Sumber gambar: www.quotesfrenzy.com
We All Die Young, adalah salah satu "identitas" Steelheart yang buat saya salah satu satir terbesar yang mengusik kalbu, uopooooohhh ceph. Lewat lagu ini Miljenko Matijevic cs, bercerita tentang fenomena rockstar yang “pulang di usia muda”. Kombinasi antara stress dan drugs cukup membuat Janis Joplin, Amy Winehouse sampai bapak grunge dunia Curt Cobain, “abadi dalam kemuliaannya” di puncak karier.
Tidak ada tulisan tersirat tentang fenomena “mati muda” para musisi itu. Lagu ini hanya disusun dari sekumpulan kalimat satir sebagai liriknya. Dan irama yang tidak terlalu ngebeat juga tidak terlalu mendayu-dayu, tapi justru dengan begitu saya bisa menikmati dan menginterpretasikan dengan sejuta keliaran yang berkecamuk di kapala.
Kalau ditarik ke era sekarang saat Super Junior, tidak juga kunjung naik ke level senior, agak susah atau jarang, mencari sinonim dari fenomena itu. Maka, ijinkan saya yang sering sekali menyambung-nyambungkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung dan tidak perlu disambung-sambungkan untuk bercerita lagu ini dari sudut pandang ilmuis saya.
Saya membayangkan Miljenko Matijevic dengan nada tinggi dan tatapan kosong melengkingkan kegundahannya atas matinya “idealisme anak muda”, abotttttt leeeee. Idealisme anak muda, supaya tidak sekedar ikut-ikutan rame akan sebuah fenomena, sementara esensinya yah cuman sampai di standar “sukur ngerti, enggak juga gag papa”. Seperti kata om Glenn Fredlly “Anak muda tanpa idelisme seperti zombie”. Yah walaupun dari sudut pandang fisiologi, zombie belum dikatakan mati, pokoknya yah disambung-sambungkan sajalah.
Beberapa hari lalu saya ikut sebuah talkshow kecil-kecilan bersama beberapa komunitas yang ada di Surabaya. Ada banyak ilmu dan pelajaran yang saya dapat kala itu, tapi ada satu hal yang membuat gelisah (geli-geli resah, kata sobat saya Alfred Abidondifu) dan terpancing buat menceritkannya di sini.
Salah satu kordinator komunitas untuk gerakan tersebut di Surabaya menyampaikan kendala mereka dalam melakukan gerakan ini. “Kendala kami adalah setelah kegiatan besar, volunteer mulai hilang dan tidak semua volunteer yang memakai baju dengan label gerakan tersebut mengerti apa esensi dari kegiatan itu”. Satu-satunya yang mereka mengerti adalah kegiatan trademark “mematikan lampu selama sejam”. Kemudian saya bandingkan dengan komunitas saya, dari sudut pandang saya sebagai intelektual muda harapan bangsa, “podoooo dab”. Masalah utamanya hanya “ikut-ikutan rame” ternyata.
Dalam kajian teoritis salah satu pakar Sosiologi Indonesia Den Loro Ra Mari-Mari dalam salah satu esainya yang berjudul “Manusia Muda Indonesia” yang tak pernah terbit karena tak pernah ada, dalam proses pencarian pengakuan diri, kadang esensi dan isi yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipahami, yang penting mboisss rek. Masalah prinsipil untuk mengerti atau tidak tujuannya, itu urusan nanti, yang penting keren dulu, nampang dulu, yang penting “ahhh sudahlah” saya tidak tega manambahkan sejuta tujuan lainya yang menurut saya lebih banyak mudaratnya.
Tapi ayolah mengaku… bagian mana yang tidak keren dari memakai kata volunteer dan nampang di foto kegiatan dengan tujuannya jempol di FB atau RT di Twitter yah syukur-syukur bisa naikin follower atau dapat komentar ihhh keren, dan mengundang satu lagi anak muda keren wanna be masuk ke dalam lingkaran angkatan muda gaul Indonesia, sekali lagi tanpa perlu tau tujuan utamanya apa. Parahnya lagi, yah tetap tidak ada niat untuk memahami sambil berjalan, sekalipun sudah terlambat. Saya harus dengan pahit mengakui peribahasa “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” masih tetap penting untuk dipahami. Saya mulai dengan kenyataan ini, karena hal ini yang paling dekat dengan saya. Menggelikan dan menyedihkan.
Tapi untuk kasus ini, sekali lagi “daku mah apa atuh”, toh akhirnya kita tidak bisa melakukan scanning satu-satu terhadap rencana manusia-manusia itu sebelum bergabung, syukuri saja niat baik sekecil apa pun. Syukuri saja, sebesar apa ukuran udang di balik batunya, Entah lobster kelas restoran bintang lima, atau udang yang cuman cukup untuk bahan baku sebiji terasi. Bagi golongan jenis ini yang sudah keburu bergabung yah saya cuman bisa turut berkabung, sembari pelan-pelan melakukan penertiban dan sesekali sweeping dengan “Front Penertib Komunitas”, mang ada gitu?
Mari lanjut ke bukti berikut betapa fenomena “ikut-ikutan rame” ini begitu dalamnya menggerogoti jiwa muda Indonesia selain sejuta pengaruh buruk lainnya. Perhatikan foto ini.