Tesis Awal Evolusi dan Teologi
Tentang evolusi memiliki tiga komponen yang penting yaitu pertama adanya perubahan gen dari waktu ke waktu, sehingga terjadi saat melewati garis keturunan evolusi, yang menyebabkan ciri-ciri tertentu menjadi umum hal itu menyebabkan kurangnya frekuensi dan gen yang berubah. Kedua garis keturunan yang sama menyatakan bahwa semua organisme yang ada muncul dari satu nenek moyang yang sama. ketiga frekuensi gen yang berubah dari waktu ke waktu hanya membuat kekacauan pada suatu yang telah diamati tetapi kemudian evolusi juga melibatkan mekanisme tertentu yang menjelaskan perubahan tersebut. Dalam dunia biologi, evolusi bekerja tanpa adanya peran/eksistensi Tuhan sehingga evolusi tidak fundamental. Evolusi mengetahui asal-usul manusia yang dapat menggambarkan makna dan tujuan sejati manusia. Evolusi adalah proses yang bersifat acak (kontingensi) dan ketiadaan tujuan. Sedangkan teologi bersifat determinis -- Tuhan menyatakan tujuanNya melalui ciptaan dan keberagaman kompleksitas kehidupan. Sehingga ketika evolusi bersinggungan dengan teologi dalam berbagai cara yang mengkaitkan dengan sesuainya antara evolusi dan tentang asal-usul dalam teks-teks suci yang diwahyukan, sehingga banyak penganut agama dengan banyaknya tradisi percaya bahwa Tuhan terlibat dalam asal-usul kehidupan (setidaknya dalam asal-usul umat manusia) juga evolusi adalah murni secara natural, maka dengan yang tampak pada penderitaan dan kejahatan sangat melekat pada proses evolusi tersebut.
Dialog
1. Michael Murray (Filsuf Teistik)
Michael mengakui adanya Teori Evolusi yang berbicara tentang proses acak kehidupan di banyak alam semesta yang luas dan tak dapat terpecahkan. Akan tetapi, tetap memiliki pagar pembatas oleh tujuan Allah (determinisme Teologi).
2. Michael Ruse (Filsuf Moralitas)
Menurutnya, perdebatan yang sesungguhnya ialah Evolusi dan Kekristenan Barat, bukan evolusi dan teologi. Sebab hal itu sebagai perjumpaan pertama yang mengangkat asal usul manusia antara hubungan sains dan agama.
3. Nancey Murphy (Teistik Scientis)
Latar belakang perdebatan asal usul manusia ialah dari realita chaos dan penderitaan. Kekacauan dalam dunia dilihat dalam perspektif Teologi bahwa penderitaan adalah bagian dari keberdosaaan manusia sehingga bencana alam merupakan manifestasi kuasa malaikat yang jatuh dan menjadikan ciptaan berubah (bermutasi). Namun, filsafat tetap menaruh skeptisme terhadap pernyataan Teologi tersebut sehingga perdebatan teologi dan filsafat berfokus pada isu kejahatan moral manusia, tetapi tidak memiliki kesepakatan dengan apa yang dimaksud kejahatan sesungguhnya (natural evil). Di sinilah evolusi memberikan jawaban.
4. Celia Deane (Teolog)
Deane mencoba mendialogkan antara Kristologi dan Evolusi dalam Theo-drama (partisipasi dalam peristiwa Kristus). Dalam Theo-drama ini terdapat dua proses sekaligus yakni kontingensi evolusi/ ilmu pengetahuan dan determinisme yang dinyatakan dalam teologi.
5. Francisco Ayala (Teolog dan Biologis)
Menurutnya, upaya dialogis antara teologi dan evolusi mengenai asal usul manusia merupakan suatu hal yang tidak akan mendapat titik temu dan harus berpisah. Dengan demikian jikalau dialog tersebut dilakukan, maka yang terjadi adalah upaya kooptasi satu dengan yang lain.
Tanggapan
Pandangan dari berbagai dialog Kuhn dengan beragam perspektif, saya memahami bahwa perdebatan mendasar antara Evolusi dan Teologi ialah persoalan kontigensi dan determinisme ciptaan. Dengan melihat ketidakcocokan dengan kompatibilitas, sehingga menyebabkan dua pandangan (teis dan ateis) dan hal yang membuat dialog ini semakin rumit ketika Teori Evolusi bersikeras dengan kontigensinya dan Teologi dengan determinismenya. Seolah-olah kontingensi dan determinisme adalah dua hal yang tidak dapat dijembatani. Maka, tampaknya pernyataan Deane dengan Teori Theo-drama memberikan suatu peluang menjembatani antara keduanya. Secara khusus menyatakan, bahwa Teologi juga memberi tempat terhadap kontigensi ciptaan (dinamika alam, akal budi manusia) namun tetap dalam satu Narasi besar yang dinyatakan sebagai Tujuan Allah dalam teologi. Sehingga argumen Evolusioner melawan Naturalisme maka akan berakhir dengan paradoks tertentu, sehingga satu-satunya menyelesaikan paradoks tersebut adalah hukum Tuhan dan hal-hal yang ingin diwujudkan Tuhan (maka penderitaan dalam evolusi tidak ada tujuan dalam keacakan evolusi).Â
Doktrin Penciptaan banyak berangkat dan dikembangkan dalam Kitab Kejadian dan cenderung hanya dipahami secara literer. Padahal jika berangkat dari pendekatan historis (yang memakai kaidah ilmu pengetahuan seperti arkeologi dan antropologi) tampak bahwa sekalipun Kitab Kejadian berbicara tentang asal-usul ciptaan (Teologi Penciptaan), tetapi bukanlah bermaksud untuk memaparkan konteks spasial dan temporal dari sejarah asal-usul ciptaan tersebut.
Sebagaimana juga pendapat Michael Ruse bahwa Kisah Adam dan Hawa bukanlah sekadar dipahami secara literer, tetapi juga secara simbolis dari hubungan laki-laki dan perempuan. Demikian juga Teori Evolusi berupaya menjelaskan proses ciptaan tetapi realita adanya bukti yang tidak konsisten (kontingensi) dalam Evolusi. Maka tampaknya Teologi Penciptaan yang disampaikan oleh Narasi Kejadian merupakan suatu respon yang diberikan terhadap pertanyaan filosofis yang sudah ada sejak konteks penulisannya, namun tetap belum memberikan jawaban yang menyatukan secara rasional. Maka dihadirkan jawaban teologis maupun etis dengan menyatakan Teori Evolusi yang sudah berkembang lama hingga saat ini belum memiliki bukti yg konsisten dengan pendekatan rasionalis. Maka, penjelasan komprehensif dan rasional mengenai asal usul manusia tidak cukup jika hanya membahas Teologi Penciptaan dan Teori Evolusi. Teologi Penciptaan Kitab Kejadian berangkat dari pertanyaan identitas (filosofis), bukan Penyataan Ilahi yang langsung. Ilmuwan juga masih memiliki "celah" dalam Teori Evolusi, karena kontingensi dan sifat acaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H