Mohon tunggu...
Joshua  Tegar
Joshua Tegar Mohon Tunggu... Freelancer - just my two cents

Seorang mahasiswa aktif prodi Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia yang mencintai hal- hal seni, terutama musik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Peradilan Pidana Indonesia, Kajian Singkat dalam Perspektif Viktimologi

21 Desember 2018   18:35 Diperbarui: 21 Desember 2018   18:36 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem peradilan pidana pada saat ini, banyak yang menggunakan adversarial sistem dimana terdapat dua belah pihak yang memberikan penjelasan menurut prespektifnya dan terdapat satu pihak penengah. Sistem adversarial ini dianggap sebagai cara yang paling terbaik dalam menemukan kebenaran. Namun salah satu kekurangan dari sistem pengadilan adalah dalam hal kebenaran, yakni kebenaran hanya berfokus pada proses dan hasil dari detail masa lalu. 

Banyak peneliti sistem kebijakan kriminal menganggap bahwa dimensi pencarian kebenaran oleh korban masih kurang dianggap. Walaupun sistem pengadilan dapat memastikan keadilan ada walau tanpa kebenaran, hal ini dapat secara efektif mengabaikan hak korban tentang kebenaran mereka, apa yang terjadi dan mengapa hal itu dapat terjadi.

Didalam sistem peradilan di Indonesia, hak korban masih seringkali tidak terpenuhi. Korban- korban yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak dapat membeli bantuan hukum. Hal ini mengakibatkan hak mereka tidak terpenuhi secara utuh dan menjadikan mereka sebagai neglected players. Padahal salah satu hak utama korban yang seharusnya diberikan oleh negara adalah mendapatkan bantuan hukum secara gratis.[1] 

Situasi sitem peradilan di Indoensia inilah yang mengakibatkan banyak korban yang  tidak mau mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan masalah. Mereka menilai sistem peradilan pidana di Indonesia cenderung tidak efektif bahkan merugikan, mereka secara waktu dan materil. Coba pikir, siapa yang akan membayar ongkos mereka untuk dating sidang, uang transport, dan biaya lainya, bukankah mereka sendiri?. 

Korban memilih untuk menyelesaikan viktimisasi mereka dengan cara musyawarah yang sebenarnya tidak ada jaminan bahwa hak mereka sebagai korban dapat terpenuhi. Bahkan terdapat korban yang memilih untuk diam. Oleh karena itu, peran LBH sangatlah penting dalam hal ini, terutama untuk membantu korban yang memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga tidak dapat mendapatkan jasa pengacara.

Selain itu, kaum budaya patriarki di Indonesia juga berpengaruh besar dalam sistem peradilan pidana. Kebanyakan penegak hukum menganggap bahwa jika perempuan sedang mabuk, maka ia seharusnya tidak mengeluh jika diperkosa. Secara hukum, persetujuan harus sepenuhnya dan bebas diberikan oleh seseorang yang memiliki kapasitas untuk melakukannya. 

Jika seseorang tidak sadar karena mengonsumsi alkohol atau narkoba, mereka tidak dapat memberikan persetujuan mereka terhadap hubungan seks. Berhubungan seks dengan orang yang tidak mampu memberikan persetujuan akibat mengonsumsi alkohol atau narkoba, maka itu dianggap pemerkosaan [2]. Namun budaya patriarkis di Indonesia seakan, "menjustifikasi" hal semacam ini.

Budaya patriarki dan stereotip gender memberikan anggapan bahwa laki- laki yang memperkosa perempuan yang memakai pakaian minim adalah hal yang wajar. Cara berpakaian perempuan kemudan dianggap sebagai alasan pemerkosaan. Padahal, sebenarnya perempuan seharusnya bebas menggunakan pakaian apapun juga, karena hal itu adalah bentuk dari hak kebebasan berekspresi manusia.

 

Stereotip gender dan budaya patriarki ini membentuk suatu mekanisme victimhood (dikorbankan, menjadi korban secara paksa) terhadap kaum perempuan. Hal ini dikritik oleh kaum feminis dan menyadarkan kita bahwa praktik maskulinitas telah merasuk jauh dalam berbagai teori, kebijakan, hingga praktik kehidupan kita sehari-hari. 

Feminis menyediakan sebuah kritik untuk terus mendorong kebijakan yang berpihak pada korban, khususnya korban perempuan. Usaha feminis tampaknya tidak sia-sia, karena "pergeseran paradigma" tersebut mulai dapat dilihat, walau memerlukan waktu yang tidak sebentar[3].

Dapat Disimpulkan bahwa saat ini, posisi hak korban masih seringkali tumpang tindih dengan hak tersangka pelaku. Pada kenyataanya hak pelaku kejahatan cenderung lebih dijunjung tinggi dan lebih terjamin dibandingkan hak korban. Ketimpangan hal ini didasari oleh pernyataan bahwa 'pelaku juga memiliki hak asasi manusia'. 

Walau begitu, sebenarnya korban seharusnya lebih diperhatikan disini karena bagaimanapun juga pihak yang dirugikan adalah korban. Ironisnya, korban masih seringkali terabaikan karena hak tersangka pelaku kejahatan. Sungguh ironi, hukum yang dibuat netral, pada praktiknya timpang sebelah.

Refrences:

[1] Pamela Davies, 'Feminist Voices, Gender, and Victimisation', Handbook of Victims and Victimology (ed) Sandra Walklate (Abingdon: Routledge, 2018), hal. 113.  

[2] Lorrain Wolhuter. et al . Victimology: Victimisation and Victims' Rights. (Oxon: Routledge-Cavendish, 2009). Hal 144-145.

[3] Pamela Davies,Op.Cit, hal. 117.

   


 

   

 


   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun