Mohon tunggu...
Johannes De Fretes
Johannes De Fretes Mohon Tunggu... -

Football and Philosophy Lovers \r\nFavorite quotes: You have given me mud and I have made of it gold-Baudelaire-\r\nLife is like football: the adversary is the best teacher -Paulo Coelho-

Selanjutnya

Tutup

Catatan

20 Detik Pelukan yang Luar Biasa...

19 Juni 2011   05:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mal itu memang daya tarik akhir pekan. Mengantar saudara-keponakan, memang bukan ritual yang membosankan. Tetapi mal selalu saja menjebak saya terduduk dalam kemuakan dan kebosanan yang seperti tak bisa mendadak dipulihkan di tempat ramai itu juga.  Tepat di lobi mal, sisi kiri anak jalan, saya terduduk hanya membayangkan bentangan hijau dengan 22 orang beradu otak dan tenaga untuk mencapai goal. Tetapi itu hanya fatamorgana dibalik gersangnya mal. Tak jauh di sebelah kiri, seorang anak kecil sedang 'sibuk' dengan aktivitas sendirinya. Dunianya seperti miliknya sendiri. Ia 'berkicau'-melompat dengan hentakan yang keras, sambil diinterupsi oleh gerakan berputar seperti baling-baling yang kuat. Tanpa kontak mata, tanpa ada relasi dengan sekitarnya. Hanya sendiri-hanya dunianya sendiri yang sedang dinikmati. Keindahan yang baru saya lihat adalah anugerah bernama autisme (autos: sendiri). Perlahan kebosanan saya mulai hilang, bukan karena fatamorgana lapangan hijau. Tetapi karena keindahan autisme, sekalipun saya sadar keindahan dalam perspektif saya berbeda dengan cara pandang orang lain yang lalu lalang dengan senyun nyinyir dan melihat dunia sendiri anak itu sebagai keanehan atau keganjilan yang ditertawakan. Bahkan beberapa orang dengan sengaja menarik anak-anaknya untuk tidak dekat dengan dunia sendiri anak cantik itu.

Pengasuh mulai kehilangan kesabaran. Gertakan dengan nada keras-lembut bergantian untuk mengintervensi dunia sendiri itu. Tetapi sebenarnya tanpa dihardik, apalgi ditarik-tarik dengan kasar "dunia sendiri' itu akan mengajak si anak untuk sejenak jeda, menikmati ketenangan sebagai anugerah Tuhan. Kebosanan saya mulai hilang, karena saya ikut masuk dalam dunia sendiri yang indah. Dan akhirnya...saya benar-benar mengalami anugerah keindahan itu, ketika tanpa diduga sama sekali, anak kecil cantik itu datang ke arah saya lalu memeluk erat tubuh saya. Saya bingung..bertanya dalam hati mengapa demikian? Dan tiba-tiba saya sadar dalam hati: untuk apa mempertanyakan keindahan? Mengapa kita harus mencari jawab atas anugerah yang tak bisa terlukiskan? Lukisan keindahan yang bukan ilusi itu hanya berlangsung -mungkin- 20 atau 25 detik, dan itupun terjadi karena hentakan keras pengasuhh yang melepaskan pelukan anak itu dari tubuh saya.

Saya sempat mengajar paruh waktu anak-anak yang memiliki dunia indahnya sendiri, hanya sebentar, tak sampai sebulan. Namun pengalaman perjumpaan di mal yang membosankan itu membuat saya mrefleksikan satu hal: cinta. Cinta memang datang tiba-tiba, memberikan rasa nyaman, membuat damai berubah dari ilusi menjadi nyata. Menjadikan ketenangan bukan lagi fatamorgana. Cinta adalah anugerah, sebuah 'dunia sendiri' yang indah dan mengajak kita masuk untuk menikmatinya. Hanya dengan demikian maka kita bisa berbagi tentang cinta. Maka jangan pernah membatasi cinta hanya dengan relasi romantika yang dibuat-buat atau tak cukup juga dibatasi dengan relasi seksual yang penuh kepalsuan. Sayang sekali saya lupa mengucapkan "terimakasih" untuk pelukan malaikat kecil itu. Tetapi saya merasakan di pelukan itu, dia sedang berbagi cinta dengan saya. Sebuah relasi yang tak dibungkus kepalsuan apalagi dibuat-buat supaya terlihat sangat dramatisir, sedramatisir sinetron-sinetron yang booh di televisi. Sementara orang masih mudah berkata "autis" terhadap mereka yang sibuk dengan dunia gadget-nya, percayalah, itu sesungguhnya dunia kepalsuan tanpa cinta. Dunia yang memaksa sesamanya untuk ada di pinggiran, di sudut-sudut ruangan, sementara pusat ruangan biarlah hanya milik mereka yang merasa benar dan tahu tentang segalanya.

Anugerah tak memiliki tepi, karena rahman memang tak berbatas. Jadi mengapa ada sekat-sekat yang kita buat? Entah karena agama, bahasa, suku, apalagi kepada mereka yang memiliki 'dunia sendiri'. Sekalipun perjumpaan 2o detik pelukan yang lear biasa itu membuat saya penuh cinta, namun tetap saja mal tempat yang memuakan. Manusia sedang melakukan pencarian tentang siapa dirinya di gedung mewah itu. Terserah apakah mereka bertemu dnegan nilai diri di merk-merk tertentu atau hiburan tertentu. Tetapi saya justru berjumpa dengan cinta seorang malaikat kecil.

CInta yang sama, sebagai anugerah, tidak jauh-jauh harus kita dapatkan di mal. Tetapi cukup ketika seorang anak berbagi es krim dengan ibunya, seorang ayah sedang 'jatuh cinta' dengan buku yang dibaca anaknya. anda sharing di dunia sendiri. Dan ternyata dunia sendiri itu kita miliki masing-masing. Kita semua memang pribadi yang autis. Pribadi yang memiliki dunia sendiri. Lalu mengapa kita tidak mengajak atau membagikan 'dunia sendiri' kita kepada sesama? Dunia sendiri yang berisi nilai-nilai diri itulah cinta sesungguhnya. Jangan berbagi kemunafikan, atau senang berbagi kepalsuan dan kebohongan. Mari berbagi keindahan. Di balik dunia sendiri kita, terangkai keindahan yang bisa menenangkan sesama, membawa damai, dan membuat hidup penuh cinta...

Mari berbagi dunia sendiri...di situ ada cinta yang indah :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun