Pendidikan perdamaian untuk remaja dalam rangka mengatasi gaya hidup kekerasan adalah suatu teori yang menarik perhatian di kalangan ilmuwan dan pendidik. Teori ini mengangkat masalah perkelahian remaja sebagai suatu bentuk kekerasan yang perlu dihindari dan diperbaiki. Menurut teori ini, perkelahian remaja merupakan konflik yang disebabkan oleh faktor sosial budaya dan psikologis. Faktor sosial budaya mencakup pola asuh dalam keluarga, tuntutan teman sebaya dan kebiasaan lingkungan tempat tinggal. Faktor psikologis mencakup gengsi remaja yang erat hubungannya dengan masa kebingungan identitas remaja.
     Jakarta-     Tokoh yang berpengaruh dalam pembahasan ini adalah Paulus Widjaja, yang menjelaskan bahwa perdamaian dapat didefinisikan sebagai suatu situasi/keadaan di mana semua jenis kekerasan dihapuskan. Widjaja menunjukkan bahwa perdamaian juga dapat didefinisikan sebagai suatu situasi/keadaan di mana konflik dapat ditransformasi secara kreatif dan tanpa kekerasan. Dalam rangka mewujudkan perdamaian ini, salah satu caranya adalah melalui Pendidikan Kristiani (PK) Perdamaian untuk remaja.
     Para ahli yang digunakan untuk menganalisis pengaruh atau penyebab perkelahian remaja termasuk Erik H. Erikson, Erik H. Fromm, dan John Paul Lederach. Erikson menjelaskan bahwa remaja berada dalam proses pencarian identitas, yang membutuhkan pegangan nilai positif dan stabil. Fromm menganggap kekerasan berakar pada hasrat destruktif sebagai wujud dari kondisi eksistensi remaja terhambat pertumbuhannya. Lederach berbicara tentang transformasi konflik dalam masyarakat, yang merupakan penciptaan visi dan pemberian tanggapan terhadap pasang surut konflik sosial sebagai kesempatan yang diberikan oleh hidup demi terciptanya proses perubahan konstruktif yang mereduksi kekerasan dan mengembangkan keadilan dan interaksi langsung dan dalam struktur-struktur sosial.
     Dasar teologis pendidikan Kristiani (PK) Perdamaian untuk remaja mengambil dasar dari gambaran kehidupan beriman remaja, yang menjadi dasar mengembangkan model PK yang menjawab kebutuhan remaja. Pendidikan ini menjawab kebutuhan remaja dengan mengasah nilai-nilai perdamaian kristiani, yang menekankan adanya keseimbangan antara dimensi kognitif, dimensi afektif, dan dimensi tindakan. Teori ini menganggap bahwa kekerasan remaja bukan hanya masalah sosial budaya, melainkan masalah teologis. Dengan itu, pendidikan perdamaian untuk remaja merupakan tugas gereja untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian kristiani pada remaja dengan kesadaran bahwa kekerasan remaja sesungguhnya bukan semata-mata persoalan sosial budaya, melainkan merupakan persoalan teologis. Pendidikan ini mengarah pada transformasi konflik, yang mempunyai visi perdamaian yang dituju.
     Dalam rangka menghadapi kekerasan atau kejahatan, teori ini mengutip Matius 5:43-48 sebagai dasar dalam menghadapi kekerasan atau kejahatan demi terwujudnya perdamaian. Dari teks ini, ada dua hal yang saya akan uraikan terkait pengalaman kekerasan remaja yaitu pembalasan dendam dan mengasihi musuh. Bagian pertama adalah pembalasan dendam yang disimpulkan dalam teori ini menganggap bahwa pembalasan dendam tidak akan membangun perdamaian, melainkan akan membuat konflik lebih parah dan akan menimbulkan permasalahan yang baru. Bagian kedua adalah mengasihi musuh, yang disimpulkan dapat membangun perdamaian antara kedua belah pihak remaja yang sedang mempunyai konflik, karena akan membuat konflik lebih mudah diperbaiki melalui cara yang damai dan tanpa kekerasan. Itu sebabnya diperlukan mediasi yang baik agar masalah bisa selesai dengan baik. Â
     Oleh karena itu, Kontribusi pemikiran ini bagi pendidikan Kristiani adalah pendidikan ini mengarah pada transformasi konflik, yang mempunyai visi perdamaian yang dituju. Dengan itu, pendidikan ini tidak hanya bertujuan untuk mengatasi masalah tetapi juga untuk membangun visi perdamaian. Pendidikan ini menjadi dasar bagi remaja Kristen untuk mampu meneladani prinsip Yesus, yakni dengan cara kasih dan tujuan keadilan dalam menghadapi kekerasan atau kejahatan.
     Oleh sebab itu, Gereja perlu melaksanakan Perdamaian untuk remaja di GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor). Pendidikan ini harus menyentuh kesadaran kritis remaja terkait kekerasan dalam keluarga, tuntutan perilaku kekerasan oleh teman sebaya, masa transisi remaja, dan kesenjangan kehidupan beriman. Oleh karena itu, Remaja perlu dibina untuk menyadari sumber kekerasan, memahami keterikatan dalam kebiasaan tersebut, dan mendialogkan pengalaman dalam iman kristiani. Pendekatan SCP (Shared Christian Praxis) digunakan untuk mendukung visi perdamaian dengan lima gerakan yang melibatkan remaja dalam proses pendidikan. Tujuannya adalah agar remaja meninggalkan kekerasan dan berperilaku positif demi perdamaian.
     Perdamaian merupakan program pendidikan yang sangat penting bagi remaja di GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor). Melalui pendidikan ini, gereja berupaya untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada remaja tentang berbagai aspek kekerasan yang ada dalam kehidupan mereka. Dalam konteks ini, kekerasan dapat terjadi dalam keluarga, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun emosional. Selain itu, remaja juga dihadapkan pada tuntutan perilaku kekerasan oleh teman sebaya, yang dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan mereka.
Selain itu, masa transisi remaja juga menjadi fokus dalam Perdamaian. Masa ini merupakan periode yang penuh tantangan dan perubahan bagi remaja, di mana mereka harus menghadapi berbagai perubahan fisik, emosional, dan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan perdamaian bertujuan untuk membantu remaja menghadapi masa transisi ini dengan bijak dan positif, sehingga mereka dapat menghindari perilaku kekerasan dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
     Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari Perdamaian adalah agar remaja meninggalkan kekerasan dan berperilaku positif demi perdamaian. Melalui pendidikan ini, remaja diharapkan dapat memahami dampak negatif dari kekerasan dan memilih untuk menghindarinya. Selain itu, mereka juga diajarkan untuk berperilaku positif dan membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain. Dengan demikian, Perdamaian menjadi sarana penting dalam membentuk generasi muda yang peduli dan berkomitmen terhadap perdamaian.
Sumber Acuan:Â