Dalam buku Richard J. Bernstein berupaya menentukan sifat dan ruang lingkup rasionalitas manusia dengan mengkaji bagaimana sains, hermeneutik, dan praksis sebagai faktor yang berbeda namun saling berkaitan. Objektivitas dan Relativitas adalah dua hal yang tidak sama. Rasionalitas bertentangan dengan irasionalitas, objektivitas bertentangan dengan subjektivitas, realisme bertentangan dengan anti realisme. Tujuannya agar mempelajari masalah fenomena yang kompleks, mengindikasi intelektual dan beracuan kepada kultur, memperlihatkan mengapa tradisi oposisi menjatuhkan, apa direksi yang baru muncul dan apa buktinya dan maksud dari diluar objektivitas dan relativitas.
Inti dari semua supaya dapat dilihat satu konsentrasi dan fokus yaitu menentukan sifat dasar dan ruang lingkup rasionalitas manusia. Hasil penting dari keduanya adalah teoritis dan praktis kehidupan. Defenisi dari percakapan tentang rasionalitas manusia, yang berkaitan dengan ilmu hermeneutik, dan praktis. Mengubah filsafat menjadi ilmu pengetahun (epistemologi). Seorang penganut objektivis mengklaim bahwa terdapat atau harus menemukan acuan seperti itu dan tugas utama dari filsuf adalah menemukan penemuan yang dapat di klaim sebagai acuan yang sangat kuat.
Relativis tidak hanya menyangkal penemuan positif dari objektivitas tetapi visioner ataupun melangkah lebih jauh. Sehingga dipaksa untuk mengakui bahwa dalam analisis akhir semua konsep tersebut harus dipahami sebagai relatif terhadap skema konseptual tertentu, kerangka paradigma teoritis, bentuk kehidupan, sosial, dan budaya. Standar dari rasionalitas ada semenjak keoriginalan filosofi barat atau sejak plato menyerang kaum sofisme dan dugaan relativisme Protagoras. Objektivisme harus mempunyai landasan Ontologi.
Para relativis menuduh objektivis menyalahkan histori terbaik atau budaya yang stabil selamanya atau permanen. Akibatnya relativisme itu sendiri mungkin benar dan salah. Maka, istilah relativitas mesti dibedakan dari subjektivitas. Seorang relativis tidak perlu menjadi subjektivis, karena subjektivis belum tentu seorang relativis. Struktur dari transendental subjektivitas mendasari pengetahuan objektif ilmiah dan lingkungan hidup yang diberikan dari pengalaman setiap hari.
Dari karakter ini antara objektivitas dan relativitas, dapat dijelaskan bahwa fokusnya adalah oposisi antara relativisme dan absolutisme atau antara subjektivitas dan objektivitas. Pengetahuan tentang struktur subjektivitas transendental menekankan bahwa fenomenalogi transendental bersifat terbuka, dinamis, koperatif, dan bisa saja keliru. Heidegger memberikan ide dari fenomenalogi transendental. Dia mempertanyakan cara berpikir tentang “subjektif” dan “objektif” sebagai penanda epistimologi dasar atau metafisika dasar. Dalam pemeriksaan ulang kontemporer dari disiplin sosial, menjadi pemulihan dimensi hermeneutik, dengan menekankan tema-tema dan pemahaman interpretasi. “Pemulihan” dimensi hermeneutik terbatas dari ilmu pengetahuan dalam menulis sejarah ilmu pengetahuan.
Dalam pengalaman pengetahuan alam di ajak untuk menjadi objektif, dapat diuji, dan terlepas dari penjelasan yang teoritis. Dalam pengetahuan manusia, data tidak terlepas dari teori, untuk apa bertekun menghitung data yang terlihat dari beberapa penafsiran teori, dan mereka memiliki fakta untuk direkontruksi dalam terang interpretasi. Bahasa dari pengetahuan manusia tidak dapat direduksi secara samar dan adaptasi yang berkelanjutan dari dirinya.
Hal ini terutama karena dialektika secara internal dari filsafat ilmu kontemporer, dengan refleksi dan argumentasi tentang pemahaman yang benar terkait pertanyaan yang benar, mereka menekankan masa depan dari pengetahuan (dan bukan hanya ilmu tentang pengetahuan dan sejarahnya) ialah hermeneutik. Tetapi ini kebetulan dan konvergensi paling sedikit seharusnya, ini disarankan oleh Kuhn[1], hal ini membuka konfrontasi yang serius dengan hermeneutik. Dalam hermeneutik dan beberapa dari kritik, kita menemukan perdebatan lain yang rasional. Menghasilkan masalah utama dari kecemasan Cartesian[2] dan mereka dapat menginterpretasikan bukti pergerekan yang lebih jauh di luar objektivitas dan relativitas.
Dasar-dasar dari beberapa dialog hermeneutik dan pemahaman tentang ilmu alam dan ilmu sosial. Filsafat hermenutik merupakan pewaris tradisi yang lama dari filsafat praktis. Dengan hubungan hermeneutik dan praktis, ketiga interkoneksi pengetahuan, hermeneutik dan praktis menjadi eksplisit. Refleksi kontemporer dari karakter yang asli dan ilmu sosial memiliki refleksi kontemporer menyebabkan pemulihan dimensi hermeneutik dari disiplin ilmu dan pertemuan dengan tradisi hermeneutik. Karya Heidegger, Gadamer, Ricoeur, dan Bultman memberikan tantangan baru bagi yang berkonsentrasi dengan narasi alkitabiah, interpretasi tradisi keagamaan, dan peran teologi yang dipakai. Hal ini menjadi kecurigaan yang sah atas keterkaitan ilmu, hermeneutik, dan praktis yang telah meniru dari beberapa sugesti yang substantif. Akhirnya, membuat kemungkinan sesuai skeptis tentang referensi yang tetap dari percakapan baru tentang hakikat ilmu, karakter yang esensial dan tercakup.
Setiap pembela hermeneutik secara umum tradisi humanistik, harus menghadapi klaim ilmu yang serius dan ilmu tersendiri dari nilai realitas, pengetahuan, dan kebenaran. Setiap kali beberapa filsuf datang dengan yang dianggapnya sebagai argumen yang baru atau wawasan baru yang menunjukan mengapa seseorang tidak dapat mengasimilasi atau mereduksi semua bentuk pengetahuan menjadi bentuk kanonik dari ilmu-ilmu yang formal dan telah banyak tipe-tipe pemikiran kritis yang mencatat kesulitan “praktis” tetapi belum tentu semurni “teori” rintangan untuk kesatuan esensial dari beberapa ilmu dan satu ilmu yang universal yang mencakup semuanya. Bernstein menawarkan bahwa hermeneutik adalah studi yang sangat kompleks dan bahkan interdisipliner. Itu sebabnya ia menyatakan bahwa hermeneutik tidak sekadar hanya sebagai bagian atau salah satu dari ilmu sosial ataupun ilmu alam, ataupun berada dalam salah satu paradigma objektifisme maupun relativisme, melainkan melampaui keduanya.