Mohon tunggu...
Johannes De Fretes
Johannes De Fretes Mohon Tunggu... -

Football and Philosophy Lovers \r\nFavorite quotes: You have given me mud and I have made of it gold-Baudelaire-\r\nLife is like football: the adversary is the best teacher -Paulo Coelho-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Siami dan Ruyati dalam Herstory Kita

19 Juni 2011   08:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:22 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siami dan Ruyati adalah perempuan dalam belenggu yang sama: negara. Konsep negara memang tidak pernah selesai. Negara adalah proses ketika setiap individu menyatakan kehendaknya sebagai makhluk bebas. Lalu mengapa negara bisa menjadi belenggu? Inilah yang menjadi pertanyaan Pabolo Casals, konduktor sekaligus pemain celo kondang asal Catalan, Spanyol: Lalu mengapa ada belenggu yang membatasi ketika cinta kepada negara sebagai suatu kemutlakan? Jangan tanyakan seberapa nasionalisnya Siami dan Ruyati. Siami adalah pribadi yang memiliki integritas, itu sudha sangat menjelaskan bahwa sebagai individu ia mengisi keindonesiaan melalui sikap luhur seorang perempuan. Bisa jadi keindonesiaan yang dibayangkan itu adalah keindonesiaan yang retak, dan sebentar lagi ambruk karena pilar nilai yang teguh sudah keropos. Jangan paksa Ruyati yang sudah terpisah kepala dan tubuhnya, untuk berkata tentang Indonesia. Perempuan pekerja yang meninggalkan keluarga sudah pasti menambah pundi-pundi devisa negara. Tapi jangan juga cepat terbuai dengan  label kepada mereka (perempuan pekerja) sebagai pahlawan devisa. Sebab mereka tak pernah diberi penghargaan jangankan sebagai pahlawan, tetapi sebagai manusia pun tak pernah. Tahun 2006 (koreksi bila salah) Pak Beye dan Bu Ani ke Arab Saudi dan terharu mengelus dada dengar kisah TKI dan berjanji akan membela dan membenahi.Soal Darsem pun akan segera dituntaskan. Dan berkali-kali, himbauan, keprihatinan sekaligus pernyataan "pemerintah tak akan tidur" menyelesaikan masalah-masalah negara, juga terekam di publik sebagai internalisasi pencitraan presiden. Inilah cermin negara yang sedang menyusun mata rantai yang satu dengan mata rantai lainnya yang kemudian membentuk belenggu dan mengikat masyarakat terutama kaum perempuan. Kaum perempuan hanyalah kelompok 'diam' dan dipaksa diam oleh semua hiruk pikuk nagsa ini. Bangsa ini lebih menghargai mantan-mantan teroris yang sudah membunuh perempuan dan anak-anak, untuk dihadirkan kembali di televisi sebagai nara sumber. Bangsa ini lebih menjamin koruptor yang mengambil hak rakyat atas pekerjaan dan kesejahteraan. Ironisnya perempuan dan anak-anak adalah korban kerakusan mereka semua. Suara kaum diam, suara kaum perempuan, hanya mengalun sepi. Korban perkosaan bahkan hukuman mati pun hanya cukup dijawab "tidak tahu" dan "prihatin". In Memory of Her: A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins, buku karangan  Elizabeth Schussler Fiorenza, mengajukan keberatan dan kritik terhadap sentimen anti perempuan dalam teks-teks suci (Alkitab). Keberatannya terutama kepada alibi kaum patriark bahwa budaya memang sudah lahir dalam sistem yang menguatkan dominasi laki-laki. Pendapat ini justru menjadi sistem yang membelenggu selama ini. Bukan budaya yang semata-mata membelenggu, tetapi cara pandang serta kepentingan kekuasaan yang memang mengabaikan narasi budaya yang mengangkat tentang perempuan. Fiorenza mengarahkan tuduhannya kepada tradisi gereja yang justru berperan besar membangkitkan sentimen anti perempuan.Apa yang dikatakan Fiorenza itu yang dikatakan juga oleh Hannah Arendt bahwa yang mendefinisikan atau menentukan penindasan kemanusiaan (perempuan) adalah kekuasaan yang tiran itu. Di sini kita bisa melihat bahwa kasus-kasus keberatan kaum perempuan terhadap nilai-nilai keadilan sebenarnya hanya makin memperkuat tirani itu. Inilah indikatornya: perempuan kritis selalu paralel dengan penyiksaan dan penderitaan perempuan. Siami kritis, Siami dibungkam dan terusir dari kaumnya. Ruyati bekerja lalu terpancung, Ruyati juga dipersalahkan karena mencari kerja ke luar negeri. Teks paralel seperti ini yang saya sebut sebagai belenggu tiran atas kekuasaan. Marsinah hanya buruh. Gugatannya membuat aparat beringas, membunuhnya. Ketika Suciwati menggugat kematian pejuang ham Munir, suaminya, maka muncul anti tesis atas gugatan itu: kasus ditutup, tim pencari fakta tak menemukan bukti kuat keterlibatan aparat negara. Sangat sederhana, semua berakhir begitu saja. Ketika kaum perempuan, para ibu korban tragedi Trisakti mengajukan keprihatanian setiap tahun bahkan tak eprnah berhenti, muncul teks paralel: Universitas Trisakti sedang dipermasalahkan persoalan legalitasnya. Ketika mama-mama Papua menuntut hak atas pasar tradisional di Papua, teks-teks kekerasan kemudian muncul di mana-mana. Ketika kaum perempuan berkeringat, bekerja untuk kehidupan yang layak, maka perkosaan atas hak-hak perempuan dilegalkan: UU ANTI PORNOGRAFI, serta pemberlakuan PERDA jam malam atas kaum pekerja perempuan. Kritik dan kerja keras perempuan mengalir, kekerasan membungkamnya. Dan inilah yang menjadi kenyataan kita bahwa perjuangan kaum perempuan memang selalu menemui lawan yang tak seimbang: tiran. Tirani lebih suka dengan kerumunan perempuan yang membentuk Ikatan Istri setia Kepad Suami atau Persatuan Istri Setia, dan sangat akrab dengan kumpulan ibu-ibu pengajian serta kegiatan komisi wanita atau perempuan gereja. Karena tiran membutuhkan kelompok-kelompok yang tunduk pada kekuasaan serta mendoakan dan melafalkan ayat-ayat suci demi kelanggengan kekuasaan. Cerita tentang perempuan kritis-perempuan tumbang, masih terus berlanjut. Maka Herstory harus menjadi bagian dari sejarah yang sebenarnya. Kesejatian sejarah ada pada keberanian memelihara kritik, integritas serta perjuangan kaum yang dilumpuhkan. Herstory haruslah tetap berisi Voice from the Voiceless, suara dari kaum tak bersuara. Sebuah teks pernah keluar dari mulut Isa Almasih: Semua yang kulakukan adalah untuk mengenang perempuan itu. Ya, perempuan yang merahimi kasih sayang, perempuan yang terusir dari kaumnya, perempuan yang dianggap melakukan dosa sosial oleh sebab itu harus dirajam. Seharusnya kita juga terikat dalam belenggu itu, karena persoalan perempuan adalah persoalan kemanusiaan. Bangsa ini berdiri bukan karena founding fathers, tetapi juga founding mothers ikut merahimi lahirnya kemerdekaan. Maka "ibu pertiwi" dan "nusa ina" (pulau ibu) adalah tempat sejarah kasih sayang dimulai, digumuli, disuarakan dengan lantang, karena mereka semua merahimi kebebasan, perdamaian dan kasih sayang; meski sang tiran dengan kekuasaanya masih menggunakan mesin penindas, entah sampai berapa lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun