Dari sini, dapat muncul suatu pertanyaan sederhana. Mana yang lebih manusiawi dan lebih etis, mempidana mati seseorang tanpa membuat orang itu merasa menderita, atau membuat seseorang merasa menderita, hingga memilih ingin mati? jawabannya penulis serahkan pada pembaca. Yang jelas, berdasarkan putusan hukuman mati seseorang, pidana mati terhadap terpidana kemudian menjadi hal yang mutlak menjadi kebijaksanaan hakim dan dilakukan tanpa tenggang waktu kedaluwarsa.
Adapun berdasarkan KUHPB, setidaknya bentuk perbuatan yang dapat diancam pidana mati meliputi tindak pidana makar, tindakan pada waktu perang, pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan menyebabkan Luka Berat atau matinya orang, tindak pidana penerbangan, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme dan narkotika, serta bila ada tindak pidana lain yang mungkin diatur diluar KUHPB, atau yang mungkin terlewat oleh penulis.
Kemudian, dalam mempertimbangkan dasar penjatuhan hukuman mati, banyak yang dapat dilihat dari yuriprudensi Mahkamah Agung, dari dasar alasan yang sangat ringan dengan pendekatan lex talionis (mata balas mata, karena membunuh maka layak dihukum mati) sampai pendekatan yang begitu mendalam hingga putusan hakim tersebut dapat mencapai 700an halaman.
Masih terkait dengan pidana mati, kasus yang cukup terkenal di publik adalah kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh pejabat tinggi di salah satu Alat Negara terhadap anak buahnya sendiri, mengakibatkan dirinya kemudian divonnis hukuman mati, kemudian bandingnya sempat ditolak, dan kemudian diterima dan vonisnya berubah menjadi seumur hidup.
Terlepas dari kontroversi yang pasti diketahui oleh publik yang mengikuti, dalam kedua yurisprudensi tersebut, dapat ditemukan beberapa alasan penting yang mendasari pemberian pidana mati dan dapat ditemukan dalam yurisprudensi kasus tersebut, adalah meliputi:
- Asas Ultimum Remedium, dimana pidana mati menjadi pilihan terakhir
- Perlindungan Hak Asasi Manusia, dikarenakan salah satu hak paling krusial dalam kajian Hak Asasi Manusia adalah hak untuk hidup.
- Tidak ada bukti konkret hukuman mati dapat mengurangi angka kejahatan.
- Butuhnya prinsip kriminalisasi yang sangat ketat.
Demikianlah sedikit tentang pidana mati. Artikel ini termasuk artikel yang sangat singkat, selain karena kekurangan penulis juga karena kesederhanaan. Sebenarnya ada banyak yang dapat dikaji dari perihal pidana mati, dari segi teoretis, historis, penitensier, implementasi dan sebagainya, namun untuk menjaga artikel tetap santai dan tidak terlalu rumit bahkan bagi penulis sendiri, maka penulis harus akhiri sampai disini.
Bagaimanapun juga, kadang lebih baik sedikit memahami daripada banyak mengetahui. Setidaknya, artikel sudah sedikit menjelaskan bahwa pidana mati merupakan pidana yang diatur khusus dan bersifat alternatif dalam KUHPB itu sendiri. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan:
KUHPB.
Beberapa yurisprudensi terkait pidana mati. Diakses dari situs Mahkamah Agung