Siami seperti mendadak menjadi 'pajangan etalase'. Keriuhan bergeser cepat dari omong kosong soal koruptor yang sedang menikmati 'sakit' dan 'lupa'-nya di negeri seberang; mengarah kepada sosok individu ndeso bernama Siami. Media dengan cepat menempatkan Siami di etalase , entah hanya untuk menggeser isu murahan, atau memang sedang menemukan mutiara putih yang selama ini hilang. Mutiara putih berkilau itu ada dalam diri seorang Siami. Tak terlalu rumit sebenarnya mencari orang yang bertindak jujur, tetapi amat rumit di negeri kleptokrasi ini orang jujur dengan gigih menyuarakan nilai luhur yang sudah sekian lama terintegrasi dalam diri serta keluarganya. Mungkin atau 3 hari belakangan ini, 'etalase' itu masih menjadi menarik, tetapi entah itu sampai berapa lama? Jangan-jangan memang Siami dikondisikan seperti 'etalase' yang setiap saat bisa diganti oleh pajangan lain. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Jerry Rubin, seorang pengarang, bahwa setiap orang dalam perjalanan hidup ini adalah rangkaian etalase yang sedang dipertontonkan, semua seperti film besar (big movie) kehidupan.
Kita mungkin dan hampir pasti tidak mengenal Siami secara personal sekalipun kemunculannya menjadikan kita seperti memiliki hubungan emosional dengannya. Ada semacam prapaham yang kita bangun dalam relasi emosional itu. Tulisan ini mencoba menelisik lebih jauh, prapaham apa yang ada dalam pikiran kita ketika kita sedang menyaksikan Siami dan perjuangannya.
Paling tidak ada 3 persepktif di media yang sedang mengisi tafsir tentang Siami.
Perspektif pertama adalah pendekatan simbolisme. Mereka yang ada dibelakang perspektif ini mengandaikan dunia ini sebagai pertarungan simbolik. Salah satunya adalah antara yang 'jahat' dan 'baik'. Agama bisa jadi menjadi pegangan untuk menentukan jahat dan baik itu. Baik atau jahat? Jahat atau baik? Menjadi ukuran nilai yang memiliki tingkat relativitas sangat tinggi. Bayangkan saja, seorang Mendiknas kemarin (via detik.com) menyederhanakan persoalan Siami dengan berkata: "Jangan dipahlawankan pribadi Siami, nanti masyarakat lain jadi sakit hati". Pertarungan simbolik menjadi makin kabur tatkala terjadi institusionalisasi terhadap nilai-nilai yang jahat dan baik. Baik menurut Siami, justru berbahaya menurut Mendiknas. Untung saja MUI tidak ikut-ikutan mengeluarkan fatwa Siami (atau mungkin belum??). Pendekatan simbolisme menjadi daya tarik sendiri bagi kaum elitis termasuk di dalamnya pemimpin negara, agama, atau siapa saja yang memiliki pengaruh dnegan dalih kepentingan. Realitas simbolik akhirnya mudah dipermainkan, tergantung siapa yang mengendalikan tafsirnya. Isu Siami bisa jadi sangat tidak menarik bagi presiden SBY atau Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, karena ini hanyalah isu pinggiran yang tidak memberi nilai tambah apa-apa terhadap pencitraan. Sebab bukankah SBY lebih suka berkata "perangi korupsi" bukan "perangi ketidakjujuran"? Siapa yang berkuasa dan memiliki pengaurh yang banyak, merekalah yang bisa menentukan bandul itu ke arah mana: jahat atau baik. Prapaham simbolisme tak pelak menngajak kita bermain bandulan bergerak ke mana suka tergantung siapa yang mendorong supaya bandul itu makin tinggi atau rendah, bahkan akhirnya diam di tempat tak bergerak.
Perspektif kedua: Pragmatisme Moral. Pertanyaan mereka yang ada di balik perspektif ini adalah: Apa signifikansi masalah Siami bagi Indonesia? Pertanyaan yang kelihatan mbois ini benar-benar menginginkan jawaban perubahan yang kalau bisa radikal, cepat dan syukur bisa mengubah sistem. Mereka yang idealis bisa jadi berada di balik cara berpikir seperti ini, tetapi tetaplah tujuannya: pragmatis. Maka persoalan Siami hanya dibahas sebatas wacana yang ujung-ujungnya hanya dianggap 'tusuk gigi' ketimbang tuas besar untuk mencongkel batu besar. Inilah yang terjadi di media-media televisi, ketika pakar berjumpa pakar menggunakan logika pragmatis lalu media mengemasnya untuk suatu isu yang lebih besar. "Kejujuran di Negara Kleptorasi", tajuk MetroTv kemarin, bukan menyoroti Siami secara an sich sekalipun Siami dan Alif diundang untuk memberikan testimoni. Namun itu hanyalah tempelan untuk membidik persoalan yang besar dan mengharapkan 'tusuk gigi' ini mencongkel batu besar. Maka hampir bisa dipastikan, Siami dan Alif segera berlalu, karena mereka yang beranggapan pragmatis hanya tercengang dan merasa perlu habis-habisan mengeluarkan semua energinya hanya untuk kasus yang punya efek kejut dahsyat, mencengangkan, dan menaikan popularitas. Bisa diduga, ibarat mutiara putih di hamparan pantai, sekejap hilang karena ombak besar yang menggiringnya entah ke mana. Itulah fenomena Siami.
Perspektif yang ketiga: Eksistensialis Feminis. Saya menemukan pendekatan yang berbeda ketika membaca tulisan Jaleswari Pramodhawardani (JP) di Kompas, hari ini (Kamis, 16 Juni 2011) yang mengulas tentang Siami. Bukan sekadar ulasan tetapi ruang permenungan yang memiliki daya empati besar. Di paragraf 2 tulisan JP ada kalimat : 'menjadi perempuan sekaligus ibu sungguh tak mudah'. Kalimat ini sesungguhnya mengandung pendirian yang jelas, posisi yang tak bisa ditawar-tawar: bahwa manusia siapapun dia, memiliki nilai diri. Itulah nilai integral manusia yang sangat eksistensial. Siami harus kita lihat sebagai ibu dan perempuan sebagai bagian dari voice from voiceless, suara kaum tak bersuara atau sebagai suara kelompok marjinal yang mempertaruhkan eksistensi dirinya sebagai perempuan yang tak punya daya dobrak terhadap sistem yang ada, sekaligus sebagai ibu yang merahimi nilai-nilai luhur kejujuran. Suara Siami tak perlu harus dicari signifikansinya atas masalah-masalah lain. Tak perlu juga dipaksakan masuk dalam keriuhan politisasi wacana, sebagaimana kerap terjadi belakangan ini. Sebab kaum eksistensialis feminis selalu mennempatkan ego sebagai nilai diri yang harus dijaga kemurniannya, jauh dari kepentingan politis apapun. Siami ketika gigih memperjuangkan integritasnya, tentu dia tidak sedang berusaha untuk jadi calon presiden 2014, dia hanyalah ibu dan perempuan yang tertatih-tatih membangun konstruksi nilai kejujuran di tengah masyarakat yang sudah sangat biasa dengan manipulasi dan kebohongan.
Saya tidak mau mengakhiri tulisan ini dengan menyatakan perspektif mana yang benar, sebab prapaham itu memiliki keunikan, dan bukankah perbedaan itu tak mungkin terabaikan? Saya hanya memiliki harapan yang besar bahwa kita adalah individu yang memiliki ego dengan bangunan nilai entah dari budaya atau agama, berhimpun bersama dalam satu sistem yang memiliki nilai-nilai bersama. Persoalannya ketika terjadi benturan nilai seperti itu, apakah masih ada ego? Masih adakah hati nurani yang bersih? Masih tersediakah jeda untuk mengambil pilihan pada nurani yang bersih? Atau kita kembali terhisab oleh nilai-nilai bersama yang dianggap benar-baik-tepat hanya dalam tafsir kekuasaan? Bila ini yang terjadi, percayalah, kita hanya terhimpun dalam perarakan yang tak jelas menuju ke mana. Suatu perarakan massa tanpa otak, tumpul hati, dan tentunya tak ada nurani!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H