Mohon tunggu...
Joshua Tobias Tarihoran
Joshua Tobias Tarihoran Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengamat Masyarakat dan saya Masih berstatus sebagai Mahasiswa STFT Jakarta

saya suka melihat situasi terkini yang sedang terjadi saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pelayanan & Tanggung Jawab Para Pendeta & Pemimpin Gereja pada saat Situasi Pandemi Covid 19

4 Mei 2024   17:12 Diperbarui: 5 Mei 2024   01:01 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta--Pendeta atau pemimpin gereja merupakan tokoh penting dalam kehidupan beragama dan spiritual. Sebagai pemimpin rohani, mereka bertanggung jawab untuk membimbing jemaatnya dalam menjalankan ajaran agama. Namun, pandemi COVID-19 yang melanda dunia selama lebih dari satu tahun terakhir ini, memaksa pendeta atau pemimpin gereja untuk menyesuaikan cara mereka memimpin jemaatnya dan menangani krisis ini. Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan keagamaan. Banyak gereja dan tempat ibadah yang terpaksa ditutup atau membatasi jumlah jemaat yang hadir untuk mengurangi risiko penyebaran virus. Hal ini memaksa pendeta atau pemimpin gereja untuk menemukan cara baru dalam membimbing jemaatnya. William Crain dalam bukunya yang berjudul Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi mengungkapkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Hal ini sejalan dengan peran pendeta atau pemimpin gereja dalam menghadapi pandemi COVID-19. Mereka harus menyesuaikan diri dengan situasi baru ini untuk dapat membimbing jemaatnya. (Crain 2014, 413-414).

Namun, menyesuaikan diri dengan situasi baru tidak selalu mudah. Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang besar pada kesehatan fisik dan mental manusia. Sebagian besar dari kita telah mengalami perubahan yang signifikan dalam pola hidup dan cara berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan pada seseorang. A. Supratiknya dalam bukunya yang berjudul Teori-teori Psikodinamik mengungkapkan bahwa stres dan kecemasan dapat mengakibatkan gangguan mental yang serius seperti depresi dan kecanduan. Oleh karena itu, pendeta atau pemimpin gereja harus memahami dan memperhatikan kesehatan mental jemaatnya, terutama selama masa pandemi ini. Mereka dapat memberikan dukungan moral dan rohani, serta membantu jemaatnya untuk mengatasi stres dan kecemasan yang mereka rasakan. (Supratiknya 1993, 65).

Sigmund Freud, seorang psikoanalis terkenal, seringkali dikritik karena pandangannya yang agak kontroversial tentang agama. Namun, dalam bukunya yang berjudul  A General Introduction to Psychoanalysis, Freud mengungkapkan bahwa agama dan spiritualitas dapat membantu seseorang untuk mengatasi stres dan kecemasan. (Freud 1920, 427). Hans Kung dalam bukunya yang berjudul Sigmund Freud Vis--Vis Tuhan juga menyatakan bahwa pandangan Freud tentang agama lebih kompleks daripada yang seringkali dikritik oleh orang lain. Kung menyatakan bahwa Freud sebenarnya memiliki pemikiran yang kompleks dan nuansa dalam memandang agama. (Kung 2001, 58). Paul C. Vitz dalam bukunya yang berjudul Sigmund Freud's Christian Unconscious juga menunjukkan bahwa Freud memiliki pemahaman yang dalam tentang agama, meskipun pandangannya kontroversial. (VIttz 1988, 102).

Dalam konteks pandemi COVID-19, Agama dan spiritualitas dapat menjadi sumber kekuatan bagi pendeta atau pemimpin gereja dan jemaatnya. Rappan Paledung, Hans Harmakaputra, dan Kartika Diredja  dalam bukunya yang berjudul Gereja dan Pandemi COVID-19 Adaptasi, Reorientasi, dan Resiliensi menyatakan bahwa agama dapat memberikan harapan dan ketenangan di tengah krisis ini. Agama dan spiritualitas juga dapat membantu seseorang untuk memahami bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar dirinya sendiri. (Paledung, Hans Harmakaputra & Kartika Diredja 2022, 102).  

Selain itu, pendeta atau pemimpin gereja dapat membantu jemaatnya untuk melihat pandemi COVID-19 dari perspektif yang lebih luas. Mereka dapat membantu jemaatnya untuk memahami bahwa pandemi ini bukan hanya menjadi ujian bagi mereka sendiri, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, pendeta atau pemimpin gereja dapat membantu jemaatnya untuk berempati dengan orang lain yang juga mengalami kesulitan dan penderitaan selama masa pandemi ini. Dalam menghadapi pandemi COVID-19, pendeta atau pemimpin gereja juga harus menunjukkan sikap positif dan optimis. Mereka harus memperlihatkan kepada jemaatnya bahwa meskipun situasi saat ini sulit, tetapi masih ada harapan dan kemungkinan untuk masa depan yang lebih baik. Hal ini dapat membantu jemaatnya untuk menjaga semangat dan terus berjuang di tengah krisis ini.

Dalam pandemi COVID-19, banyak orang mengalami stres dan kecemasan yang tinggi. Situasi ini dapat memengaruhi kesehatan mental individu, termasuk jemaat gereja. Oleh karena itu, pendeta atau pemimpin gereja harus memperhatikan kesehatan mental jemaatnya dan memberikan dukungan yang tepat. Selain itu, pendeta atau pemimpin gereja dapat membantu jemaatnya untuk menemukan makna dan tujuan dalam menghadapi situasi sulit ini. Dalam teori perkembangan, William Crain menjelaskan bahwa pada masa remaja dan dewasa muda, individu cenderung mencari makna dan tujuan hidup. Pandemi COVID-19 dapat menjadi momen bagi individu untuk mencari makna dan tujuan dalam hidupnya. Oleh karena itu, pendeta atau pemimpin gereja dapat membantu jemaatnya untuk menemukan makna dan tujuan hidupnya dalam menghadapi situasi sulit ini. (Crain 2014, 405).

Namun, dalam pandemi COVID-19, banyak orang mengalami kecemasan dan ketakutan akan kematian. Dalam pandangan psikodinamik, kecemasan dan ketakutan ini berasal dari konflik antara naluri kematian dan naluri kehidupan (Supratiknya 1993, 75). Sigmund Freud juga mempelajari tentang konflik ini dan menemukan bahwa individu memiliki keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati. (Freud 1920, 282). Hans Kung mengajukan pandangan bahwa pandemi COVID-19 dapat memunculkan pertanyaan tentang Tuhan dan makna hidup. Kung menilai bahwa pandemi COVID-19 dapat menjadi momen untuk memperdalam pemahaman tentang agama dan spiritualitas. (Kung 2001, 68). Salah satu hal penting yang perlu dipertimbangkan oleh para pemimpin gereja di masa pandemi adalah bagaimana mereka dapat tetap terhubung dengan jemaat mereka. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk melakukan kegiatan ibadah online. Namun, ada juga gereja yang memilih untuk melanjutkan kegiatan ibadahnya secara fisik dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Dalam situasi ini, William Crain mengemukakan teori tentang perkembangan kognitif anak dan dewasa. Menurut Crain, manusia selalu berada dalam tahap perkembangan dan setiap tahap memiliki karakteristik unik. Salah satu tahap penting adalah tahap operasional konkret, di mana seseorang mulai bisa berpikir secara logis dan terstruktur, serta mampu memahami konsep abstrak seperti keadilan dan moralitas. Dalam konteks ini, para pemimpin gereja perlu memahami bagaimana cara memenuhi kebutuhan jemaat mereka secara konkret, seperti memberikan bantuan kepada mereka yang terkena dampak pandemi atau memberikan solusi praktis untuk mempertahankan iman di masa sulit. (Crain 2014, 414). 

Selain itu, pandemi juga membawa dampak psikologis pada banyak orang. A. Supratiknya menjelaskan bahwa teori psikodinamik berfokus pada kekuatan bawah sadar yang mempengaruhi perilaku manusia. Dalam konteks ini, pandemi dapat memunculkan ketakutan dan kecemasan yang dalam pada banyak orang. Oleh karena itu, para pendeta dan pemimpin gereja perlu memperhatikan dampak psikologis yang muncul pada jemaat mereka dan memberikan dukungan dan penghiburan yang dibutuhkan. (Supratiknya 1993, 74). 

Sigmund Freud dalam bukunya  A General Introduction to Psychoanalysis membahas tentang konsep kesadaran dan ketidaksadaran dalam pikiran manusia. Menurut Freud, ada banyak hal yang tersembunyi dalam ketidaksadaran manusia yang memengaruhi perilaku dan keputusan mereka. Hal ini juga berlaku dalam konteks pandemi, di mana banyak orang yang mungkin tidak menyadari atau tidak bisa mengungkapkan secara verbal bagaimana pandemi ini memengaruhi mereka. Oleh karena itu, para pemimpin gereja perlu sensitif dan memperhatikan tanda-tanda nonverbal dan perubahan perilaku pada jemaat mereka untuk membantu mereka mengatasi dampak pandemi ini. (Freud 1920, 175). 

Namun, pandemi juga dapat memunculkan kesempatan baru bagi para pemimpin gereja untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam melakukan kegiatan gerejawi. Paul C. Vitz  membahas tentang "Christian Unconscious" dalam pandangan Freud, di mana kepercayaan dan nilai-nilai Kristen dapat memengaruhi dan memperkaya bawah sadar manusia. Dalam konteks pandemi, para pemimpin gereja dapat mengembangkan kreativitas mereka dengan menciptakan cara-cara baru untuk melakukan kegiatan gerejawi yang menarik dan bermanfaat bagi jemaat mereka. (Freud 1988, 197). Dalam Buku Gereja Dan Pandemi Covid-19 Adaptasi, Reorientasi, dan Resiliensi yang ditulis oleh Paledung Rappan, Harmakaputra, dan Diredja merupakan sebuah buku yang berisi kumpulan artikel dari berbagai penulis tentang bagaimana gereja di Indonesia menghadapi pandemi COVID-19. Buku ini memberikan gambaran yang cukup lengkap tentang tantangan yang dihadapi oleh gereja selama pandemi, termasuk tantangan yang dihadapi oleh pemimpin gereja. (Paledung, Hans Harmakaputra & Kartika Diredja 2022, X-XIV). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun