FOOTBALL FOR HOPE
( dimuat dalam Tabloid BOLA no. 2.271 10-11 November 2011, rubrik OPOSAN)
Ketika kick off Indonesia versus Kamboja dimulai, spontan imajinasi membawa saya menuju ke suatu tempat yang indah, sekaligus masih penuh dengan kekerasan dan darah. Ya, Papua. Saya membayangkan berada di tengah-tengah masyarakat Papua menonton tayangan langsung pertandingan itu.
Empat putra daerah Papua: Patrick Wanggai, Oktovianus Maniani, Titus Bonay, dan Stevie Bonsapia menjadi kerangka tim Garuda U-23. Kebanggaan lokalitas ini tidak mermaksud meniadakan kerja keras pemain lain. Tetapi paling tidak, kehadiran pemain Papua membawa harapan bagi kita.
Ya, sepakbola adalah harapan, itu yang dibawa oleh tim nasional U-23. Harapan tak sekadar menang, tetapi harapan bahwa masih ada orang-orang yang bekerja keras demi kemajuan sepakbola Indonesia.
Mengaitkan 'sepakbola' dan 'harapan' bukanlah hal yang sulit. FIFA melalui situs resminya- menyatakan bahwa: "The creation of a Football for Hope Centre begins with identifying both the local challenges as well as a local organisation that successfully uses football-based programmes for social development".
Sepakbola selalu memiliki sinergi dengan masyarakat lokal. Sinergi yang membangun masyarakat dengan pendekatan kemanusiaan serta memberikan harapan kepada masyarakat untuk lebih sejahtera hidupnya. Mungkin bagi kita yang berada di Indonesia, Football For Hope kedengaran sangat utopis, sekadar program yang mengawang-awang, tetapi tidak bagi negara-negara maju, khususnya di Eropa. Sepakbola, bagi mereka, tak sekadar hiburan, tetapi juga adalah cara berempati kepada sesama. FIFA melalui program Football for Hope, menyambangi negara-negara Afrika dengan mengembangkan sepakbola lokal, bagi anak-anak, sekaligus membangun infrastruktur dan menggalang donatur untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Sepakbola dan Harapan, bagi kita justru menjadi dua hal yang berjarak, tak bersinergi, nggak nyambung. Alih-alih sebagai hiburan, sepakbola ternyata menjadi medan politik yang sangat kejam. Ada politik uang, dan persekongkolan yang saling menjatuhkan. Belakangan kita dihadapkan kembali dengan situasi sepakbola tanpa harapan. Dua kubu yang tadinya bersatu mengusung reformasi sepakbola, tiba-tiba menjadi pihak yang sama-sama arogan,sama-sama merasa sebagai penjaga statuta yang paling benar.
Mengapa PSSI membangun sepakbola tanpa harapan?
Pertama: secara struktural, kepengurusan PSSI sudah tidak memiliki kewibawaan lagi. Karut-marut- silang pendapat yang tak berujung dan selalu menggunakan jalan pikiran menggulingkan kepemimpinan sebagai cara yang terbaik. Struktur organisasi yang dikelola seperti demikian hanya dimiliki oleh kelompok mafia, yang tak mengenal musyawarah.
Kedua: Lupakan pembinaan sepakbola usia remaja. Karena pengelolaan terhadap tim nasional senior sangat abal-abal. Mendadak ganti pelatih, dan belum usai kita memperdebatkan pergantian pelatih yang sepihak, belakangan PSSI sepertinya menjilat ludah sendiri dengan menaturalisasi beberapa pemain asing.