Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pidana Internasional: Crime of Aggression

31 Maret 2024   10:06 Diperbarui: 31 Maret 2024   10:10 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Suatu fakta yang menarik, walaupun Rusia dikatakan melakukan invasi ke Ukraina secara sah dan meyakinkan dari tanggal 24 februari 2022, Rusia tetap berdiri kokoh dan tetap melancarkan agresi tersebut selama sekitar 2 tahun ini. Perbuatan Rusia kemudian menghasilkan pro-kontra secara geo-politik internasional, termasuk di Indonesia.

Apa perbuatan Rusia dapat dikatakan sebagai agresi militer? Tentu saja iya. Tapi, apa perbuatan Rusia kemudian dapat dikatakan sebagai Crime of Aggression? Apa agresi, seperti yang dilakukan Rusia, adalah tindak kriminal atau hanya suatu tindakan? Untuk jawabannya penulis serahkan pada pembaca. Yang jelas, Crime of Aggression juga tertuang dalam Statuta Roma.

Article 5 Statuta Roma intinya memberikan larangan utama dalam hal tindak kriminal yang dapat mempengaruhi komunitas internasional secara menyuluruh. Salah satu dari empat pilar utama itu tertuang norma "the crime of aggression".  Article 5 pasal 2 kemudian memberikan penambahan untuk "the crime of aggression" ini, yang tambahan itu berbunyi:

"The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with article 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of the United Nations."

Article 121 pada intinya bicara tentang amandemen serta keberlakuan Statuta sebelum dan sesudah amandemen. Keterkaitannya dengan "crime of aggression" ini tertuang dalam Number 5, yang berbunyi:

"any amendement to article 5, 6, 7 and 8 of this Statute shall enter into force for those States Parties which have accepted the amendement one year after the deposit of their instruments of ratification or acceptance. In respect of a State Party which has not accepted the amendment, the Court shall not exercise its jurisdiction regarding a crime covered by the amendment when committed by that State Party's nationals or on its territory."

Kemudian, pada article 123, yang terkait dengan article 5 tertuang dengan bunyi:

"Seven years after the entry into force of this Statute the Secretary-General of the United Nations shall convene a Review Conference to consider any amendments to this Statute. Such review may include, but is not limited to, the list of crimes contained in article 5. The conference shall be open to those participating in the Assembly of States Parties and on the same conditions."

Melihat dan menimbang ketiga norma tersebut, maka yang dimaksud "crime of aggression" memiliki definisi yang bersifat tentatif, tidak bersifat ajek/tetap. Ketiadaan keteguhan itu disandarkan oleh hal-hal yang pada intinya:

  • Pemberian definisi crime of aggression/Pidana Agresi, yang didasarkan oleh kondisi;
  • Pendefinisian harus konsisten dan relevant dengan ketentuan UN Charter;
  • Dalam hal ada negara yang tidak menerima amandemen, termasuk juga norma crime of aggression, maka ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap anggota itu.

Dari norma yang sama, cukup terang bahwa "crime of aggression" juga bergantung dari "crime of aggression" yang ditetapkan UN. UN Charter sendiri tidak secara terang menyuratkan definisi atas "crime of aggression", namun dalam article 39 dan article 51 menyatakan hal-hal demikian ditentukan oleh The Security Council.

Secara ringkas, kategori norma tersebut memberikan penentuan dalam pemberian sanksi "crime of aggression" yang dianalogikan juga sebagai "act of aggression, namun kembali tidak memberikan definisi terhadap hal itu. Dan hal ini kemudian menyebabkan hal yang menarik, karena article 41 dan article 42 merupakan bentuk sanksi yang meliputi:

  • Interupsi relasi ekonomi;
  • Interupsi jalur darat, laut, udara, komunikasi;
  • Pemutusan hubungan diplomasi;
  • Penggunaan militer dari darat, laut, dan udara;
  • Demonstrasi, blockade, operasi lain dari Anggota UN.

