Mohon tunggu...
Joshua Michael Ahuluheluw
Joshua Michael Ahuluheluw Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis | Life Coach | Grafolog

Joshua Michael Ahuluheluw, M.Psi., Psikolog, CMHA merupakan seorang pribadi yang aktif dan suka sekali berbagi pengalaman dengan berbagai golongan. Joshua yakin bahwa setiap orang memiliki keunikannya tersendiri. Dengan keunikannya, individu mampu bangkit menjadi pribadi yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kekerasan Emosional: Nyata namun Tak Terlihat

3 Juli 2023   11:30 Diperbarui: 3 Juli 2023   11:40 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Morgan Basham on Unsplash

Beberapa tahun terakhir, saya sering menjumpai klien yang hadir dengan gejala tidak bisa merasakan kondisi emosionalnya (numbness), bahkan ada yang mempertanyakan identitas dirinya seperti “Siapa saya sebenarnya?”. Setelah melalui sesi konseling yang panjang, klien menyadari bahwa dirinya adalah korban dari Emotional Abuse (Kekerasan Emosional). 

Emosional abuse, atau penyalahgunaan emosional, mengacu pada bentuk perlakuan atau manipulasi yang mempengaruhi kesejahteraan emosional dan keadaan psikologis seseorang. Ini melibatkan pola perilaku yang dirancang untuk merendahkan, meremehkan, mengendalikan, atau mengintimidasi seseorang, yang pada akhirnya merusak harga diri serta kesehatan mental korban. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai hubungan, seperti hubungan romantis, lingkungan keluarga, persahabatan, atau bahkan di tempat kerja. 

Bentuk dari kekerasan emosional ini beragam, pastinya membuat korban merasa tidak berdaya atau bahkan tidak memiliki hak atas kondisi emosionalnya saat itu. Berikut beberapa bentuk emotional abuse: 

  • Penghinaan secara verbal: Pelaku menggunakan kata-kata yang merendahkan, menghina, mengkritik, atau mengancam korban. Bentuknya macam-macam seperti ejekan, penghinaan, komentar merendahkan, atau pernyataan yang melebih-lebihkan (hiperbola). Contohnya, pasangan yang secara terus-menerus meremehkan dan mengejek penampilan atau kecerdasan pasangan mereka.
  • Penolakan atau mengabaikan: Mengabaikan perasaan, kebutuhan, atau harapan korban. Tidak memberikan perhatian, dukungan, atau pengakuan yang diperlukan kepada korban. Pelaku dapat merendahkan emosi korban, membuat mereka merasa bahwa perasaan mereka tidak pantas atau tidak penting. Misalnya, seorang orang tua yang mengatakan kepada anak mereka bahwa mereka terlalu berlebihan atau terlalu sensitif saat mengungkapkan perasaan mereka.
  • Manipulasi: Memanipulasi situasi, informasi, atau emosi korban untuk memperoleh kekuasaan dan kontrol. Pelaku mengancam untuk menyakiti diri sendiri atau orang lain, bahkan mengendalikan akses korban terhadap sumber dukungan. Contohnya, seorang teman yang terus-menerus mempengaruhi temannya dengan rasa bersalah agar melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan.
  • Isolasi sosial: Pelaku membatasi atau menghentikan kontak korban dengan keluarga, teman, dan lingkungan sosial. Ia pun mengkritik atau mencemooh teman atau keluarga korban, bahkan mengendalikan semua interaksi sosial korban. Misalnya, orang tua yang mencegah anak mereka untuk bersosialisasi dengan teman-teman atau menghadiri acara sosial.
  • Intimidasi: Pelaku menanamkan rasa takut atau ancaman untuk mengendalikan atau memanipulasi korban. Dapat muncul dalam bentuk gerakan agresif (menuding korban), kemarahan yang meledak-ledak, atau tindakan kekerasan fisik lainnya. Contohnya adalah atasan yang terus-menerus berteriak dan menghempaskan benda-benda di meja mereka untuk mengintimidasi karyawan mereka.
  • Penghancuran harga diri: Pelaku menghancurkan harga diri korban dengan mengkritik, mempermalukan, atau meremehkan mereka secara terus-menerus. Perilaku tersebut secara tidak langsung membuat korban mempertanyakan keyakinan dan nilai (value) pribadi.
  • Gaslighting : Gaslighting adalah taktik manipulatif yang bertujuan untuk membuat korban meragukan persepsi, ingatan, atau kewarasannya sendiri. Pelaku Pelakuan dapat membantah tindakan mereka atau memanipulasi informasi untuk membuat korban meragukan realitasnya. Contohnya adalah pelaku yang secara konsisten membantah bahwa mereka pernah mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyakitkan, membuat korban meragukan ingatannya sendiri.
  • Cyberbullying : Pelaku menggunakan sosial media untuk mengganggu, mengancam, atau menghina seseorang. Perilaku yang muncul antara lain menyebarkan rumor, mengirim komentar yang menyakitkan, atau membagikan informasi pribadi tanpa izin korban.

Uniknya lagi, terkadang pelaku pun tidak sadar akan perilaku kekerasan yang telah ia lakukan kepada korbannya. Ada yang berakar dari pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan dan ada juga yang didasarkan oleh unsur kesengajaan agar si korban merasa tidak berdaya (sehingga harus mengikuti keinginan pelaku). Beberapa faktor terjadinya kekerasan emosional antara lain :

  • Power Imbalance (ketidakseimbangan kekuatan/kuasa) : Kekerasan emosional seringkali terjadi dalam hubungan yang memiliki ketidakseimbangan kekuasaan, di mana satu pihak mencoba menguasai dan mengontrol yang lain. 
  • Meniru pelaku kekerasan emosional lainnya : Individu yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan emosional (baik di dalam keluarga maupun lingkungan signikan yang dipatuhinya) akan rentan menjadi pelaku atau korban kekerasan emosional. 
  • Gangguan mental atau kecanduan zat tertentu : Beberapa orang dengan gangguan mental atau kecanduan zat tertentu dapat terlibat dalam kekerasan emosional. Hal ini sengaja dilakukan sebagai cara untuk mengendalikan atau melampiaskan emosi mereka. 
  • Ketidakmampuan mengelola emosi: Individu yang tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk mengelola emosi mereka cenderung menggunakan kekerasan emosional sebagai cara untuk mengekspresikan atau mengendalikan perasaan mereka.
  • Minimnya empati : Individu yang tidak peka terhadap perasaan orang lain atau minimnya empati cenderung terlibat sebagai pelaku kekerasan emosional. 

Bila Anda merasa sebagai salah satu korban dari emotional abuse, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan (tentunya bergantung dengan tingkat keparahan yang Anda alami) : 

  • Kenali dan akui keberadaan kekerasan emosional : Kenali terlebih dahulu tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Anda sedang mengalami kekerasan emosional. Akui bahwa perlakuan tersebut tidak sehat dan tidak pantas. Anda memiliki hak untuk hidup tanpa kekerasan, apa pun bentuknya.
  • Cari dukungan : Temukan orang yang dapat Anda percayai untuk berbagi pengalaman Anda. Mungkin Anda bisa bercerita pada sahabat, anggota keluarga, atau profesional seperti psikolog atau konselor. Dukungan dari orang lain dapat memberikan kekuatan, perspektif, dan bantuan dalam mengatasi dampak dari kekerasan emosional. 
  • Batasi atau hentikan interaksi dengan pelaku kekerasan: Jika memungkinkan, cobalah untuk membatasi atau menghentikan kontak dengan pelaku kekerasan. Dengan kata lain, Anda dapat menjauhi hubungan dengan pelaku bahkan mencari perlindungan hukum bila sudah mengancam keselamatan jiwa.
  • Cari bantuan professional : Konsultasikan dengan profesional kesehatan mental seperti psikolog atau konselor yang berpengalaman dalam membantu korban kekerasan emosional. Mereka dapat membantu Anda memahami dampak kekerasan, membangun kembali harga diri, mengelola emosi, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi kekerasan emosional. 

Ingatlah bahwa mengatasi kekerasan emosional membutuhkan waktu dan upaya besar. Yang terpenting, utamakan keamanan dan kesejahteraan Anda, sebagai individu yang memiliki hak untuk hidup bahagia. Bila kondisi semakin parah (darurat dan berbahaya), segera cari bantuan dari pihak berwenang atau lembaga yang memberikan perlindungan bagi korban kekerasan.

Semoga artikel ini bermanfaat. 

Jika ingin berdiskusi lebih lanjut, Anda bisa DM saya di instagram @joshua_michaela. Sehat dan sukses selalu untuk kita semua!

Referensi : 

  • Bancroft, L. (2003). Why does he do that? : Inside the minds of angry and controlling men. New York : Berkley Books.
  • Engel, B. (2002). The Emotionally Abusive Relationship: How to stop being abused and how to stop abusing. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.
  • Evans, P. (2010). The verbally abusive relationship: how to recognize it and how to respond. Expanded 3rd ed. Avon, Mass. : Newton Abbot, Adams Media.
  • Lissette & Kraus (2000). Free yourself from an abusive relationship: Seven steps to taking back your life. Alameda, CA : Hunter House.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun