Perkembangan dunia game yang beralih kepada sistem online dan berhasil memunculkan budaya baru berupa “Digital Social Gaming” jelas merupakan fenomena tersendiri yang mewarnai perkembangan Gen-Y dan Gen-Z hari-hari ini. Kematian era game konsol (Play Station, X-Box, dll) menjadi kian nyata dengan munculnya banyak game online yang gratis, seru, dan yang terpenting: melibatkan pemain di seluruh dunia, selama 24 jam, dan bisa dimainkan dimanapun hanya dengan bermodalkan smartphone seharga kurang dari 1 juta rupiah! Saya sendiri penggemar game, walaupun bukan termasuk gamers maniac atau hardcore gamers. Beberapa game online yang pernah saya jamah adalah Clash of Clan (not bad, sekarang sudah level 119), Haypi Pirates (masih sedikit orang Indo yang main game ini), Samurai Siege (pernah sampe bergadang gara-gara sistem warnya yang 12 jam itu ~ gelo!), dan sekarang ini lagi asyik main Line Let’s Get Rich (monopoly yang divariasikan oleh game developer asal Thailand). Setelah sekitar 2 tahun terakhir ini “mengalami” sendiri bagaimana menjadi bagian dari gaming world ini, maka dari hasil pengamatan pribadi, saya menemukan setidaknya ada 5 bahaya dari Game Online. Eits… sebelum buru-buru antipati, coba baca dulu apa yang saya paparkan, baru boleh mengomentarinya:
1. FALSE SUCCESS FEELING Cobalah amati, nyaris semua game online, terutama yang memakai sistem daily maintenance (harus bermain tiap hari agar mengalami kemajuan), tidak pernah ada kata tamat. Setiap kali kita menaikkan level sampai puncak, maka sang developer akan melakukan update baru, memunculkan level baru dan memacu pemain untuk kembali mengejar puncak (yang sebenarnya tak pernah ada ujungnya). Kita digiring untuk mengejar “kesuksesan” yang sebenarnya tak pernah ada. Inilah yang saya sebut dengan perasaan sukses yang palsu. Kita berusaha setengah mati mengejar target-target keberhasilan, tapi begitu kita mencapainya, ternyata masih ada target berikutnya, dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan, saya pernah ada teman yang sudah menghabiskan 15 juta untuk membeli “gem” di Clash of Clan (COC), dan tetap saja kini sang developer memberikan update baru untuk dicapai. Apakah harus sekali lagi mengeluarkan uang? Sampai kapan? Apakah ada ujungnya? Beberapa orang akan mengomentari bagian ini dengan “Ah… jangan terlalu serius menganalisalah… itu kan cuma game, buat senang-senang aja…” Masalahnya, sadarkah kita, bahwa dalam hidup ini, kita sebenarnya sedang melakukan hal yang sama bukan? Mengejar “target-target” yang tak pernah ada ujungnya. Kita berusaha naik level dari dulu punya motor, berusaha punya mobil, sudah punya mobil, mau yang lebih mewah. Sudah punya, mau apartemen, lalu mau rumah, lalu mau rumah mewah, lalu, lalu, dan seterusnya… Kita mengorbankan keluarga, waktu, (dan seringkali kehormatan) untuk mendapat “gem” supaya bisa naik level kehidupan, tapi toh… Ternyata selalu ada “update” target baru yang tak pernah ada habisnya. Bahkan sampai kita matipun, kita tak pernah benar-benar ada di puncak. Game Online sistem daily playing maintenance, memperkuat gaya hidup dan konsep hidup ini. Tanpa sadar, melalui permainan dan “aktifitas senang-senang”, kita sedang didoktrinasi bagaimana cara hidup kita, yaitu mengejar kesuksesan palsu yang tak pernah ada ujungnya. Kita nikmati sesaat, lalu muncul target baru, sampai-sampai sebenarnya kita sudah lelah meneruskan permainan, tapi terasa “nanggung” karena sudah terlanjur basah…
2. LOSING TIME CONTROL Inilah salah satu hal berbahaya yang saya jumpai dalam Game Online sistem Daily Playing Maintenance (DPM). Kita kehilangan kontrol atas waktu kita sendiri karena justru si game itulah yang mematok jadwal kapan kita harus online. Contoh, ketika kita mengupgrade Canon dalam COC, diberitahukan 2 jam kemudian Canon akan selesai. Maka, kita cenderung ingin online setelah 2 jam karena harus melanjutkan upgrade berikutnya. Artinya, yang menentukan kapan kamu harus online, bukanlah dirimu sendiri, tetapi si game tersebut. Bahkan, saya pernah bermain game Haypi Pirates yang memiliki jam-jam tertentu untuk mengambil bonus langka. Misalnya, setiap jam 12 dan jam 6 ada bonus item yang penting yang harus dimiliki, maka tanpa sadar kita dikontrol untuk “harus” online di jam-jam tersebut. Kendali atas waktu kita diambil alih oleh game. Padahal, saya berkali-kali menyatakan bahwa waktu=nyawa. Berapa banyak waktu yang kamu miliki adalah sama dengan berapa banyak nyawa yang kamu miliki. Dan nyawa = kehidupan. Ketika kamu membiarkan orang lain memegang kendali atas waktumu, maka sesungguhnya kamu sedang menyerahkan kendali atas nyawa dan hidupmu juga ke tangan orang lain. Saya malah pernah memiliki teman yang dengan sengaja memasang alarm di jam 3 pagi setiap hari, hanya untuk membangunkan dirinya agar bisa “panen” di akun gamenya, karena setiap jam itu adalah waktu paling tepat untuk melakukan “panen”. Tanpa sadar, game sanggup memegang kendali atas hidup kita.
3. MIXING THE REALITY & VIRTUALITY Seringkali, orang yang terlalu sering dan terlalu “jump in” dalam dunia online, mulai tak bisa lagi membedakan mana dunia nyata dan mana dunia permainan. Salah satu rekan clan saya dalam permainan Haypi Pirates pernah mengeluarkan uang 1,5 juta secara spontan hanya karena dia baru saja diserang dan kalah. Ketika saya dan beberapa orang bertanya, “apakah tidak sayang?” Jawabnya, “Ini adalah masalah kehormatan bung!” Pertanyaannya, perlukah mempertahankan kehormatan di dunia permainan yang bahkan semua pemainnya tidak pernah bertemu muka dengan kita dan bahkan tidak tahu siapa kita? Kehormatan apa yang dipertahankan? Sekiranya kita kalah hancur lebur pun, musuh kita juga tidak tahu siapa kita. Dalam dunia game, kita hanyalah sebatas nama user id. Tidak lebih dari itu. Tapi seringkali kita menganggapnya seperti dunia nyata dan kekalahan kita seolah-olah seperti sebuah kekalahan nyata yang merusak hidup kita. Dan lebih dari itu, saya juga menjumpai banyak sekali anak muda yang lebih suka “gaul” dengan teman-teman clan COC’nya daripada keluar kamar dan bertemu dengan teman-teman yang sesungguhnya. Memang, ada beberapa kasus dimana clan COC yang kuat persaudaraannya akhirnya melakukan kopdar dan membuat komunitas dalam pertemuan nyata. Tapi, itu lebih banyak terjadi pada gamer dewasa. Pada gamer remaja, saya menemukan lebih banyak kasus mereka meng’isolasi diri dari lingkungan sosial nyata dan asyik bersosialisasi secara virtual dalam clan-clan game. Padahal sekali lagi, kita hanyalah sebatas user id di dunia game. Sebagai orang yang mempelajari Kecerdasan Emosi (
EQ) secara mendalam, saya menjumpai, social media dan game online menjadi salah satu teknologi yang menyumbang turunnya tingkat EQ generasi muda di Indonesia. Karena terlalu banyak terlibat dalam interaksi sosial digital yang “introvert”, terisolasi, dan miskin ekspresi emosional nyata (ingat, emosi dan emoticon berbeda jauh!), maka kaum muda kehilangan kemampuan berosialisasi, berinteraksi, dan berkomunikasi secara verbal maupun emosional dalam konteks lingkungan “real”
4. INSTANT REWARD MENTALITY Salah satu bahaya yang paling mengancam dalam dunia game adalah “susupan” mentalitas instan yang kuat sekali diajarkan dalam game online. Contoh simpel, setiap kali kamu melakukan upgrade, dalam kurun waktu tertentu kamu langsung melihat hasil nyata peningkatan kekuatanmu. Artinya, setiap usaha yang kamu lakukan, langsung terlihat hasilnya. Makin sering kamu main, kamu bisa memantau sampai sejauh apa perkembanganmu. Ada angka-angka, ada “meteran” yang mengukur kapan upgrading selesai, ada syarat-syarat yang jelas untuk mendapat reward, bonus, karakter spesial, kemampuan khusus, dan naik level. Artinya, semua sistem reward & punishment sudah jelas sekali. Masalahnya, dalam hidup tidak demikian. Dalam game, kita keluarkan uang 1 juta, jelas kelihatan apa-apa saja hasil dan peningkatannya. Namun, dalam hidup, kadangkala tidak ada formula tetap yang pasti. Akhirnya, ketika kita mengeluarkan uang 1 juta dengan pengharapan mendapat sebuah hasil tertentu, tapi ternyata tidak terlihat hasilnya, kita menjadi kecewa dan terguncang. Artinya, dalam hidup nyata, seringkali kita tak bisa melihat langsung apa hasil dari usaha kita. Contohnya, artikel yang saya tulis detik ini, jika dalam dunia game, 1 artikel bisa dihargai dengan 100 experience. Dengan mengumpulkan 1000 experience (10 artikel) saya bisa naik level. Tapi dalam kehidupan, siapa yang bisa tahu ada berapa banyak artikel yang harus saya tulis agar supaya terjadi sebuah “kesukesan”? Inilah sebabnya kenapa sekarang banyak anak muda yang minta usaha mereka langsung dihargai dengan sesuatu yang kelihatan. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka meminta “instant reward” yang bisa mereka lihat sebagai kompensasi dari apa yang sudah mereka kerjakan dan usahakan. Bukankah mentalitas ini menjadi berbahaya jika menjangkiti 1 generasi? Padahal, sepanjang saya belajar tentang keberhasilan hidup. Kadangkala, ada proses-proses yang kita lakukan, kita sama sekali tak bisa melihat efek dan dampaknya. Tidak ada intant reward yang ada sama sekali. Tapi bertahun-tahun kemudian, kita baru bisa melihat apa yang kita lakukan dahulu ternyata turut menyumbang keberhasilan hari ini. Reward tidak datang saat itu juga dan tak terlihat saat itu juga.
5. INSTANT FINISH MENTALITY Mentalitas instan berikutnya adalah godaan untuk menyelesaikan segala sesuatu melalui jalur cepat. Dalam COC, Hayday, Haypi Pirates, Line Let’s Get Rich, dan semua game online apapun, mereka selalu menyediakan semacam “gem” (atau ruby, atau diamond, atau apapun namanya). Gunanya? Jika kamu malas menunggu waktu upgrade, belilah gem dan klik tombol “finish now” maka, TWALA! selesailah sudah upgrademu. Maka, saya berjumpa dengan sangat banyak orang (baik muda maupun tua) yang dengan cepat menggelontorkan uangnya membeli gem hanya untuk “finish now”. Dan, jangan kaget, dalam game-game semacam itu. Orang-orang yang tidak membeli gem, yang sabar, mampu menahan diri, setia dengan proses, akan jauh lebih kalah dan cupu. Semua posisi top diisi oleh para pemain yang menggunakan gem habis-habis’an. Dalam hal ini, mereka yang punya banyak uang, bisa “mempercepat” jalan menuju kesuksesan. Benarkah uang bisa menjadi jalan pintas? Ya, untuk banyak hal uang bisa mempercepat proses. Tapi, dalam kehidupan ini, ada proses-proses kehidupan yang tidak bisa di”finish now” dengan uang. Misalnya, kelahiran bayi. Sebanyak apapun uangmu, tetap saja kamu harus menunggu 9 bulan. Pernikahan, sebanyak apapun uangmu, tetap saja pria dan wanita harus berproses melalui waktu untuk menemukan kedewasaan cinta. Membesarkan anak, sebanyak apapun uangmu, mengajarkan karakter tetap saja butuh waktu, menunjukkan keteladanan dalam momentum-momentum kehidupan yang spontan dan tak bisa dibeli. Bahkan bikin mie instan saja tetep butuh proses waktu menunggu dan tak bisa tekan tombol “finish now” (sebanyak apapun uangmu!) Artinya, ada banyak hal penting yang tak bisa di “finish now” untuk mendapatkannya! Tapi, budaya dalam game online menyatakan bahwa kesuksesan bisa dibeli dengan uang! (kesuksesan palsu “falses success feeling”lah yang bisa dibeli dengan uang). Jika kita terkontaminasi dengan budaya instant finish mentality ini, bisa-bisa segala sesuatu dalam hidup kita akan mengambil jalan pintas hanya supaya bisa segera melihat hasilnya.
“GAME BANYAK UNSUR MENDIDIK KOK!” Saya sering membaca dan mendengar pemaparan bagaimana game bisa dipakai untuk kepentingan edukasi, melatih kemampuan berpikir, melatih perkembangan otak anak, kreativitas, problem solving skill, etc, etc, etc. Ya, memang benar, hampir segala sesuatu ada sisi positifnya. Tapi yang perlu diingat adalah, jangan sampai hanya karena sesuatu itu ada sisi positifnya, lalu kita lengah dan membiarkan game menguasai hidup kita. Alkohol juga ada sisi positifnya. Morfin juga ada sisi positifnya. Bahkan rokok sekalipun juga ada sisi positifnya. Masalahnya, bagaimana dengan ancaman-ancaman sisi negatifnya? Lalu bagaimana kalau ternyata efek negatifnya sudah terlanjur merusak lebih banyak ketimbang manfaat positifnya? Disinilah kita perlu berhati-hati.
APAKAH SAYA MELARANG ORANG BERMAIN GAME ONLINE? Tentu saja tidak! Karena saya sendiri sampai detik ini masih main game juga. Tetapi, pemahaman saya ini membebaskan saya. Tadinya saya termasuk korban orang yang tak bisa mengontrol waktu, terikat oleh aturan-aturan game, berusaha mengejar level-level yang tiada habisnya hanya demi perasaan sukses palsu yang sesaat. Sekarang? Saya bermain dengan bebas. Saya bisa berhenti kapan saya mau berhenti. Saya merasa santai meski level saya cupu. Saya tidak merasa “wah” kalau level saya tinggi. Intinya, saya tidak lagi dikontrol oleh game karena saya itu itu bukan kehidupan saya. Mungkin akan berbeda kalau profesi saya adalah game developer atau game programmer. Tapi saya bukan berprofesi di dunia game, jadi saya tidak lagi “jump in” dan mengkoneksikan hidup pribadi saya ke dalam dunia game. Well, Semoga opini pribadi saya ini bisa bermanfaat buat semua yang membaca
@josuawahyudi
www.josuawahyudi.comBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya