Mohon tunggu...
Joshua
Joshua Mohon Tunggu... Konsultan - Akun arsip

Akun ini diarsipkan. Baca tulisan terbaru Joshua di https://www.kompasiana.com/klikjoshua

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membangun (Refleksi) Karakter di Media Sosial

2 November 2011   21:30 Diperbarui: 6 Januari 2016   20:03 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Your words represent your real character. Demikianlah sebuah kalimat bijak yang saya pelajari malam ini. Memang, dalam menulis, Anda dan saya juga "mengukir" karakter walaupun tidak secara langsung, baik dalam menulis di blog, media massa, maupun di media sosial.

Layaknya "mulutmu harimaumu", media sosial juga tak luput dari konflik sosial akibat miskomunikasi dan tindakan sarkasme yang menyalahi kaidah pergaulan. Media sosial akhir-akhir ini didaulat memiliki fungsi baru, yakni sebagai cermin dari karakter diri.

Apa yang dimaksud media sosial sebagai cermin pribadi? Terkadang, tanpa sadar, kita tidak secara bijak memperlakukan akun kita di media sosial. Misalnya saja, bertindak berlebihan dengan membeberkan jadwal dan aktivitas kita di dunia maya. Hal ini pula tidak lepas dari keseharian saya selama menjelajah satu demi satu akun media sosial, baik di Twitter maupun di Facebook. Misalnya saja saat Arin (sebut saja), salah seorang rekan saya. Bahkan ke kamar mandi pun, ia memposting tweet, "BRB, gue lagi ada di toilet!" Ke-lebay-an dan ke-alay-an semacam ini jika saya evaluasi berpeluang begitu negatif bagi para follower aktif. Pada prinsipnya, mereka ingin agar tweet yang dilanggani adalah tweet yang menginspirasi dan mencerahkan di tengah maraknya penyalahgunaan media sosial saat ini, dengan kata lain menganut prinsip "you are what you read".

Ketika kita membaca sebuah tweet --katakanlah demikian, sebetulnya kita adalah apa yang kita baca. Misalnya melihat tweet dari akun @Poconggg atau @TweetRAMALAN, kita seolah-olah berada dalam tweet tersebut, tertarik, membaca dengan seksama dan tak jarang mengutip (retweet). Dalam media sosial, kita juga terkadang melupakan perlindungan atas hak-hak prerogatif seseorang. Tidak sedikit saya menemui orang-orang yang tersinggug hanya karena mention-nya di Twitter. Dan saya salah satunya. Hak prerogarif yang kebanyakan menyakitkan dan tidak bisa diterima, misalnya penghapusan teman (friend removal) di Facebook atau penghentian langganan akun (unfollow) di Twitter. Hal itu kebanyakan mengindikasi adanya kebencian terhadap lawan berjejaring, walaupun tidak semua berpandangan demikian.

Salah seorang Admin Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen, menemui saya seusai Kompasiana Blogshop Jakarta, Sabtu (28/10) lalu. Dalam obrolan singkat, ia sempat mengevaluasi kinerja media sosial saya yang belakangan ini cukup frontal, sarkastik dan mencerinkan "keremajaan" saya. "Apakah yang seperti itu begitu menarik untuk dilihat? Misalnya, saya sebal padamu. Ketika saya membuat tweet tentang itu, apa kesanmu? Pikirkanlah kesan pertama orang lain saat membaca twitmu kemudian mengikutimu." tutur Iskandar dengan bijak seraya memangku kedua putrinya. Saya pikirkan perkataan itu secara bijak saat masih dalam perjalanan pulang ke rumah.

Malam itu, saya buka seluruh akun jejaring sosial, meliputi Facebook, My Kompas, Twitter, Kompasiana, dan SalingSilang.com. Tanpa ragu saya mengevaluasi akun-akun kelolaan saya sendiri, dan tanpa sengaja pula saya melihat ada penurunan grafik yang cukup signifikan, baik dari segi followers, active subscriber, active backlink, SEO dan lain-lain. Pengalaman pahit saya semasa SMP membuat saya enggan memposting status di Facebook secara bebas. Saat itu, saya menyindir teman sekelas saya, Siska (bukan nama sebenarnya), tanpa sengaja. Akhirnya saya dijatuhi hukuman skors dua pekan serta mendapat surat peringatan dua, karena menolak menyelesaikan masalah hukum yang juga melibatkan peran serta keluarganya ke pihak kepolisian. Untung saja masalah ini bisa dengan baik tertangani melalui jalur mediasi. Betapa menyesal saya, karena tanpa sadar, media sosial adalah agen refleksi kepribadian yang memungkinkan siapapun menspionase kita.

Kemudian saya mengadakan survei ke 10 orang teman saya berusia < 15 tahun, 10 orang teman berusia < 12 tahun, dan 10 orang teman berusia < 18 tahun, juga 10 teman dewasa > 18 tahun. Dari hasil riset perilaku yang dipadu padankan dengan hasil survei tersebut, tergambar kesan jelas penggambaran kepribadian secara terselubung di media sosial, terutama lebih mengemukanya di Facebook.

Salah seorang Kompasianer, Kimi Raikko, mengatakan bahwa masalah-masalah pergaulan dunia nyata menjadikan Facebook, media sosial paling maju saat ini, berkontribusi atas mayoritas masalah hukum yang menimpa penggunanya, misalnya kasus penipuan dan pemerkosaan; hingga masalah yang sifatnya personal krusial seperti perceraian rumah tangga dan keretakan hubungan emosional anak dan orangtua.  Anak-anak muda masa sekarang perlu mempelajari etika pergaulan secara intens seperti pada zaman dulu sebelum globalisasi belum di segala aspek seperti sekarang. Sebelum keluar menjadi anggota masyarakat maya maupun nyata, anak harus dibekali paradigma, bahwa pada dasarnya media sosial mewakili kehadiran kita di internet, termasuk perilaku kita. Curhat ala anak-anak juga tak jarang mendominasi posting orang dewasa di media sosial.

Media sosial memang bersifat konvergen, dan jangan sampai diversivitas multi aspek dalam media sosial ini membawa kehancuran moral karena menonjolnya perilaku kita secara getol di media sosial. Siapapun kini bisa menjadi mata-mata hanya lewat jejaring sosial. Jadi, berhati-hatilah!

* * * * *

© Joshua Francis. All rights reserved.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun