Euthanasia yaitu suatu tindakan dengan mengakhiri hidup seseorang secara sengaja bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dialaminya. Istilah dari euthanasia sendiri berasal dari bahasa Yunani dengan kosakata “Eu” memiliki makna baik dan kata “Thanos” memiliki arti kematian sehingga secara etimologis euthanasia dapat didefinisikan sebagai “mati secara baik”, “kematian yang mudah”, dan juga dapat disebut “pembunuhan tanpa penderitaan”yang bertujuan untuk mengakhiri hidup seseorang yang mengalami penyakit terminal serta tidak dapat disembuhkan kembali. Pada hakikatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan yang sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri atau dalam bahasa Inggris disebut (The Right Self of Determination) pada pasien. Hak tersebut menjadi unsur utama HAM dan dengan kesadaran baru mengenai hak tersebut(Flora, 2022).
Terdapat macam-macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dibagi menjadi dua yaitu langsung dan tidak langsung, euthanasia aktif langsung yaitu cara mengakhiri hidup dengan tindakan medis yang langsung mengakhiri hidup seperti memberikan tablet berisi sianida, sedangkan euthanasia aktif tidak langsung yaitu memaparkan bahwa tindakan media yang diterapkan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien seperti contoh mencabut oksigen. Kemudian euthanasia pasif yaitu suatu tindakan yang menghentikan segala tindakan atau pengobatan yang memerlukan bertahannya hidup manusia sehingga pasien tersebut diperkirakan akan meninggal setelah tindakan diberhentikan. Dan jenis lainnya dari euthanasia ada tiga macam lagi, yaitu voluntary euthanasia, non-voluntary euthanasia, dan involuntary euthanasia. Euthanasia Voluntary merupakan tindakan yang diminta oleh pasien dengan kesadaran penuh dan kondisi jiwa yang sehat, Non-Voluntary Euthanasia yaitu dilakukan tanpa persetujuan pasien yang biasanya pasien dalam keadaan koma, dan Involuntary Euthanasia yaitu dilakukan tanpa persetujuan pasien serta tidak dalam kondisi untuk memberikan persetujuan tersebut(Herawati, 2019).
Istilah euthanasia pertama kali dikenalkan oleh Hippokrates didalam skripsinya yang berjudul “Sumpah Hippokrates”, skripsi tersebut ditulis pada tahun 400-300 Sebelum Masehi. Pada sumpah tersebut Hippokrates menyatakan bahwa “Saya tidak akan menyarankan dan ataupun memberikan obat yang mematikan pada siapapun walau telah dimintakan untuk itu”. Dari pernyataan tersebut mengenai euthanasia, dapat disimpulkan bahwa ungkapan yang dimunculkan oleh Hippokrates merupakan penolakan terhadap praktek euthanasia. Sejak awal abad ke-19 , euthanasia memicu banyak perdebatan serta pergerakan khususnya di wilayah Amerika utara dan Eropa pada tahun 1828(Siregara, 2020). Undang-undang anti euthanasia disahkan di negara bagian Kota New York dan negara-negara lainnya. Setelah perang saudara di Amerika Serikat, beberapa advokat dan dokter mendukung praktek euthanasia yang awalnya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 serta di Amerika pada tahun 1938, walaupun begitu perjuangan untuk melegalkan praktek euthanasia tidak mudah untuk dijalan di Amerika Serikat serta Inggris. Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan praktek kontroversial pada program euthanasia terhadap anak-anak berumur dibawah 3 tahun yang mengalami kecacatan mental, cacat tubuh, dan lainnya(Picón-Jaimes et al., 2022). Program tersebut dikenal dengan istilah Aktion T4 atau Aksi T4. Contoh lainnya di India pernah di praktek kan kebiasaan untuk melemparkan orang tua ke sungai Gangga, lalu di Uruguay praktek euthanasia dicantumkan pada undang-undang yang berlaku sejak tahun 1933. Selain itu, di beberapa negara eropa praktek tersebut bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia memberlakukan euthanasia sebagai suatu kejahatan khusus(Gutierrez-Castillo et al., 2020).
Perspektif medis menyatakan euthanasia dapat diartikan sebagai tindakan yang mengakhiri atau mempercepat proses kematian seseorang yang telah lama menderita penyakit dan mustahil untuk disembuhkan dengan metode yang dianggap tidak memunculkan rasa sakit. Syarat-syarat dilakukannya euthanasia yaitu menurut dunia medis yaitu harus ada penderitaan fisik atau psikis yang diderita pasien, tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi, keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja, dan lain-lainnya. Beauchamp and Childress menyatakan bahwa untuk mencapai keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral dan beberapa aturan. Keempat kaidah tersebut yaitu prinsip otonomi yang menghargai hak pasien, prinsip beneficience yaitu mengutamakan tindakan pasien, prinsip non-maleficience melakukan tindakan yang tidak memperburuk pasien, dan yang terakhir prinsip justice yang mementingkan keadilan pasien. Berdasarkan keempat prinsip tersebut telah jelas praktek euthanasia sangar melanggar kaidah nomor 2 pasal 11 yang menyebutkan bahwa pada kode etik kedokteran pada tahun 2012 yang dimana “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani”. Pada poin kedua pasal 11 menyebutkan bahwa seorang dokter tidak diperbolehkan melibatkan dalam tindakan ilegal seperti abortus, euthanasia, atau hukuman mati(Prihastuti, 2018).
Dari sudut pandang agama islam, yang diungkapkan oleh Imam Syafi’I bahwa berobat merupakan hukumnya sunnah. Dan beberapa mahzab menyatakan bahwa berobat merupakan sunnah muakkadah yang dimana mendekati wajib. Kemudian beberapa mahzab seperti malik menyatakan bahwa berobat yaitu setara antara mengerjakan atau meninggalkan. Konsep euthanasia yang dirumuskan para ahli, ditemukan larangannya dalam Al-Quran serta Hadits. Contohnya pada Al-Quran surat Al-An’Am ayat 151 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”. Membunuh pada konsep tersebut dengan cara apapun termasuk praktek euthanasia. Penderita pun tidak berhak mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena berputus asa pada penyakit yang diderita, sebagaimana dalam firman Allah S.W.T pada Al-Quran surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang padamu”. Dapat disimpulkan bahwa hukum islam dalam menanggapi euthanasia secara umum memberikan suatu konsep agar menghindari terjadinya euthanasia terutama euthanasia aktif. Dan ulama lain berpendapat bahwa penderita yang memiliki penyakit menular dan membahayakan orang sekitarnya apabila dibiarkan hidup, sebaiknya dilakukan alternatif lainnya selain euthanasia(Fahmi, 2020).
Peraturan yang dikaitkan dengan euthanasia pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dapat ditemukan pada Bab XIX pasal 338 hingga pasal 350 mengenai kejahatan pada jiwa seseorang. Hal tersebut dapat dilihat dari perundang-undangan pada pasal 344 KUHP yang berbunyi “Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang tersebut, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh sungguh dihukum selama-lamanya 12 tahun”. Dan demikian dengan pasal 338 KUHP menyatakan “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa ornag lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Selanjutnya pada pasal 359 KUHP yang menyatakan “barangsiapa yang karena salahnya telah menyebabkan meninggalnya orang lain, dihukum penjara selama lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”(Krisnalita, 2022). Munculnya pro atau kontra mengenai euthanasia menjadi fokus terberat bagi komunitas hukum yaitu aspek legalitas euthanasia. Kejelasan mengenai sejauh mana hukum pidana dalam memberikan pengaturan pada euthanasia. Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengingatkan pada masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi kasus euthanasia. Meskipun kasus euthanasia tidak terlalu dijelaskan secara rinci di KUHP, akan tetapi mengingat bahwa euthanasia dapat menghilangkan nyawa seseorang secara sengaja. Oleh karena itu, praktek euthanasia merupakan perbuatan yang termasuk ilegal yang dilakukan oleh siapapun termasuk dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya(Umiyati, 2021).
Secara hukum, agama, dan medis tindakan euthanasia merupakan yang ilegal untuk dilakukan pada pasien yang menderita penyakitnya. Akan tetapi pada faktanya terdapat beberapa negara yang melakukan praktek euthanasia tersebut salah satunya di Belanda, Belgia, dan Kanada. Euthanasia dapat dipantau secara hukum dengan ketat seperti tidak ada cara lain dalam menyembuhkan pasien. Pada negara-negara tersebut praktek euthanasia merupakan cara hak-hak pasien dalam menghadapi kematiannya dengan martabat. Pada awalnya, Belanda merupakan negara pertama di dunia yang melegalkan praktek euthanasia pada tahun 2001, dan diikuti oleh Belgia di tahun 2002. Kemudian, di negara Swiss pandangan mengenai euthanasia masih dianggap ilegal walau terdapat tiga organisasi yang menyediakan konseling serta macam obat-obatan untuk mempercepat kematian. Dan di Asia hanya Jepang yang pernah melegalkan praktek euthanasia voluntary pada kasus Yamaguchi di tahun 1962(Pesut et al., 2020).
Menurut saya, Euthanasia adalah topik yang memicu banyak perdebatan karena menyentuh inti dari masalah etika dan hak individu. Dalam pandangan saya, euthanasia dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap otonomi dan pilihan pribadi seseorang dalam menghadapi penderitaan yang tak tertahankan. Ketika seseorang mengalami sakit parah atau kondisi medis yang tidak mungkin sembuh, memberikan mereka hak untuk memilih akhir hidup mereka sendiri bisa dianggap sebagai bentuk belas kasih dan pengakuan atas dignitas mereka sebagai individu. Namun, penting untuk memastikan bahwa keputusan mengenai euthanasia diambil dengan hati-hati dan dengan pertimbangan penuh, melibatkan evaluasi medis dan psikologis yang mendalam. Proses persetujuan harus ketat untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan bahwa keputusan tersebut benar-benar diambil oleh individu yang bersangkutan dengan kesadaran penuh. Ini juga harus melibatkan dukungan emosional dan informasi yang memadai agar pasien dapat membuat keputusan yang benar-benar reflektif terhadap keinginan mereka. Di sisi lain, ada kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan dan dampak sosial dari legalisasi euthanasia, terutama dalam hal bagaimana hal ini dapat mempengaruhi pandangan kita terhadap nilai hidup dan keputusan medis. Penting untuk menjaga keseimbangan antara menghormati pilihan individu dan melindungi kerentanannya dari tekanan luar yang mungkin tidak terlihat.Secara keseluruhan, saya percaya bahwa setiap kasus euthanasia harus dievaluasi dengan sangat hati-hati dan berdasarkan prinsip-prinsip etika yang solid, dengan tujuan akhir untuk mengurangi penderitaan sambil menghormati martabat dan pilihan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H