. Setahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1958 dilangsungkan upacara peletakan batu pertama kota pelajar/mahasiswa (KOPELMA) Darussalam oleh Menteri Agama K.H. Mohd. Ilyas atas nama pemerintah pusat. Setahun kemudian keinginan dan cita-cita rakyat Aceh untuk memiliki sebuah perguruan tinggi menjadi kenyataan. Presiden Soekarno meresmikan Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam diiringi pembukaan selubung Tugu Darussalam, pada tanggal 2 September 1959. Selanjutnya tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Hari yang mengandung makna kebangkitan kembali pendidikan di aceh dan diperingati setiap tahun.
Pada kesempatan pembukaan dan peresmian Kopelma Darussalam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Darussalam sebagai pusat pendidikan di Aceh adalah lambang iklim damai dan suasana persatuan, hasil kerjasama antara rakyat dan para pemimpin Aceh, serta sebagai modal pembangunan dan kemajuan daerah Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Sejak saat itu, seluruh komponen rakyat Aceh ikut mencurahkan pikiran dan tenaga untuk membangun Darussalam sebagai ‘Jantung Hati Rakyat Aceh’. Para pedagang yang tinggal di Aceh maupun di luar Aceh memberi dukungan untuk mengembangkan pendidikan di Aceh. Demikian juga orang-orang kaya Aceh yang tinggal di luar Aceh, bahkan yang tinggal di luar negeri, mengirimkan uangnya untuk mendirikan Universitas Syiah Kuala—Syiah Kuala adalah nama asli Tengku Abdur Rauf As-Singkili—dan sekolah-sekolah (kebanyakan SMA) di daerah-daerah strategis.
Pada awal tahun 70-an, wakil Ford Foundation di Jakarta, John J. Bresnan, menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak ilmuwan sosial. Sejalan dengan pandangan para kritikus yang menilai faktor ekonomi saja tidak cukup untuk pembangunan nasional di Indonesia. Faktor non-ekonomi juga harus diperhatikan, hingga lahirlah ide perlunya lembaga pelatihan ilmu-ilmu sosial. Antropolog dari PrincetonUniversity, Clifford Geertz diminta Bresnan untuk menyusun proposal setebal 30 halaman. Geertz menuliskan kurangnya dana dan pelatihan di bidang ilmu sosial di Indonesia, serta menyarankan Ford Foundation untuk mendirikan pusat penelitian bagi ilmuwan sosial di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah didirikannya Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala. Banyak peneliti sosial jempolan yang lahir dari institusi ini.
Menjadi Korban
Bayangkan apa yang terjadi dengan pendidikan di Aceh, ketika 514 guru meninggalkan Aceh dengan alasan keamanan? Tiga puluh tahun lebih konflik sosial-politik, antara sipil-militer, GAM-TNI, dan pusat-lokal; telah memorakporandakan tatanan sosial dan berlangsungnya pemerintahan. Sejarah menunjukkan bahwa perang dan konflik bersenjata lebih banyak menghancurkan institusi sosial daripada memberikan dampak konstruktif. Hal ini juga berlaku di Aceh, yang begitu jelas terpapar dalam kehidupan sosial, tak terkecuali kehancuran institusi pendidikan. Selain kerusakan secara fisik, dampak lain adalah perasaan traumatis dan ketakutan para pendidik di daerah yang eskalasi konfliknya tinggi.
Selama konflik 1945–1961, banyak orang berpunya di Aceh, yang memandang pendidikan sebagai kunci keberhasilan, mengirim anaknya ke Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Malang, atau Surabaya agar mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Bagi yang kurang mampu akan mengirimkan anaknya ke Medan dan Padang. Beberapa di antaranya memang pulang dan membangun kembali Aceh yang hancur. Banyak juga yang menetap dan mapan secara ekonomi, politik, dan sosial. Sedikit di antaranya pergi ke Australia, USA, Inggris, dan Belanda; dan tidak pernah kembali.
Kekhawatiran akan hilangnya generasi di Aceh cukup beralasan. Selama lima tahun konflik (1998-2003), sedikitnya 546 sekolah dibakar. Dinas Pendidikan Aceh melaporkan nilai ujian akhir pelajar SD hingga SMA menurun drastis dan menempati posisi ke-22 dari 27 provinsi. Kondisi yang tidak kondusif juga mengganggu konsentrasi belajar. Laiknya daerah perang, tidak sedikit pelajar yang ‘dipaksa’ menjadi bagian pelaku konflik. Sebuah ironi, masa belajar mereka dirampas untuk menjadi child soldier. Banyak terjadi kasus penembakkan terhadap guru dan mahasiswa. Tragedi penembakan Rektor IAIN Ar Raniry Prof. Dr. Safwan Idris, MA pada September 2000 dan Rektor Unsyiah Prof. Dr. Dayan Dawood setahun berikutnya mewarnai potret buram pendidikan di Aceh.
Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Nota Kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Disahkannya UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 sebagai salah satu perwujudan MoU menghembuskan nafas kesegaran bagi dunia pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh.
Otonomi Pendidikan
Pada era desentraliasi dan otonomi daerah, pelaksanaan Sisdiknas seharusnya disesuaikan dengan kondisi, nilai-nilai sosial budaya daerah masing-masing, kendatipun hanya ada satu Sisdiknas yang berlaku untuk semua provinsi. Permasalahan lainnya adalah rendahnya kualitas pendidikan yang disebabkan oleh belum meratanya pendidik baik kualitas maupun kuantitas, serta rendahnya tingkat kesejahteraan pendidik, mulai dari TK sampai ke Perguruan Tinggi. Prasarana dan sarana pendidikan yang ada juga masih belum memadai, yang mengakibatkan kurang lancarnya proses belajar mengajar. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi pendidikan juga masih belum tertangani dengan sungguh-sungguh. Persoalan tentang Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan masih belum terakomodasi secara optimal.
Undang–Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membuka peluang bagi masyarakat Aceh untuk mengatur kehidupannya secara khas termasuk dalam membangun pendidikan. Landasan hukum ini tidak saja mengakui tetapi sekaligus mendorong rakyat Aceh untuk menghidupkan kembali kekhasannya yang tercermin pada ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakteristik sosial dan kemasyarakatan yang berlandaskan ajaran Islam. Semboyan kehidupan bermasyarakat “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana” (adat bersumber dari Hulubalang, hukum dari Ulama, perintah dari Raja, dan kebiasaan dari Laksamana), merupakan semangat hidup yang dapat diartikulasikan ke dalam perspektif modern sebagai pendorong kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berpemerintahan yang demokratis serta bertanggung jawab. Semboyan ini memberi arahan bagi pengembangan sumberdaya manusia yang berkarakter menuju era persaingan global.
Pembangunan pendidikan di Aceh ternyata belum sepenuhnya mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan pembangunan daerah, serta belum mengadopsi landasan filosofis dan sosio kultural pendidikan. Landasan yuridis formal Qanun No. 23 Tahun 2002 juga belum sepenuhnya terlaksana. Semangat yang terkandung dalam Qanun tersebut adalah keinginan masyarakat agar sistim pendidikan di Aceh haruslah sistim yang berlandaskan pada ajaran Islam dan nilai-nilai sosio kultural masyarakat Aceh.
Pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh merupakan tonggak baru yang dapat memberi harapan besar bagi reformasi pendidikan yang komprehensif di Aceh. Meskipun pada prinsipnya pendidikan merupakan urusan strategis yang masih menjadi kewenangan negara, namun karena keistimewaan dan kekhususan daerah, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat Aceh, yaitu pendidikan yang Islami sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Qanun No. 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Dalam hubungannya dengan keistimewaan Aceh di bidang pendidikan, maka sejak tahun 1990 melalui Surat Keputusan Gubernur No. 420/435/1990 tanggal 31 Agustus 1990 telah dibentuk Majelis Pendidikan Daerah (MPD), sebuah badan normatif berbasis masyarakat yang berfungsi memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada pemerintah daerah mengenai kebijakan dan pelaksanaan pendidikan di Aceh, dan pada tahun 2006 telah disusun Qanun Nomor 03 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Aceh.
Reformasi pendidikan sebenarnya telah dimulai pada saat PemerintahRI melakukan reformasi tata pemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik. Pendidikan yang pada awalnya merupakan kewenangan penuh pemerintah pusat selanjutnya menjadi urusan daerah masing-masing. Pengalihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen pendidikan guna meningkatkan kinerja pendidikan secara menyeluruh. Janji Pemerintah Aceh untuk memberikan pendidikan gratis bagi siswa yang berusia 7 hingga 18 tahun akhirnya terwujud dengan disahkannya Qanun No. 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Dampak Tsunami
Gempabumi dan tsunami 26 Desember 2004 membuat dunia pendidikan di Aceh mengalami goncangan. Jumlah lembaga pendidikan formal yang rusak mencapai 1.755 buah, meliputi: sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi termasuk perguruan tinggi agama. Sementara itu, jumlah lembaga pendidikan non formal yang rusak mencapai 2.206 lembaga, terdiri dari lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), lembaga kursus, madrasah diniyah, dan taman pendidikan Al Qur’an (TPA). Disamping kerusakan pada satuan-satuan pendidikan, bencana juga merusak sarana dan prasarana pendukung hingga level kabupaten/kota, seperti: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan rumah dinas guru/kepala sekolah/penjaga sekolah. Kerusakan tidak hanya terjadi pada bangunan saja, tetapi juga pada peralatan dan perabotnya. Selain itu, buku-buku yang dimiliki termasuk buku-buku koleksi perpustakaan juga rusak/hancur.
Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang meninggal mencapai 2.500 orang. Siswa sekolah dan mahasiswa yang meninggal sekitar 40.900 orang. Sekitar 3.000 orang guru dan pegawai pendidikan kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Sebanyak 46.000 siswa mengungsi dan hampir 150.000 siswa dari berbagai tingkatan terganggu kegiatan belajarnya. Dari angka guru meninggal atau hilang, terdapat 450 orang yang sudah pernah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan pusat pelatihan lokal yang didanai oleh Depertemen Pendidikan. Sebanyak 325 guru menjalani pelatihan atau melanjutkan sekolah ke luar negeri dengan pendanaan pemerintah provinsi, di mana 31 mendapatkan pelatihan Bahasa arab di Mesir, 65 mengikuti pelatihan Bahasa Inggris di australia, 4 orang training di Singapura, 5 orang menjalani tugas belajar ke Jepang dengan sponsor JICa, 2 orang di Jerman dengan besiswa NED, sedangkan sisanya menjalani pelatihan di Penang, Malaysia pada institusi RECSAM—Regional Education Centre for Science and Mathematics, sebuah pusat pelatihan untuk kajian matematika dan ilmu pengetahuan di bawah SEAMEO. Hal ini merupakan kehilangan besar bagi Dinas Pendidikan Aceh. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan guru yang terlatih dengan baik dan berpengalaman, dalam rangka mencapai Sekolah Berstandar Nasional seperti halnya target Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Dua tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 2 November 2002, Simeulue diguncang gempabumi berskala 8,2 SR. Kerusakan terjadi di seluruh (lima) kecamatan yang ada di kabupaten pulau yang memiliki luas 198.021 hektar tersebut. Tidak hanya menyebabkan kerusakan pada bangunan rumah penduduk di Desa Luan Balu, Simeulue Timur, Kampung Aie di Simeulue Tengah, dan Sibigo di Simeulue Barat; namun juga terhadap 70 persen bangunan sekolah di seluruh wilayah. Hanya dalam waktu dua tahun sesudahnya, seluruh sekolah yang rusak sudah berhasil dibangun kembali.
Sekolah Darurat
Setiap kali terjadi bencana, spontan muncul ide untuk mendirikan sekolah darurat. Berangkat dari kesepakatan universal bahwa meskipun keadaan darurat berlangsung, layanan pendidikan terhadap anak-anak tidak boleh terhenti. Masyarakat Aceh akrab dengan istilah sekolah darurat alias sekolah tenda karena wujudnya berupa bangunan tenda dari bahan terpal sebagai pengganti ruang kelas. Maklum, sebelum dilanda bencana Desember 2004, dua tahun sebelumnya konflik sosial politik telah meluluhlantakkan sendi-sendi pendidikan. Banyak sekolah dibakar dan guru terbunuh. Salah satu langkah penanganannya adalah mendirikan sekolah tenda di samping menggandakan fungsi meunasah sebagai tempat shalat dan ruang belajar. Belum lagi situasi sempat pulih, kini aktivitas pendidikan di daerah itu kembali terancam mati suri akibat gempabumi dan tsunami. Hancurnya sarana fisik pendidikan diikuti dengan hilangnya jiwa tenaga pengajar dan staf kependidikan..
Spontanitas berbagai kalangan yang peduli terhadap keberlangsungan pendidikan di Aceh patut dihargai. Saat itu tidak kurang dari sepuluh badan dunia dan organisasi nonpemerintah dalam negeri yang berkoordinasi dengan Depdiknas untuk mendirikan berbagai sekolah darurat. Tawaran sumbangan yang mengalir tidak hanya berupa tenda seperti yang disiapkan oleh Unicef dan Yayasan Sekolah Rakyat. Ada juga tawaran berupa bantuan tenaga relawan untuk pemetaan lokasi pengungsi dan pembersihan lingkungan sekolah dari mahasiswa Universitas Indonesia. Sejumlah universitas bahkan bersedia mengirim tenaga guru relawan untuk menutupi kekurangan guru yang hilang.
Dalam berbagai rapat koordinasi antara wakil Depdiknas dan badan dunia serta relawan LSM, lahir-lahsebuah konsep sekolah darurat. Intinya, pendirian sekolah tenda harus memperhatikan keamanan, ketertiban, dan kebersihan lingkungan; termasuk sanitasi dan air bersih, agar pemulihan kegiatan belajar tidak terganggu. Di samping itu, sekolah tenda harus dekat dengan lokasi pengungsian agar orangtua yang masih dihantui trauma kehilangan anggota keluarga tidak merasa dipisahkan dari anak-anaknya.
Pengungsi yang telanjur menghuni gedung sekolah harus dipindahkan ke tenda pengungsi agar gedung sekolah bersangkutan bisa berfungsi kembali sebagai ruang belajar. Lantas, anak-anak para pengungsi disekolahkan secara bergantian dengan anak warga asli setempat, polanya kelas pagi-sore. Sayang, konsep di atas kertas itu kurang sinkron dengan kenyataan di lapangan. Persyaratan pendirian sekolah darurat tidak selaras dengan pola hidup pengungsi yang jauh dari kaidah hidup sehat.
Dari sisi tahapan kegiatan, sudah ada pola yang jelas. Rapat koordinasi yang digelar di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi NAD setiap hari Jum’at telah melahirkan langkah-langkah penanganan pemulihan pendidikan. Untuk jangka pendek 1-6 bulan, diadakan ruang belajar dan ruang pendukung guna melayani 60.000-70.000 anak usia sekolah di 95 titik pengungsian. Untuk itu didirikan sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas tenda. Polanya dikonsepkan secara terpadu, mencakup tenda untuk ruang kelas, tenda ruang pendukung, tenda untuk tempat tinggal sementara guru, serta unit sanitasi dan air bersih. Barangkali pendirian sekolah darurat perlu melibatkan pengungsi agar di kalangan mereka tumbuh kesadaran berpola hidup sehat. Jika tidak, maka konsepnya tetap saja sulit membumi.[1]
Dari 756 unit sekolah dan madrasah yang rusak diterjang gelombang tsunami di Aceh, sebanyak 130 unit di antaranya telah dapat difungsikan untuk pelaksanaan proses belajar-mengajar. Sekolah-sekolah tersebut telah dibersihkan dari lumpur dan selesai diperbaiki, sehingga dapat segera digunakan karena kerusakannya tidak terlalu parah. Sebanyak 177 ribu dari total 520 ribu pelajar SD di Aceh diperkirakan kehilangan tempat bersekolah akibat bencana gempabumi dan tsunami (Kompas, 25 Januari 2005).
Pembangunan dan rehabilitasi gedung sekolah yang rusak di Provinsi Aceh dilaksanakan mulai April 2005 karena harus menyesuaikan dengan sistem anggaran negara. Anggaran untuk masing-masing sektor baru dapat dicairkan dari Departemen Keuangan pada bulan April. Untuk tahap pertama, pemerintah membangun sejumlah unit sekolah baru, meliputi: 300 gedung SD, 20 gedung SMP, delapan gedung SMA, dan tujuh gedung SMK; dengan prioritas di daerah yang terkena gempabumi dan tsunami paling parah. Selain dana dari APBN dan APBD, pemerintah juga mengharapkan adanya partisipasi dari masyarakat/donatur untuk pembangunan 500 ruang kelas baru (RKB) dan 50 ruang praktik laboratorium (RPL). Tahap II dan III juga sedang disiapkan. Untuk menampung siswa sementara waktu, 4000 siswa dititipkan di pondok pesantren. Sejumlah 15.000 siswa belajar dengan pola retrival atau menggunakan bangunan sekolah yang masih layak pakai untuk proses belajar mengajar secara bergantian. Sementara itu, disiapkan sebanyak 1.000 beasiswa untuk siswa SMK untuk belajar di Medan dan tempat lainnya.[2]
Pemerintah merekrut 54.775 guru untuk mengatasi kekurangan guru di NAD dan Sumut. Sebanyak 1.500 guru dari Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) sudah siap bekerja selama tiga bulan, sedangkan 500 guru dari Direktorat Pendidikan Kejuruan dan 3.000 guru dari Unicef siap melaksanakan kegiatan belajar mengajar hingga enam bulan pascabencana.[3]
Pemerintah mengupayakan terlaksananya proses belajar mengajar pada semua jenjang pendidikan, baik jalur formal maupun non formal. Pemerintah bersama masyarakat telah membangun posko dan mengirimkan secara bergilir staf dan relawan untuk melakukan penilaian kerusakan dan kehilangan di bidang pendidikan sekaligus menyiapkan sekolah darurat. Pemerintah juga membantu penyediaan sarana dan prasarana serta tenaga pengajar untuk menunjang aktivitas belajar mengajar darurat. Selain itu secara bertahap menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik melalui pengangkatan pegawai negeri sipil maupun tenaga yang dikontrak secara bertahap.
Untuk membantu siswa kelas III jenjang SMP/MTs dan SMA/SMK/MA mempersiapkan ujian akhir dengan mengadakan pendidikan remedial, dimana kegiatan tersebut dilakukan oleh masing-masing sekolah maupun sekolah lain. Bagi siswa kelas III SMK yang membutuhkan banyak kegiatan praktikum, dilakukan persiapan penempatan mereka ke PPPG Jakarta, Bandung, Malang, Yogyakarta, Cianjur, dan Medan. Jumlah keseluruhan sebanyak 586 peserta didik berikut 14 pendidik pendamping. Selain itu, juga dilakukan pendataan sarana dan prasarana pendidikan yang hancur atau rusak serta guru, pegawai dan siswa yang tertimpa musibah gempa dan tsunami serta kebutuhan sarana dan prasarana serta pendidik yang diperlukan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar secara darurat. Disamping itu, dilakukan pula upaya mengaktifkan kembali proses belajar mengajar di Aceh pada tanggal 26 Januari 2005 dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk penyediaan pendidik sementara dan pendidik relawan dengan mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan yang dilakukan oleh LSM.
Berbagai upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil, mengingat 100.000-an anak kehilangan tempat bersekolah sehingga membutuhan sekolah darurat. Pemerintah bersama Unicef dengan bantuan pembiayaan dari JICA serta Yayasan Sampoerna menyediakan fasilitas pendidikan darurat 2.400 tenda dan materi bahan ajar dalam 2.000 paket sekolah (school-in-a-box). Disiapkan pula pendidik sementara untuk mengajar di kelas-kelas darurat yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidik-pendidik yang ada di pengungsian yang saat ini, yang diperkirakan berjumlah 4.800 orang. Selain itu, juga dilakukan penyusunan sasaran prioritas sekolah-sekolah yang perlu direhabilitasi atau direkonstruksi berdasarkan pertimbangan kebutuhan wilayah. Jika memungkinkan dilakukan penggabungan atau relokasi satuan pendidikan.
Di bidang pendidikan non formal dilakukan penanganan secara intensif. Sampai dengan tanggal 7 Februari 2005, pemerintah bersama-sama dengan LSK seperti Sekolah Rakyat, Peace Foundation, dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) telah memberikan pelayanan non formal di 131 titik pengungsian. Kegiatan yang dilakukan antara lain pengiriman relawan, pelatihan calon tutor dan guru, kegiatan PAUD keliling, pendirian taman bacaan, dan pendidikan kesetaraan dengan modul Paket A/B/C. Di samping itu, dilakukan pula pengiriman instruktur dan pendamping pendidikan keterampilan tata boga, menjahit, otomotif, elektronika, bangunan, pertukangan, hantaran, akupresur, dan komputer. Para instruktur tersebut memberikan pelayanan pendidikan kecakapan hidup dan kursus keterampilan di tempat-tempat pengungsian yang telah ditetapkan dan teridentifikasi peserta didiknya.
Mengingat bencana alam yang terjadi juga menimbulkan trauma yang cukup berat pada masyarakat Aceh termasuk pada peserta didik serta pendidik dan tenaga kependidikan, upaya penanganan trauma pascabencana dilakukan secara simultan. Bantuan peralatan pendidikan tidak hanya kebutuhan akademik, akan tetapi juga peralatan olahraga dan permainan untuk membantu siswa mengurangi trauma yang dialami.
Untuk membantu mahasiswa Aceh yang orang tuanya menjadi korban bencana, berbagai perguruan tinggi di Indonesia memberikan beasiswa dan pembebasan SPP untuk tahun akademik 2004-2005 dan dapat diperpanjang hingga selesainya pendidikan. Selain itu juga diberikan bantuan biaya hidup dengan prioritas bagi mahasiswa semester akhir. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Wilayah Barat (BKS-PTN Barat) memfokuskan bantuan untuk menampung sementara mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang ingin melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi anggota BKS-PTN Barat melalui sistem “Credit Sharing”. Turki membantu menyediakan hunian sementara bagi mahasiswa.
Membangun Kembali
Bencana gempabumi dan tsunami mengakibatkan kehancuran fisik dan non fisik yang sangat luar biasa. Tidak hanya merusak infrastruktur, namun juga mengakibatkan ribuan korban jiwa meninggal, luka-luka, dan hilang. Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi karena kehilangan tempat tinggal. Banyak anak menjadi yatim piatu, yang selamat pun tidak bisa bersekolah karena gedung hncur sedangkan gurunya meninggal atau hilang. Secara psikologis juga menyebabkan trauma yang sangat berat bagi para korban.
Untuk menangani kerusakan akibat bencana tersebut, khususnya di bidang pendidikan, Bappenas bersama-sama dengan instansi pemerintah pusat lainnya dan pemerintah daerah Provinsi Aceh, universitas, lembaga sosial kemasyarakatan, tokoh-tokoh masyarakat, dan lembaga internasional baik bilateral maupun multilateral, menyusun rencana rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat Aceh pascabencana.
Tujuan dari rencana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan adalah untuk membuka kesempatan luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan belajar sepanjang hayat, dan mengembangkan sistem pendidikan Islami dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Sasaran yang akan dicapai meliputi: (1) seluruh penduduk usia sekolah dapat kembali memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan; (2) seluruh sarana dan prasarana pendidikan di daerah bencana dapat berfungsi kembali; (3) terpenuhinya kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan kualitas yang memadai; (4) tersedianya kurikulum pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang secaras khusus untuk Provinsi Aceh terkait dengan pelaksanaan syariat Islam; dan (5) berfungsinya kembali manajemen pelayanan pendidikan yang didukung oleh tersedianya anggaran pendidikan yang memadai dan berkelanjutan dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
Strategi yang dilakukan adalah sebagai berikut.Pertama, untuk masa tanggap darurat, strategi yang dilakukan adalah menyediakan layanan penyediaan fasilitas pendidikan di wilayah hunian sementara dengan prioritas: (i) untuk hunian sementara yang memiliki satuan pendidikan di sekitarnya, disediakan tambahan ruang kelas disertai dengan penyediaan buku, peralatan pendidikan dan prasarana penyediaan air bersih dan sanitasi di satuan pendidikan yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan; dan (ii) untuk hunian sementara yang tidak memiliki satuan pendidikan di sekitarnya, disediakan tenda-tenda darurat atau unit sekolah baru disertai dengan penyediaan buku, peralatan pendidikan, dan prasarana penyediaan air bersih dan sanitasi dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas sesuai dengan jumlah peserta didik yang ada.
Kedua, rehabilitasi fasilitas pendidikan diprioritaskan terlebih dahulu untuk daerah yang berpenduduk, sedangkan pembangunan kembali fasilitas pendidikan yang hancur di wilayah yang tidak berpenduduk lagi dilakukan setelah wilayah tersebut kembali dihuni dengan memperhatikan jumlah peserta didik yang ada.Ketiga, rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas pendidikan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan aksesibilitas peserta didik, khususnya untuk penyandang cacat.Keempat, untuk menggantikan pendidik yang meninggal/hilang, selama tahun pertama diupayakan untuk dipenuhi dengan merekrut pendidik relawan atau mendatangkan pendidik dari wilayah lain. Pada saat yang sama perlu dilakukan rekrutmen pendidik tetap untuk dapat dikaryakan mulai tahun berikutnya.
Kelima, peserta didik yang tidak memiliki orangtua atau keluarga diupayakan untuk ditampung di pesantren yang ada atau di asrama yang akan dibangun dan disediakan beasiswa untuk menjamin kelangsungan pendidikan mereka.Keenam, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas pelayanan pendidikan dilakukan semaksimal mungkin dengan menggunakan pola pemberdayaan masyarakat seperti melalui Komite Sekolah/Madrasah atau nama lain yang berlaku di wilayah setempat. min efisiensi pemanfaatan fasilitas pendidikan, jumlah fasilitas yang dibangun pada satuan pendidikan tidak harus sebanyak sebelum bencana, dan upaya penggabungan (regrouping) satuan pendidikan khususnya untuk jenjang SD/MI juga perlu didorong.Ketujuh, mobilisasi sumber daya dan pemberdayaan semua potensi pemerintah, masyarakat, dan swasta.Kedelapan, memperkuat jaringan kerjasama lintas program dan lintas sektor. Kesembilan, menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
Revitalisasi Infrastruktur
Pascatsunami, sekitar 750 gedung sekolah telah dibangun kembali. Sebanyak 400 sekolah sementara yang dibangun oleh berbagai pihak selama tahun pertama, tetap dipakai hingga tahun 2006 dengan menyediakan tambahan ruangan yang cukup untuk proses belajar mengajar sementara sambil menunggu selesainya pembangunan sekolah-sekolah permanen.[4]
Meskipun sudah banyak gedung sekolah yang telah dibangun, namun masih dijumpai beberapa masalah.Pertama, perencanaan dan koordinasi yang kurang baik. Hal ini meningkatkan risiko duplikasi dan tumpangtindih lokasi rekonsruksi gedung sekolah. Beberapa lembaga berkompetisi untuk mendapatkan tempat untuk membangun sekolah permanen. Beberapa sekolah yang dibangun tidak terisi siswa secara maksimal atau hanya melayani sejumlah kecil siswa sekolah.Selain itu, kurangnya koordinasi dengan pemerintah setempat juga menghambat kemajuan rekonstruksi, sebab kedua belah pihak kehilangan komunikasi dan koordinasi.Kedua, meskipun BRR telah mengharmonisasikan standar minimum keamanan bangunan dalam rekonstruksi sekolah pada Agustus 2005, masih dijumpai fenomena sekolah yang dibangun tidak memenuhi kriteria standar tersebut. Akibatnya, keselamatan anak pada saat bencana di masa mendatang tidak terjamin.Ketiga, munculnya permasalahan dalam penyelesaian sengketa tanah, jika sekolah tersebut akan dibangun di tempat yang baru.[5]Selain itu, belum terelokasinya para pengungsi ke tempat yang tetap, sebab tidak mungkin membangun sekolah jika hanya terdapat siswa yang jumlahnya hanya sedikit.
Kompetensi dan Distribusi Guru
Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Aceh tentang rendahnya kompetensi guru merupakan fenomena menyedihkan dari dunia pendidikan di Aceh. Hal ini diperparah lagi dengan tidak meratanya sebaran guru di tiap-tiap daerah. Penelitian Program Pengembangan Kecamatan (PPK) bekerjasama dengan Bank Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar guru terkonsentrasi di kota-kota besar seperti di Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Besar. Rata-rata sekolah di daerah ini memiliki 15-18 orang guru. Sementara daerah-daerah terpencil seperti Gayo Lues, Simeulue, dan Singkil hanya memiliki guru kurang dari sembilan orang. Hal ini dipertegas dengan komposisi rasio guru-murid. Singkil mencatat rasio tertinggi sebesar 21, atau satu orang guru melayani 21 orang murid. Sementara Aceh Timur dan Aceh Tamiang menududuki peringkat kedua, sebesar 17.
Kompetensi yang rendah dan sebaran yang tidak berimbang para guru di Aceh sebenarnya bukan hanya diakibatkan oleh tsunami, tetapi juga oleh konflik yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, meningkatkan dan me-maintainkompetensi guru serta mendistribusikan dengan seimbang tenaga pengajar pada tiap-tiap daerah merupakan hal mutlak dalam membangun pendidikan Aceh ke depan.
Persentase penempatan guru untuk tingkat SMA/SMK/MA di kota lebih dominan yaitu mencapai 82,88% dibandingkan dengan sekolah yang ada di desa yang hanya 17,12%. Untuk tingkat SMP/MTs, persentase penempatan guru PNS di kota dan di desa yaitu 60,51% dan 39,49%
Penempatan guru pada tingkat SMA/SMK/MA di kota melebihi kapasitas kebutuhan guru yaitu sebanyak 79 orang yang seharusnya ditempatkan di desa, sedangkan pada tingkat SMP/MTs penempatan guru di kota terlihat masih kurang, sehingga dibutuhkan guru sebanyak 18 orang. Penempatan guru PNS di desa masih sangat kurang untuk kategori sekolah menengah atas maupun sekolah menengah pertama terlihat bahwa kekurangan guru mencapai 152 orang untuk keseluruhan. Guru bidang studi yang termasuk dalam ujian nasional baik tingkat SMA/SMK/MA dan tingkat SMP/MTs mengalami kekurangan 105 tenaga guru.
Provinsi Aceh membutuhkan 12.000 guru untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) guna mengatasi kekurangan tenaga pengajar di semua tingkatan pendidikan pasca terjadinya bencana alam 26 Desember 2004. Tercatat sebanyak 2.370 guru di Aceh meninggal dunia dan dinyatakan hilang. Sebagian besar guru yang meninggal dan hilang adalah di Kota Banda Aceh yang mencapai 816 orang, kemudian Aceh Besar 738 orang, dan Aceh Jaya 323 orang.[6]
Hasil evaluasi kemampuan akademik guru yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan NAD menunjukkan bahwa nilai rata-rata kemampuan akademik guru adalah 40 dari skor maksimal 100 untuk mata pelajaran IPA, IPS, dan bahasa. Mayoritas guru yang menjadi responden dalam kegiatan tersebut adalah alumni FKIP Unsyiah. Masalah lainnya, terjadi kekurangan guru terutama di daerah terpencil. Hal ini disebabkan jumlah mahasiswa calon guru dari daerah terpencil tidak representatif karena mereka tidak mampu bersaing dengan mahasiswa dari daerah lain untuk masuk ke perguruan tinggi. Pengangkatan guru yang berasal dari daerah lain ke daerah terpencil juga sering menimbulkan masalah, seperti adanya permintaan guru yang minta pindah ke kota atau daerah asalnya, sehingga pendidikan di daerah terpencil tetap saja bermasalah.
Banyak faktor yang menyebabkan kualitas akademik guru rendah, salah satunya ialah rendahnya kualitas lulusan dari institusi pendidikan guru. Kualitas lulusan dipengaruhi oleh kualitas mahasiswa yang masuk lembaga pendidikan guru maupun proses belajar mengajar di institusi tersebut.
Berdasarkan data tingkat persaingan mahasiswa baru (Biro Rektor Unsyiah), ternyata tingkat persaingan mahasiswa baru yang masuk ke FKIP Unsyiah sangat rendah kecuali program studi Bahasa Inggris, Biologi, dan Matematika; dibanding tingkat persaingan memasuki Fakultas Kedokteran, Teknik Sipil, Akutansi, dan Keperawatan. Walaupun tingkat persaingan cukup ketat pada Program Studi Bahasa Inggris, Biologi dan Matematika; tetap saja jurusan tersebut bukan pilihan utama bagi mahasiswa baru. Selain itu, sangat sedikit pula mahasiswa baru yang memiliki rangking 1 sampai 5 di sekolahnya yang masuk ke institusi pendidikan guru.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas mahasiswa baru yang masuk ke institusi pendidikan guru. Selain itu, juga memberi kesempatan kepada mahasiswa dari daerah terpencil untuk dididik menjadi calon guru di daerahnya. Dengan meningkatnya mutu lulusan pendidikan guru diharapkan berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas guru. Prioritas program ini adalah keterwakilan dari daerah terutama daerah terpencil dengan urutan Aceh Singkil, Simeulue, Aceh Tenggara, Gayo Luwes, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Biureun, Pidie, Aceh Besar, Banda Aceh. Apabila terdapat dua mahasiswa mempunyai kemampuan akademik yang sama dan berasal dari kabupaten/kota yang sama, maka mahasiswa yang bertempat tinggal lebih jauh dari pusat kota kabupaten menjadi prioritas untuk diundang masuk ke institusi pendidikan guru.
Sertifikasi Calon Guru SMK
Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang berperan terhadap pembentukan sumber daya manusia yang potensial. Sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang, seorang guru tidak hanya mampu mengusai materi ajar, tetapi juga harus mampu menerapkan metodologi pembelajaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak lulusan sarjana strata satu (S1) program studi non-kependidikan yang berminat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki di bidang pendidikan dan pengajaran. Ada sebagian yang sudah mengabdikan diri sebagai guru, namun mereka belum mempunyai kempetensi profesional keguruan.
Untuk mengatasi kekosongan guru Sekolah Menengah Kejuruan, terutama pada daerah-daerah yang terkena musibah, perlu diupayakan program pintas sertifikasi dengan pemberian ijazah akta bagi mereka yang mampu dan memenuhi persyaratan akademis. Mereka yang selama ini lulusan non kependidikan memiliki kesempatan untuk mengajar. Tujuan program adalah: (1) membekali dan mendidik calon guru SMK agar menguasai landasan-landasan kependidikan; (2) membekali dan melatih kecakapan merancang, mengelola, dan mengevaluasi proses pembelajaran; (3) membekali dan melatih kemampuan metodologis prosedur instruksional mencakup strategi belajar mengajar, metode pengajaran, penggunaan media, dan sumber belajar dalam pembelajaran; dan (4) melatih kemampuan dasar mengajar dan penerapan secukupnya melalui Praktek Pengalaman Lapangan (PPL). Perkuliahan dilaksanakan dalam jangka waktu satu semester. Untuk angkatan pertama dibuka dua kelas atau sejumlah 50 orang peserta.
Guru Praktikum dan Laboran
Ilmu sains (matematika, fisika, kimia, dan biologi) telah menjadi ”momok” yang menakutkan bagi siswa-siswa SMA di Provinsi Aceh, baik pada tingkat SMP/MTs maupun SMA/MA/SMK. Padahal ilmu sains merupakan salah satu pelajaran dasar yang harus dikuasai para siswa untuk mempelajari ilmu pengetahuan pada tingkat lebih lanjut. Beberapa sebab yang membuat siswa tidak tertarik belajar ilmu sains antara lain: (1) fenomena yang abstrak sehingga sulit untuk dipahami; (2) banyak melibatkan rumusan matematis; (3) kualitas pembelajaran baik kualitas pengajar maupun metode pembelajaran; dan (4) lingkungan yang tidak mendukung dimana tidak optimalnya usaha-usaha pihak sekolah atau bahkan pemerintah dalam meningkatkan minat sains para siswa. Salah satu cara meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar ilmu sains adalah menggunakan eksperimen.
Berdasarkan hasil survei, ditinjau dari pelaksanaan praktikum di sekolah, sekolah dapat dibagi dalam tiga kelompok sekolah. Kelompok pertama adalah sekolah yang tidak mempunyai sarana dan prasarana eksperimen seperti SMA Fajar Harapan dan SMA 9. Kelompok kedua adalah sekolah yang mempunyai sarana dan prasarana tetapi belum melaksanakan eksperimen seperti MAN Montasik dan MAN-1. Kelompok ketiga adalah sekolah yang telah melaksanakan praktikum dengan baik dan dilengkapi dengan lembar kerja siswa (LKS), seperti SMA Modal Bangsa, SMA 3, dan SMA 4 Banda Aceh.
Beberapa persoalan mendasar tidak terlaksananya praktikum pada sekolah yang telah mempunyai fasilitas laboratorium adalah: (i) kurangnya kemampuan guru dalam mengoperasikan peralatan, merancang, dan melaksanakan praktikum; (ii) banyak peralatan laboratorium yang rusak; (iii) manajemen pengelolaan laboratorium belum cukup baik untuk mendukung pelaksanaan eksperimen; (iv) kurangnya komitmen pihak pengelola sekolah; (v) biaya operasional sekolah belum mencukupi untuk pelaksanaan eksperimen; dan (vi) tidak adanya monitoring dan evaluasi yang jelas dan terukur terhadap pemberdayaan laboratorium sekolah.
Dari semua persoalan tersebut, kemampuan guru praktik menjadi kendala utama terhambatnya pelaksanaan praktikum. Jika guru mempunyai komitmen yang tinggi dan kemampuan yang baik dalam praktikum, maka praktikum dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, perlu peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan praktikum ilmu sains pada tingkat SMA/MA dan SMP/ MTs. Kegiatan ini dilaksanaan pada tahun anggaran 2006 dengan melatih 40 orang pada masing-masing bidang studi untuk seluruh kabupaten/kota. Kegiatan ini berlanjut pada tahun anggaran 2007.
Panitia pelaksana kegiatan ini adalah tim pembina sains bidang fisika, kimia, dan biologi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala. Kegiatan pelatihan diikuti oleh 21 guru praktikum/laboran per bidang studi wakil dari 21 kabupaten/kota. Seusai pelatihan diharapkan akan menghasilkan: (i) SOP peralatan laboratorium; (ii) petunjuk keselamatan laboratorium; (iii) peningkatan kualitas penguasaan materi ajar dan kemampuan melaksanakan eksperimen para guru/laboran; (iv) kegiatan eksperimen/praktimum yang lebih baik di setiap sekolah; (v) peningkatan kepuasaan siswa terhadap proses pembelajaran berbasis eksperimen; (vi) peningkatan kualitas hasil pembelajaran yang dapat diukur dari kenaikan rerata nilai bidang studi IPA. Dengan pelaksanaan pelatihan manajemen laboratorium, pengelolaan praktikum serta peningkatan kemampuan guru/tenaga laboratorium tentang materi praktikum, maka guru/tenaga laboratorium dapat melaksanakan praktikum secara berkelanjutan di sekolahnya masing-masing. Pelaksanaan praktikum dapat berlangsung secara berkelanjutan mengingat setiap sekolah yang ada wakilnya dalam pelatihan ini akan disediakan fasilitas laboratorium yang memadai. Pada tahun anggaran 2008 dilakukan pelatihan serupa di level kabupaten dengan menggunakan laboratorium yang sudah ada pada masing-masing sekolah (hasil implementasi tahun anggaran 2007) dengan narasumber dari F-MIPa Unsyiah.
Magang Kepala Sekolah
Salah satu komponen dari program besar pengembangan sekolah unggulan bertaraf internasional adalah magang kepala sekolah ke sekolah-sekolah terbaik di luar Aceh selama sebulan. Diharapkan kepala sekolah dapat belajar langsung dan menerapakannya di sekolah asalnya. Peserta magang diharapkan dapat mengikuti proses manajemen sekolah. Pada akhir kegiatan kepala sekolah harus membuat laporan presentasi terhadap hasil magang dan rekomendasi pengembangan sekolah di Aceh.
Program ini bertujuan agar kepala sekolah dapat belajar secara langsung metoda pengelolaan sekolah dari sekolah-sekolah terbaik di Indonesia. Pengalaman ini diharapkan dapat dipraktekkan di sekolah-sekolah di Aceh. Program ini terdiri dari beberapa komponen yaitu tenaga ahli yang bertugas menseleksi dan menentukan tempat magang, kepala sekolah sebagai sebagai peserta magang, tenaga pendamping/pembimbing, pamong sekolah tempat magang serta pembimbing di sekolah tempat magang.
Menyemai Dosen Bergelar
Program rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan BRR NAD-Nias pada tahun 2006 menganggarkan bantuan beasiswa program S2/S3 untuk 50 orang dosen Universitas Syiah Kuala,10 orang dosen Universitas Malikussaleh Lhoksemawe, 10 orang dosen Politeknik Negeri Lhoksemawe, 10 orang dosen IAIN Ar-Raniry, 7 dosen Universitas Iskandar Muda, 5 orang dosen Stain Malikussaleh dan 65 orang dosen Kopertis. Bantuan Beasiswa ini dimaksudkan untuk membantu Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis dalam rangka pengembangan sumber daya manusia. Tujuan lain dari program ini adalah untuk membantu Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis untuk dapat dengan segera memenuhi jumlah dosen dengan pendidikan minimal S2 atau bahkan S3. Dosen yang menjadi sasaran dari program ini adalah dosen dari Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh Rektor Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis yang bersangkutan. Diharapkan dengan adanya bantuan beasiswa ini, dosen yang menjadi sasaran program tersebut akan dapat melanjutkan pendidikan kejenjang S2/S3 dengan segera sesuai kebutuhan Universitas/Institut/Politeknik saat ini. Untuk menjamin keberhasilan implementasi dari program ini, pihak Universitas/Institut/Politeknik agar melakukan seleksi sesuai kebutuhan yang diinginkan.
Beasiswa ini bertujuan untuk mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan dosen Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis dalam rangka rehabilitasi sumber daya manusia (SDM) tenaga edukatif yang berkurang akibat gempabumi berrtsunami. Sasaran beasiswa ini adalah dosen Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dan sesuai denganrapid need assessment(kebutuhan mendesak) Universitas/Institut/Politeknik saat ini. Bantuan beasiswa ini merupakan lanjutan untuk dosen yang melaksanakan tugas belajar untuk tahun masuk 2006 (Unsyiah, Unimal, IAIN, Politeknik, dan Unida). Bantuan beasiswa ini juga dialokasikan untuk dosen Universitas/Institut/Kopertis yang akan melanjutkan studi S2/S3 melalui seleksi yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi masing-masing. Bantuan beasiswa ini diberikan dua tahun untuk Program S-2 dan tiga tahun untuk Program S-3.
Beasiswa disalurkan oleh BRR NAD-Nias melalui Satker BRR Perguruan Tinggi NAD kepada Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis yang disepakati melalui MoU atau kontrak perjanjian. Penanggung jawab pengelolaan dana beasiswa tersebut adalah Pimpinan Universitas/Institut/Politeknik/Kopertis dan disarankan agar Universitas/Institut/Politeknik membentuk unit pengelola beasiswa sebagai pelaksana teknis penyaluran beasiswa.
Pendidikan Vokasional
Pemerintah Jerman melalui KfW Entwicklungsbank, Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman atau Econid, dan Indonesian-German Disaster Relief Committee atau Indogerm mendirikan tiga sekolah menengah kejuruan di Lampineung, Banda Aceh, dalam satu kompleks dengan fasilitas lengkap. Sekolah senilai lebih dari 12 juta euro atau sekitar Rp 155 miliar tersebut dibangun di atas lahan seluas 6,4 hektar. Sekolah tersebut merupakan SMK dengan fasilitas terbaik di Indonesia. Tiga sekolah bergabung dalam satu kompleks, yaitu: SMK Negeri 1 Banda Aceh yang bergerak dalam bisnis dan manajemen; SMK Negeri 2 Banda Aceh yang membidangi konstruksi, teknik, dan kelistrikan; dan SMK Negeri 3 Banda Aceh yang bergerak dalam bidang pariwisata. Sekolah yang mampu menampung 3.700 murid itu juga dilengkapi asrama untuk lebih dari 100 anak dan bengkel kerja yang digunakan para siswa sebagai sarana praktik.[7]
Pelatihan ICT dalam Pembelajaran
Simpati dunia dengan memberi bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam hal fisik, sumber daya manusia, dan ICT (Information and Communication Technology) perlu diberdayakan dan didayagunakan untuk pembangunan pendidikan di NAD/Nias yang berkelanjutan. Terutama pembentukan komunitas baru berbasis komunikasi dan komputerisasi.
Guru adalah aktor dan subjek utama dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Kemampuan guru perlu ditingkatkan, sehingga dapat memanfaatkan semaksimal mungkin sarana ICT dalam proses belajar mengajar. Guru perlu diberikan pelatihan agar mampu memakai komputer dan internet sebagai jawaban dari kepekaan terhadap perubahan tren media pendidikan dan pembelajaran, sekaligus menjawab tantangan perubahan teknologi saat ini dan di masa mendatang.
Pelatihan ini diharapkan akan (i) membuka wawasan guru dalam bidang ICT dan internet dalam mempersiapkan diri memasuki era e-Learning) dan multimedia courseware; (ii) memberdayakan bantuan perangkat ICT untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran; (iii) membentuk komunitas pendidik dan pembelajar berbasis IT; dan (iv) membentuk pelatihan yang berkelanjutan bagi stakeholder pendidikan dan pembelajaran sesuai dengan potensi di daerahnya masing-masing.
*********
Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam transisi tanggap darurat menuju pemulihan. Dalam keadaan apa pun, pendidikan merupakan hak dasar bagi semua anak. Melalui pendidikan, anak dapat berkembang dan memperoleh keterampilan, ilmu pengetahuan, dan kecakapan. Semua itu berguna untuk menghadapi keadaan-keadaan yang sulit dan memberikan sumbangan terhadap pemulihan dan pembangunan keluarga dan masyarakat. Persepsi umum di antara masyarakat, pemerintah, dan para mitra tentang pentingnya pendidikan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk sektor pendidikan selama masa pemulihan. Masyarakat bersikap kooperatif dan seringkali lebih mendahulukan kebutuhan pendidikan anak daripada kebutuhan lainnya. Hasilnya, sebagian besar anak di aceh telah kembali ke sekolah pada tahun 2005.
Ke depan, pascarehabilitasi dan rekonstruksi bencana tsunami, Pemerintah Aceh harus terus berusaha merekonstruksi sistem pendidikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Aceh.Pertama, memperluas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan pendidikan bagi semua penduduk usia sekolah (education for all) terutama penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang merata, terjangkau dan berkualitas serta kesempatan belajar bagi masyarakat dalam rangka pendidikan berkelanjutan dan pendidikan sepanjang hayat.Kedua, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan melalui peningkatan mutu pendidikan dan meningkatkan relevansinya dengan pembangunan daerah, termasuk di dalamnya peningkatan jumlah, kualitas, dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan.Ketiga, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan melalui pengembangan sistem pendidikan dan memantapkan pelaksanaannya dalam semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Semoga dunia pendidikan di Aceh selalu pasang naik, tak pernah surut kembali.
[1]Nara, “Sekolah Darurat Tak Semudah yang Dibayangkan”, Kompas, 10 Januari 2005
[2]Pernyataan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tanggal 26 Januari 2005
[3]Pernyataan Direktur Tenaga Kependidikan Dirjen Dikdasmen tanggal 26 Januari 2005
[4]Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami, Laporan Kemajuan Tahun 2006, hal. 38-39
[5]Aceh Magazine, Oktober 2007: 13
[6]Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NAD, Teuku Alamsyah Banta, tanggal 25 April 2005
[7]“Aceh Miliki SMK Terlengkap di Indonesia” diunduh darihttp://www.acehlong.comupdate 11 Juli 2008
[1]Nara, “Sekolah Darurat Tak Semudah yang Dibayangkan”, Kompas, 10 Januari 2005
[2]Pernyataan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tanggal 26 Januari 2005
[3]Pernyataan Direktur Tenaga Kependidikan Dirjen Dikdasmen tanggal 26 Januari 2005
[4]Aceh dan Nias Dua Tahun Setelah Tsunami, Laporan Kemajuan Tahun 2006, hal. 38-39
[5]Aceh Magazine, Oktober 2007: 13
[6]Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NAD, Teuku Alamsyah Banta, tanggal 25 April 2005
[7]“Aceh Miliki SMK Terlengkap di Indonesia” diunduh darihttp://www.acehlong.comupdate11 Juli 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H