Suatu fakta yang menarik, walaupun Rusia dikatakan melakukan invasi ke Ukraina secara sah dan meyakinkan dari tanggal 24 februari 2022, Rusia tetap berdiri kokoh dan tetap melancarkan agresi tersebut selama sekitar 2 tahun ini. Perbuatan Rusia kemudian menghasilkan pro-kontra secara geo-politik internasional, termasuk di Indonesia.
Apa perbuatan Rusia dapat dikatakan sebagai agresi militer? Tentu saja iya. Tapi, apa perbuatan Rusia kemudian dapat dikatakan sebagai Crime of Aggression? Apa agresi, seperti yang dilakukan Rusia, adalah tindak kriminal atau hanya suatu tindakan? Untuk jawabannya penulis serahkan pada pembaca. Yang jelas, Crime of Aggression juga tertuang dalam Statuta Roma.
Article 5 Statuta Roma intinya memberikan larangan utama dalam hal tindak kriminal yang dapat mempengaruhi komunitas internasional secara menyuluruh. Salah satu dari empat pilar utama itu tertuang norma "the crime of aggression". Â Article 5 pasal 2 kemudian memberikan penambahan untuk "the crime of aggression" ini, yang tambahan itu berbunyi:
"The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with article 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of the United Nations."
Article 121 pada intinya bicara tentang amandemen serta keberlakuan Statuta sebelum dan sesudah amandemen. Keterkaitannya dengan "crime of aggression" ini tertuang dalam Number 5, yang berbunyi:
"any amendement to article 5, 6, 7 and 8 of this Statute shall enter into force for those States Parties which have accepted the amendement one year after the deposit of their instruments of ratification or acceptance. In respect of a State Party which has not accepted the amendment, the Court shall not exercise its jurisdiction regarding a crime covered by the amendment when committed by that State Party's nationals or on its territory."
Kemudian, pada article 123, yang terkait dengan article 5 tertuang dengan bunyi:
"Seven years after the entry into force of this Statute the Secretary-General of the United Nations shall convene a Review Conference to consider any amendments to this Statute. Such review may include, but is not limited to, the list of crimes contained in article 5. The conference shall be open to those participating in the Assembly of States Parties and on the same conditions."
Melihat dan menimbang ketiga norma tersebut, maka yang dimaksud "crime of aggression" memiliki definisi yang bersifat tentatif, tidak bersifat ajek/tetap. Ketiadaan keteguhan itu disandarkan oleh hal-hal yang pada intinya:
- Pemberian definisi crime of aggression/Pidana Agresi, yang didasarkan oleh kondisi;
- Pendefinisian harus konsisten dan relevant dengan ketentuan UN Charter;
- Dalam hal ada negara yang tidak menerima amandemen, termasuk juga norma crime of aggression, maka ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap anggota itu.
Dari norma yang sama, cukup terang bahwa "crime of aggression" juga bergantung dari "crime of aggression" yang ditetapkan UN. UN Charter sendiri tidak secara terang menyuratkan definisi atas "crime of aggression", namun dalam article 39 dan article 51 menyatakan hal-hal demikian ditentukan oleh The Security Council.
Secara ringkas, kategori norma tersebut memberikan penentuan dalam pemberian sanksi "crime of aggression" yang dianalogikan juga sebagai "act of aggression, namun kembali tidak memberikan definisi terhadap hal itu. Dan hal ini kemudian menyebabkan hal yang menarik, karena article 41 dan article 42 merupakan bentuk sanksi yang meliputi:
- Interupsi relasi ekonomi;
- Interupsi jalur darat, laut, udara, komunikasi;
- Pemutusan hubungan diplomasi;
- Penggunaan militer dari darat, laut, dan udara;
- Demonstrasi, blockade, operasi lain dari Anggota UN.