Menjadi menarik, karena kembali pada pertanyaan mendasar, apa sanksi demikian dapat dikatakan pidana? Jawabannya kembali Penulis serahkan pada pembaca. Pun tetap, terjadi kekosongan hukum karena tidak ada definisi terhadap "crime of aggression" itu sendiri. Setidaknya sampai konferensi Statuta Roma pada tahun 2010.

Kampala Review Conference.

Pada dokumen Review Conference of the Rome Statute of International Criminal Court, halaman 18 nomor 1, tertuang bahwa "crime of aggression" means the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations."

Pada nomor 2, kemudian diberikan ruang lingkup "crime of aggression" yaitu penggunaan senjata oleh negara terhadap penguasa, integritas territorial atau kemerdekaan politik negara lain, serta yang tidak konsisten dengan UN. Adapun klasifikasi perbuatan yang dapat dikenakan "crime of aggression", yang secara sederhana meliputi:

a. Invasi atau serangan angkatan bersenjata negara terhadap negara lain, pendudukan militer walaupun bersifat sementara, sebagian atau seluruhnya, yang lahir dari invasi atau pencaplokan;

b. Pemboman atau penggunaan senjata perang oleh angkatan bersenjata negara terhadap negara lain;

c.  Blockade Pelabuhan atau tepian pantai negara oleh militer negara lain;

d. Serangan bersenjata atau serangan militer di darat, laut, udara dari dan oleh negara lain;

e.  Penggunaan angkatan bersenjata di dalam teritori negara lain yang sudah disepakati keduanya, yang ternyata bertentangan dengan kesepakatan itu, termasuk pertambahan keberadaan dalam tentara itu dalam wilayah tersebut;

f. Perbuatan negara dalam teritori yang diperbolehkan untuk ditempati sementara dalam negara tertentu, yang kemudian digunakan oleh negara penempat untuk melakukan agresi ke wilayah negara lain;

g. Pengiriman militer oleh atau atas nama negara tertentu, yang mengirimkan tentara, kelompok, tentara bayaran atau yang menyerupai, yang mana melakukan perbuatan penyerangan terhadap negara lain dengan gravitasi menyerupai tindakan-tindakan yang diatur dalam pasal ini, atau hal-hal substansial yang berkaitan dengan itu.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan "crime of aggression" sudah cukup jelas. Dan, apabila dimaknai, secara sederhana Angkatan bersenjata seperti apapun, dengan cara apapun, pasti akan melanggar konvensi ini, kecuali UN, yang bukan negara, atau subjek hukum internasional bukan negara.

Pidana Agresi Militer di Indonesia

Mengingat Indonesia belum menandatangi Statuta Roma, setidaknya hingga artikel ini dituangkan, maka keberlakuan 'crime of aggresion' menjadi lebih buram dan adanya invertensi dari pihak asing hanya dapat dilakukan oleh UN secara de jure, dengan syarat Indonesia melakukan agresi militer ke negara lain, atau sebaliknya, Indonesia diserang oleh negara lain.

Dan kali ini tidak ada pidana Indonesia yang dapat dikaitkan, karena memang tidak ada peraturan terhadap ketentuan Indonesia menyerang negara lain dan dilarang oleh Hukum Pidana Indonesia. Terutama, karena Pidana Indonesia menekankan orang dan badan hukum bukan negara. Sementara, hal-hal militer diatur secara terpisah dengan kitab undang-undang militer yang pada asasnya harus tertutup.

Demikian sedikit tentang 'Crime of agression'. Artikel ini tidak sempurna selain karena kekurangan penulis yang menjadikan artikel hukum ini juga menekankan kesederhanaan hingga banyak hal yang terpaksa tidak dimasukkan tanpa mengurangi esensinya. Setidaknya, artikel ini sudah cukup memuat bahwa agresi militer dapat dianggap melanggar Hukum Pidana Internasional yang terus berkembang sesuai dengan kepentingan geo-politik negara-negara di Bumi yang meratifikasinya. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan perundangan internasional:

UN Charter

Statuta Roma

Kampala Conference of Rome Statute.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun