Secara umum, seseorang tidak dapat hidup di dalam kesendirian, melainkan, disukai atau tidak, sering harus terlibat dalam interaksi sosial (social interaction) dengan orang lain. Apabila dua pihak bertemu, dan setiap pihak sadar akan kehadiran pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun pikiran pihak-pihak yang bersangkutan, yang disebabkan oleh, inter alia, suara berjalan, bau minyak wangi, bau keringat, dan sebagainya (sehingga menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya), maka interaksi sosial dimulai pada saat itu (Manski 2000). Mereka saling memandang, saling menegur dan berjabat tangan, saling berbicara atau saling berdiam diri, apalagi saling berdebat atau berkelahi, adalah bentuk-bentuk interaksi sosial.
Di samping interaksi sosial, seseorang kadang terlibat dalam interaksi strategis (strategic interaction) dengan orang lain. Apabila dua orang—sebelum masing-masing menentukan tindakan apa yang dipilihnya—saling menebak-nebak apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh pihak satu terhadap pihak lainnya, saling menduga-duga apa yang disukai atau tidak disukai oleh pihak satu terhadap pihak lainnya, dan saling membaca apa yang diharapkan atau tidak diharapkan oleh pihak satu terhadap pihak lainnya, maka interaksi strategis terjadi pada saat itu (van Damme & Weibull 1995).
Pendek kata, interaksi sosial bermakna pertemuan antar-individu, sedangkan interaksi strategis bermakna pendugaan meskipun tidak terjadi pertemuan. Di dalam interaksi sosial dimungkinkan terjadi interaksi strategis atau saling menduga, sedangkan di dalam interaksi strategis belum tentu terjadi pertemuan (interaksi sosial).
Baik di dalam interaksi sosial dan/atau interaksi strategis, kita pasti pernah melihat atau merasakan situasi di mana setiap orang saling menunggu dan saling mengharapkan orang lain supaya terlebih dahulu mengambil inisiatif untuk melakukan sesuatu. Contoh:
- Segera setelah menjelaskan materi kuliah kepada para mahasiswanya, sang dosen ingin mengajak diskusi dan mengawalinya dengan pertanyaan: "Sudah jelas? Ada pertanyaan?" Yang terjadi kemudian adalah setiap mahasiswa menundukkan kepala seraya saling mengharapkan mahasiswa lain mengacungkan jarinya untuk bertanya kepada dosen itu. Setiap mahasiswa mengharapkan temannya yang akan mengacungkan jari telunjuknya, sedemikian rupa sehingga akhirnya tidak ada satu pun mahasiswa yang bertanya dan semua mahasiswa menundukkan kepala.
- Ini cerita dua anak saya, Alif dan Nabila, yang harus berkoordinasi untuk mencuci piring pada setiap hari Minggu. Pada suatu ketika, Alif mengharapkan Nabila untuk mencuci piring, dan pada saat yang sama Nabila mengharapkan Alif untuk mencuci piring. Sedemikian rupa sampai piring-piring kotor itu menumpuk di dapur.
- Suami dan istri terlibat adu mulut dan kemudian saling membisu. Masing-masing tidak ingin berlama-lama dalam kebisuan itu. Kebisuan itu akan pecah jika salah satu pihak memulai percakapan. Tetapi, sang suami mengharapkan istrinya untuk memulai percakapan, dan pada saat yang sama sang istri mengharapkan suaminya untuk membuka percakapan, sedemikian rupa sehingga sepasang suami-istri itu selama beberapa hari saling membisu tanpa kata-kata (speechless).
- Saya dan anda secara spontan menjamu seorang tamu di restoran pada jam makan siang. Setelah perjamuan makan siang selesai, mereka bertiga bersantai dulu, bercakap-cakap ngalor ngidul sambil menghabiskan minuman masing-masing. Di dalam suasana santai itu, saya mengharapkan anda segera menuju ke kasir untuk membayar makanan, pada saat yang sama anda mengharapkan saya untuk membayarnya, pada saat yang sama pula, tamu itu mengharapkan saya atau anda untuk membayarnya. Sedemikian rupa sampai setiap orang selama beberapa saat terjebak di dalam suasana saling mengharapkan orang lain yang membayar semua makanan.
Di samping situasi saling mengunci (interlocking) tersebut di atas, di antara kita mungkin pernah terjebak, atau paling tidak melihat situasi saling tidak percaya (mutually untrust) di mana satu pihak tidak mempercayai pihak lain. Contoh:
- Setiap negara menyukai outcome di mana rivalnya melucuti senjata nuklirnya, sementara ia merasa perlu menyimpan senjata nuklirnya untuk berjaga-jaga (just in case). Ketika ia melucuti senjata sementara rivalnya tetap menyiagakan senjata nuklirnya, maka ia akan berada di bawah ancaman. Karena itu, apapun yang dilakukan rivalnya, setiap negara lebih suka menyiagakan senjata nuklirnya.
- Setiap negara menyukai outcome di mana negara lain tidak memproteksi pasar domestiknya, sementara ia sendiri memproteksi pasar domestiknya. Ketika suatu negara meliberalisasikan pasar domestiknya sementara pasar domestik negara lain tetap terproteksi, maka ia berada dalam posisi siap-siaga untuk ‘diserbu’ oleh produk-produk dari negara-negara lain. Karena itu, apapun yang akan dilakukan negara-negara lain, setiap negara lebih suka memproteksi pasar domestiknya.
