PENDAHULUAN
Mana yang lebih bermoral, menjatuhkan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, atau, membunuh bos narkoba atau membunuh kroco-kroconya? Ini adalah dua contoh isu dilematis yang sering saya lontarkan dalam perkuliahan etika bisnis atau etika ekonomi.
Etika, dan juga etiket, mungkin termasuk pelajaran dini dari orangtua kita. Mereka mengajarkan apa yang boleh (morally acceptable) dan apa yang tidak boleh (morally unacceptable), misalnya "Katakan sejujurnya", "Jangan berbohong", "Jangan mencuri", "Jangan mencontek", “Jangan membentak orangtua”, “Jangan duduk di atas meja”, dan seterusnya. Pelajaran itu tentu telah menjadi pedoman kita dalam bertindak hingga sekarang.
Etika pada dasarnya adalah bagian dari filsafat yang berbicara tentang kebaikan (goodness) dan keburukan (badness) tindakan seseorang serta hak dan kewajiban moral orang itu dalam masyarakat. Namun, apakah tindakan tak etis dan etis itu bisa terbedakan secara tegas seperti warna hitam dan putih?
DILEMA ETIS
Dalam banyak kasus, seseorang tidak selalu menghadapi pilihan tindakan yang semuanya baik (good) di satu sisi dan semuanya buruk (bad) di sisi lain. Tetapi dia sekali waktu mungkin menghadapi pilihan tindakan yang semuanya buruk, sehingga yang dipertimbangkan dalam memilih adalah tindakan mana yang paling sedikit keburukannya (choosing the best among the worst). Ini sejalan dengan prinsip dalam business economics bahwa jika perusahaan tidak dapat maximizing benefits, maka minimizing costs dapat ditempuh selama belum sampai pada shutdown point (titik kebangkrutan).
Dilema etis (ethical dilemma) muncul karena seseorang harus menyelaraskan economic goals dengan human concerns (Vardi & Weitz 2004:199), atau karena ia harus mendamaikan konflik antara benar-salah (right-wrong) dan baik-buruk (good-bad). Bisa jadi keputusan kita benar berdasarkan perhitungan ekonomi tetapi tidak baik dari sudut pandang kemanusiaan, atau sebaliknya yaitu salah menurut kalkulasi ekonomi tetapi baik menurut kemanusiaan.
Jones (1991) memaparkan 6 (enam) tolok ukur untuk menilai seberapa buruk keputusan atau tindakan yang diambil, yaitu:
- Magnitude of consequences
- Social consensus
- Probability of effect
- Temporal immediacy
- Proximity
- Concentration of effect
Beberapa orang suka membedakan antara ethics dan morality, dengan dalih bahwa etika berhubungan dengan social values dan moralitas adalah tentang personal values. Tetapi untuk artikel ini dan supaya gampang, istilah etis (ethical) dan moral dianggap sama saja dan dapat saling dipertukarkan. Karena itu, frasa "tidak etis" dapat dimaknai sama dengan frasa "tidak bermoral". Selain itu, penulis akan sering menggunakan "anda" (sebagai pengganti dari kata "seseorang"), supaya pembaca mudah membatinkan cerita dalam artikel ini.
Magnitude of Consequences adalah besarnya penderitaan (harm) yang menimpa korban, sebagai akibat dari tindakan anda. Baik buruknya suatu tindakan diukur dari besar kecilnya penderitaan atau kerugian yang menimpa korban karena tindakan itu. Contoh:
- Mencuri motor milik orang kaya (apalagi pelit), bisa dianggap lebih pantas ketimbang mencuri motor orang miskin.
- Keputusan memecat 10 orang karyawan, bisa dianggap lebih manusiawi ketimbang memecat 100 orang.
- Kecerobohan dalam mengendarai mobil sehingga membuat orang lain terluka, bisa dianggap lebih terampuni ketimbang menyebabkan orang itu mati.
- Bermain 'sepakbola gajah' dengan hasil selisih gol yang fantastis, jelas lebih tidak bermoral ketimbang selisih gol yang tipis. (Pada tahun 1988, Persebaya dikalahkan 0-12 oleh Persipura, untuk menghadang laju PSIS Semarang.)
- Dalam film mafia, langsung membunuh kroco lawan bisnis, bisa dianggap lebih manusiawi ketimbang menyiksa orang itu terlebih dahulu (sebelum akhirnya didor).