Setelah itu, presiden akan mengesahkan RUU dengan cara membubuhkan tanda tangan hingga paling masa waktu paling lama 30 hari. Lewat dari 30 hari, RUU tersebut dinyatakan sah dan wajib diundangkan. Sahnya suatu undang-undang tanpa tanda tangan presiden didasarkan atas  Pasal 20 ayat 5 UUD NRI 1945 yang berbunyi:
"dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan."
Menjadi suatu hal yang menarik, bahwa RUU tersebut tetap dianggap sah walaupun tidak ada tanda tangan presiden. Lalu pertanyaannya, untuk apa harus ditandatangani oleh persiden? Apa ada atau tidak ada tanda tangan dari presiden menyiratkan suatu pesan? Dan apa hal tersebut mengurangi legitimasi dan legalitas dari RUU yang menjadi UU? Jawabannya kembali penulis serahkan pada pembaca.
Adapun Pengesahan dalam ranah peraturan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, tidak diakatan sebagai pengesahan, melainkan penetapan (beschikking). Apabila membaca artikel Pembentukan Peraturan Perundangan: Perencanaan, maka penulis pernah menuangkan tentang Regeling yang bicara tentang perbedaan putusan hakim MK dan putusan hakim biasa disana. Pertanyaan sederhana, apa yang membedakan beschikking dan regeling? Apa vonnis dapat disamakan dengan beschikking? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Dalam ranah provinsi, perdaprov ditetapkan setelah disetujui oleh DPRD provinsi dan Gubernur untuk ditetapkan menjadi peraturan. Dalam UU 13/2022 Perubahan Kedua P3, terdapat klasifikasi peraturan daerah provinsi yang dituangkan dengan bunyi:
"Rancangan Peraturan Daerah Provinsi antara lain di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah, serta tata ruang yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan gubernur wajib dievaluasi terlebih dahulu oleh Menteri sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan sebelum ditetapkan. Contohnya, ketentuan mengenai kewajiban evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai hubungan keuangan pusat dan daerah."
Bunyi dalam pasal tersebut sebenarnya sangat menarik, namun penulis kembali tidak memberikan komentar. Dan seperti yang tertuang pada artikel Pembentukan Peraturan Perundangan: Penyusunan, ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, apa perubahan tersebut menyebabkan masalah? Bila kemudian masalah, masalah siapa?
Adapun dalam hal penetapan Rancangan Perdakab/kot, diberlakukan secara mutatis mutandis terhadap Perdaprov.
Demikianlah sedikit ulasan tentang Pembentukan Peraturan Perundangan: Pembahasan dan Pengesahan/Penetapan dari UU 12/2011. Artikel ini tidak sempurna selain karena kekurangan penulis, namun juga karena kesederhaan. Terutama karena, kesibukan yang belakangan ini menghantam penulis bertubi-tubi, hingga tidak sempat membaca undang-undang dan menuangkannya kembali dalam bentuk artikel santai. Setidaknya, artikel ini dapat memberikan gambaran umum tentang pembahasan RUU yang dilakukan di DPR dan Presiden yang diwakilkan, serta Rancangan Perda yang dilakukan oleh DPRD bersama gubernur. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan: