Idul Adha adalah perayaan atas peristiwa pengorbanan—the extraordinary event—yang dilakukan baik oleh Nabi Ibrahim maupun Nabi Ismail. Menurut kamus Encarta, Idul Adha didefinisikan sebagai muslim festival that commemorates the willingness of the patriarch Abraham to sacrifice his son Ishmael at the command of Allah (God).
Ibrahim dan Ismail sama-sama mengorbankan sesuatu yang tak tergantikan (the non-substitutable): Ibrahim mengorbankan anaknya, sementara Ismail mengorbankan nyawanya. Anak dan nyawa sama-sama 'produk' yang tak tergantikan. Yang mungkin lebih memerikan hati adalah bahwa Ibrahim harus bersedia melakukan sendiri penyembelihan (= pembunuhan) terhadap Ismail; sementara Ismail harus bersedia disembelih (= dibunuh) oleh Ibrahim.
Dalam konteks ketauhidan, pengorbanan adalah suatu perintah (command) dari Tuhan untuk dipatuhi oleh manusia. Selama pengorbanan dipahami sebagai perintah Tuhan, maka kita tidak mempunyai pilihan kecuali harus mematuhi perintah Tuhan. (Haruskah kita mengharap, meminta, bahkan mengkalkulasi imbalan, dari pengorbanan yang diperintah olehNYA, sementara sesuatu yang kita korbankan tersebut adalah juga dariNYA?)
Rasanya, di zaman sekarang ini, sulit bagi sepasang bapak-anak untuk meniru atau mengulang peristiwa itu. Sebagai bapak, anda tidak perlu mendambakan akan datangnya “Perintah Tuhan” langsung kepada anda untuk menyembelih anak anda. Sebagai anak, anda juga tidak perlu mendambakan akan datangnya “Perintah Tuhan” langsung kepada anda untuk bersedia disembelih oleh bapak anda. Apa itu pengorbanan?
Pengorbanan bukan pemberian, apalagi pembuangan. Suatu aktivitas disebut pengorbanan apabila memenuhi tiga karakteristik berikut:
- Apa yang dikorbankan harus sesuatu yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh si pengorban, bukan dimiliki oleh orang lain. (Bukan berkorban namanya jika anda mengambil sandal si A untuk diberikan kepada si B).
- Apa yang dikorbankan harus dirasa sebagai sesuatu di mana orang lain pada umumnya tidak bersedia (atau merasa berat hati) untuk memberikannya. (Kurang berkorban rasanya jika anda bergaji 1 milyar per tahun, tapi hanya 'berkorban' 1 juta per tahun).
- Untuk si penerima korban, apa yang diterimanya harus tampak sebagai kebutuhannya, keinginannya, atau kepentingannya. (Bukan berkorban rasanya ketika anda memberikan 5 kg daging kambing kepada orang yang terkapar karena sakit stroke).
Jadi, pengorbanan dapat dipahami sebagai tindakan memberikan/menyerahkan sesuatu yang dicintai/disukai (bukan sesuatu yang dibenci) dari si pengorban kepada kepada orang lain (penerima korban). Di sini, sebagai makhluk sosial, kita boleh berharap akan adanya kondisi sosial yang lebih baik dari pengorbanan kita.
Mengapa perlu pengorbanan? Di dalam jagad ini, (1) ada sesuatu yang kita bisa menikmatinya sekaligus kita bisa menghakmilikinya, dan (2) ada sesuatu yang kita bisa menikmatinya tanpa satu pun orang dapat menghakmilikinya. Selama tidak bisa dihakmiliki, kita mungkin akan berpikir “Mengapa saya peduli?”, sedemikian rupa sehingga sesuatu itu menjadi tak terpelihara dan akhirnya underprovision. Untuk memeliharanya dan/atau menyediakannya, perlu adanya pengorbanan. (Bayangkan jika tidak ada satu pun orang yang mau berkorban untuk orang lain.)
Lebih jauh, ketika tindakan pengorbanan diletakan dalam kehidupan sosial atau interaksi antara pihak pengorban dengan “pihak yang meminta pengorbanan”, maka tindakan pengorbanan itu mensinyalkan komitmen. Semakin besar “volume” pengorbanan anda (dan/atau semakin nampak besarnya cinta anda terhadap sesuatu yang anda korbankan), anda akan semakin tampak sungguh-sungguh (committed). Dengan kata lain, pengorbanan yang anda lakukan, dapat mempengaruhi pihak lain.
Hanya Tuhan yang memberi kita rasa berani dan rasa takut untuk berkorban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H