- Setiap orang menyukai outcome di mana orang lain tidak memborong $, sementara ia sendiri menyimpan $ untuk berjaga-jaga. Ketika ia menjual $ sementara yang lain tetap menimbun $, maka itu adalah tindakan keliru. Karena itu, apapun yang dilakukan orang lain, setiap orang lebih suka menyimpan dan bahkan memborong $.
- Setiap orang menyukai outcome di mana orang lain tidak membuang sampah di sungai, sementara saya merasa beruntung membuang sampah di sungai. Ketika saya tidak membuang sampah di sungai sementara orang lain membuang sampah di sungai, maka itu tentu tidak adil. Karena itu, apapun yang dilakukan orang lain, setiap orang lebih beruntung membuang sampah di sungai.
- Setiap orang menyukai outcome di mana orang lain tidak menyuap aparat birokrasi, sementara saya akan mendapatkan perlakuan istimewa jika menyuap aparat itu. Ketika saya bertekad tidak menyuap sementara orang lain menyuap, maka tindakan itu adalah keliru. Karena itu, apapun yang dilakukan orang lain, setiap orang lebih beruntung menyuap aparat birokrasi.
Situasi saling mengunci (interlocking) dan/atau situasi saling tak percaya (mutually untrust) yang digambarkan di atas, menurut literatur ekonomika, dinamakan masalah prisoner’s dilemma (Tullock 1967).
Bagaimanakah kita dapat keluar dari masalah prisoner’s dilemma? Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan memasukkan dimensi waktu dalam interaksi sosial dan interaksi strategis tersebut di atas.
Sekarang, bayangkan dua orang yang masing-masing bernama Joni dan Rudi. Joni berinteraksi dengan Rudi, di mana interaksi itu bersifat one-shot, yaitu yang pertama dan yang terakhir. Tidak ada hari esok bagi Joni dan Rudi untuk berinteraksi lagi. Jika demikian, di dalam interaksi itu, Joni mungkin berpikir: ”Buat apa saya sekarang harus berbaik-baik dengan Rudi, kalau besok, lusa, dan hari-hari setelahnya saya tidak lagi bertemu dengan dia?” Jika tidak ada hari esok di antara Joni dengan Rudi, tidak ada insentif bagi Joni untuk mengubah reputasinya sehingga tampak lebih baik dari sebelumnya, atau mempertahankan reputasi baik Joni (jika ada), supaya mengesankan Rudi. Kalau perlu, Joni sekarang mencurangi Rudi, sebab besok, lusa, dan hari-hari setelahnya, Rudi sudah tidak ada lagi di hadapan Joni. Dipikirkan oleh seorang game theorist: “If there is no tomorrow, why should I care!”
Apabila, di dalam suatu interaksinya, Joni dan Rudi sama-sama mewujudkan ide “No tomorrow, I don’t care,” maka secara intuitif outcome dari interaksi itu dapat diduga, yaitu keduanya saling menyakiti, di mana Joni mencurangi Rudi dan Rudi mencurangi Joni. Sekali lagi, di dalam interaksi one-shot—di mana tidak ada hari esok untuk interaksi berikutnya dan setelahnya, Joni tidak mempunyai insentif untuk membangun reputasinya di satu sisi, dan Rudi tidak mempunyai insentif untuk mempercayai apapun yang dilakukan atau diucapkan oleh Joni di sisi lain.
Bagaimana jika one-shot interaction diizinkan untuk berlangsung berulang-ulang (repeated)? Di dalam repeated interaction, ada ruang bagi siapapun untuk membangun atau mengubah reputasinya. Yang dimaksud reputasi adalah suatu kesan (image) atas diri pihak satu, yang menancap di dalam pikiran pihak lain. Bayangkan sekarang Joni berinteraksi dengan Rudi, di mana interaksi itu adalah yang pertama dan besok, lusa, dan hari-hari berikutnya, Joni dan Rudi masih akan berinteraksi lagi. Jika demikian, Joni sekarang mungkin berpikir: ”Saya sekarang harus berbaik-baik dengan Rudi, karena besok, lusa, dan hari-hari setelahnya, saya akan bertemu lagi dengan dia?” Karena ada hari esok, Joni sekarang memiliki insentif untuk berbaik-baik dengan Rudi, atau Joni mengubah reputasinya supaya besok Rudi lebih terpukau oleh Joni.
Intinya adalah perlunya kita menyadari—dan bahkan mewaspadai—adanya no-tomorrow effect dalam interaksi sosial. Tahu tidaknya Joni akan akhir dari rentetan interaksi sosialnya dengan Rudi, dapat mengubah perilaku Joni terhadap Rudi. [Perubahan perilaku karena adanya no-tomorrow effect dapat dicontohkan sebagai berikut: (1) Sebuah tim sepakbola pada babak pertama berusaha bermain cantik dengan mempertontonkan permainan menyerang yang indah dan menegangkan. Tetapi, ketika tim itu sudah unggul di menit-menit awal babak kedua, maka menjelang pertandingan berakhir, tim itu mungkin akan membuang-buang waktu dengan sering menendang bola ke luar lapangan; dan (2) Seorang petinju pada ronde-ronde awal mungkin menjaga reputasinya dengan mempertontonkan teknik tinju yang indah. Tetapi, pada ronde-ronde terakhir, dia akan memukul sekenanya atau bahkan ngawur.]