Deane mencoba mendialogkan antara Kristologi dan Evolusi dalam Theo-drama (partisipasi dalam peristiwa Kristus). Dalam Theo-drama ini terdapat dua proses sekaligus yakni kontingensi evolusi/ ilmu pengetahuan dan determinisme yang dinyatakan dalam teologi.
5. Francisco Ayala (Teolog dan Biologis)
Menurutnya, upaya dialogis antara teologi dan evolusi mengenai asal usul manusia merupakan suatu hal yang tidak akan mendapat titik temu dan harus berpisah. Dengan demikian jikalau dialog tersebut dilakukan, maka yang terjadi adalah upaya kooptasi satu dengan yang lain.
Tanggapan
Pandangan dari berbagai dialog Kuhn dengan beragam perspektif, saya memahami bahwa perdebatan mendasar antara Evolusi dan Teologi ialah persoalan kontigensi dan determinisme ciptaan. Dengan melihat ketidakcocokan dengan kompatibilitas, sehingga menyebabkan dua pandangan (teis dan ateis) dan hal yang membuat dialog ini semakin rumit ketika Teori Evolusi bersikeras dengan kontigensinya dan Teologi dengan determinismenya. Seolah-olah kontingensi dan determinisme adalah dua hal yang tidak dapat dijembatani. Maka, tampaknya pernyataan Deane dengan Teori Theo-drama memberikan suatu peluang menjembatani antara keduanya. Secara khusus menyatakan, bahwa Teologi juga memberi tempat terhadap kontigensi ciptaan (dinamika alam, akal budi manusia) namun tetap dalam satu Narasi besar yang dinyatakan sebagai Tujuan Allah dalam teologi. Sehingga argumen Evolusioner melawan Naturalisme maka akan berakhir dengan paradoks tertentu, sehingga satu-satunya menyelesaikan paradoks tersebut adalah hukum Tuhan dan hal-hal yang ingin diwujudkan Tuhan (maka penderitaan dalam evolusi tidak ada tujuan dalam keacakan evolusi).Â
Doktrin Penciptaan banyak berangkat dan dikembangkan dalam Kitab Kejadian dan cenderung hanya dipahami secara literer. Padahal jika berangkat dari pendekatan historis (yang memakai kaidah ilmu pengetahuan seperti arkeologi dan antropologi) tampak bahwa sekalipun Kitab Kejadian berbicara tentang asal-usul ciptaan (Teologi Penciptaan), tetapi bukanlah bermaksud untuk memaparkan konteks spasial dan temporal dari sejarah asal-usul ciptaan tersebut.
Sebagaimana juga pendapat Michael Ruse bahwa Kisah Adam dan Hawa bukanlah sekadar dipahami secara literer, tetapi juga secara simbolis dari hubungan laki-laki dan perempuan. Demikian juga Teori Evolusi berupaya menjelaskan proses ciptaan tetapi realita adanya bukti yang tidak konsisten (kontingensi) dalam Evolusi. Maka tampaknya Teologi Penciptaan yang disampaikan oleh Narasi Kejadian merupakan suatu respon yang diberikan terhadap pertanyaan filosofis yang sudah ada sejak konteks penulisannya, namun tetap belum memberikan jawaban yang menyatukan secara rasional. Maka dihadirkan jawaban teologis maupun etis dengan menyatakan Teori Evolusi yang sudah berkembang lama hingga saat ini belum memiliki bukti yg konsisten dengan pendekatan rasionalis. Maka, penjelasan komprehensif dan rasional mengenai asal usul manusia tidak cukup jika hanya membahas Teologi Penciptaan dan Teori Evolusi. Teologi Penciptaan Kitab Kejadian berangkat dari pertanyaan identitas (filosofis), bukan Penyataan Ilahi yang langsung. Ilmuwan juga masih memiliki "celah" dalam Teori Evolusi, karena kontingensi dan sifat acaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H