Mohon tunggu...
DR. JOSÈ RIZAL JOESOEF
DR. JOSÈ RIZAL JOESOEF Mohon Tunggu... Ekonom, Penilai (Appraiser) dan Dosen Univ. Gajayana, Malang -

Assalamu'alaikum dan salam sejahtera. DR. JOSÈ RIZAL JOESOEF (JRJ) adalah Caleg DPRD KOTA MALANG dari DAPIL LOWOKWARU, diusung oleh PARTAI SOLIDARITAS INDONESIA (PSI). JRJ lahir di Kota Malang pada 4 Mei 1966, meraih Sarjana Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan dari Univ. Brawijaya (lulus 1993), Magister Sains Ilmu Ekonomi dari Univ. Gadjah Mada (lulus 1998), dan Doktor Ilmu Ekonomi dari Univ. Brawijaya (lulus 2010) ..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Etis: 'Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono'

20 Juni 2015   22:02 Diperbarui: 3 November 2018   14:25 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENDAHULUAN

Mana yang lebih bermoral, menjatuhkan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, atau, membunuh bos narkoba atau membunuh kroco-kroconya? Ini adalah dua contoh isu dilematis yang sering saya lontarkan dalam perkuliahan etika bisnis atau etika ekonomi.

Etika, dan juga etiket, mungkin termasuk pelajaran dini dari orangtua kita. Mereka mengajarkan apa yang boleh (morally acceptable) dan apa yang tidak boleh (morally unacceptable), misalnya "Katakan sejujurnya", "Jangan berbohong", "Jangan mencuri", "Jangan mencontek", “Jangan membentak orangtua”, “Jangan duduk di atas meja”, dan seterusnya. Pelajaran itu tentu telah menjadi pedoman kita dalam bertindak hingga sekarang.

Etika pada dasarnya adalah bagian dari filsafat yang berbicara tentang kebaikan (goodness) dan keburukan (badness) tindakan seseorang serta hak dan kewajiban moral orang itu dalam masyarakat. Namun, apakah tindakan tak etis dan etis itu bisa terbedakan secara tegas seperti warna hitam dan putih?

 

DILEMA ETIS

Dalam banyak kasus, seseorang tidak selalu menghadapi pilihan tindakan yang semuanya baik (good) di satu sisi dan semuanya buruk (bad) di sisi lain. Tetapi dia sekali waktu mungkin menghadapi pilihan tindakan yang semuanya buruk, sehingga yang dipertimbangkan dalam memilih adalah tindakan mana yang paling sedikit keburukannya (choosing the best among the worst). Ini sejalan dengan prinsip dalam business economics bahwa jika perusahaan tidak dapat maximizing benefits, maka minimizing costs dapat ditempuh selama belum sampai pada shutdown point (titik kebangkrutan).

Dilema etis (ethical dilemma) muncul karena seseorang harus menyelaraskan economic goals dengan human concerns (Vardi & Weitz 2004:199), atau karena ia harus mendamaikan konflik antara benar-salah (right-wrong) dan baik-buruk (good-bad). Bisa jadi keputusan kita benar berdasarkan perhitungan ekonomi tetapi tidak baik dari sudut pandang kemanusiaan, atau sebaliknya yaitu salah menurut kalkulasi ekonomi tetapi baik menurut kemanusiaan.

Jones (1991) memaparkan 6 (enam) tolok ukur untuk menilai seberapa buruk keputusan atau tindakan yang diambil, yaitu:

  1. Magnitude of consequences
  2. Social consensus
  3. Probability of effect
  4. Temporal immediacy
  5. Proximity
  6. Concentration of effect

Beberapa orang suka membedakan antara ethics dan morality, dengan dalih bahwa etika berhubungan dengan social values dan moralitas adalah tentang personal values. Tetapi untuk artikel ini dan supaya gampang, istilah etis (ethical) dan moral dianggap sama saja dan dapat saling dipertukarkan. Karena itu, frasa "tidak etis" dapat dimaknai sama dengan frasa "tidak bermoral". Selain itu, penulis akan sering menggunakan "anda" (sebagai pengganti dari kata "seseorang"), supaya pembaca mudah membatinkan cerita dalam artikel ini.

Magnitude of Consequences adalah besarnya penderitaan (harm) yang menimpa korban, sebagai akibat dari tindakan anda. Baik buruknya suatu tindakan diukur dari besar kecilnya penderitaan atau kerugian yang menimpa korban karena tindakan itu. Contoh:

  1. Mencuri motor milik orang kaya (apalagi pelit), bisa dianggap lebih pantas ketimbang mencuri motor orang miskin.
  2. Keputusan memecat 10 orang karyawan, bisa dianggap lebih manusiawi ketimbang memecat 100 orang.
  3. Kecerobohan dalam mengendarai mobil sehingga membuat orang lain terluka, bisa dianggap lebih terampuni ketimbang menyebabkan orang itu mati.
  4. Bermain 'sepakbola gajah' dengan hasil selisih gol yang fantastis, jelas lebih tidak bermoral ketimbang selisih gol yang tipis. (Pada tahun 1988, Persebaya dikalahkan 0-12 oleh Persipura, untuk menghadang laju PSIS Semarang.)
  5. Dalam film mafia, langsung membunuh kroco lawan bisnis, bisa dianggap lebih manusiawi ketimbang menyiksa orang itu terlebih dahulu (sebelum akhirnya didor).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun