Mohon tunggu...
Josephine Winda
Josephine Winda Mohon Tunggu... wiraswasta -

membaca itu candybar dan menulis itu lollypop, yummy !.... googling me windascriptease ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Eksperimen tentang Persepsi, Rasa, dan Prioritas

23 Januari 2014   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang adik sepupu mengirim artikel menarik tentang Josh Bell. Siapa dia? Saya belum pernah mendengar namanya. Saya tahu Kenny G, musisi yang tersohor dengan permainan saxophone-nya. Pernah beli CD-nya. Tetapi Josh Bell, saya tidak tahu karena rasanya popularitas Josh Bell belum begitu menggema di tanah air.

Tetapi bukan masalah kepiawaian musik Josh Bell yang menarik minat saya. Saya tertarik tentang artikel yang ditulis tahun 2007, berjudul 'Pearls before breakfast' karena Josh Bell melakukan sebuah eksperimen yang luar biasa. Tentang hal yang sudah bergeser kemana - mana, tentang persepsi, rasa dan prioritas. Eksperimen itu sendiri digagas oleh penulis Washington Post dan Josh hanya melaksanakan tugasnya, sebagai kunci utama dalam proses eksperimen.

Pada suatu hari di bulan Januari 2007, Josh Bell, musisi violin kelas dunia, yang harga tiketnya sekitar satu juta rupiah per orang berpura - pura menjadi musisi jalanan di sebuah stasiun metro yang ramai dan padat pengunjung. Josh, mengenakan baju biasa namun bermain dengan tehnik musik yang luar biasa, memainkan lagu - lagu Bach yang ditulis secara brilliant dan menggunakan instrumen violin seharga 3,5 juta dollar.

Ribuan orang lewat dan lalu lalang didepannya. Hanya beberapa orang yang menyadari bahwa mereka sedang mendengarkan musisi wahid yang memainkan keindahan nada liwat alunan violinnya. Ribuan lainnya tergesa oleh waktu, takut terlambat menuju ke tempat kerja dan pikiran mereka dipenuhi oleh hal - hal yang menjadi beban kehidupan. Hanya beberapa orang, hanya beberapa yang menyadari betapa indahnya alunan violin yang dimainkan oleh Josh.

Beberapa anak kecil sungguh - sungguh ingin berhenti dan mendengar permainan Josh, tetapi orang-tua mereka keberatan dan ingin segera berlalu dari situ karena dikejar oleh waktu. Satu - dua orang yang menikmati permainan Josh adalah mereka yang pernah belajar violin ketika kecilnya. Satu orang bahkan menempuh pendidikan khusus seni musik dan mendalami violin, namun lalu menyerah karena menganggap dirinya tak akan mampu mencari nafkah dengan bermusik. Pikiran yang sangat logis! Barangkali saya dan Anda juga pernah menyerah oleh pikiran semacam itu!

Ketika sebagian orang yang lalu lalang di stasiun metro itu diberitahukan bahwa yang sedang bermain musik laksana pengamen tersebut adalah musisi yang sangat tersohor, mereka terkejut luar biasa. Betapa mereka melewatkan keindahan yang ada didepan mata dan diberikan secara gratis. Karena jika diharuskan membeli tiket pertunjukan Josh tentunya akan cukup mahal, harganya ketika itu sekitar 100 USD.

Artikel ini menarik karena menggambarkan betapa manusia selalu dikaburkan oleh persepsi, rasa dan prioritas dalam kehidupannya. Persepi membuat orang mudah menilai dan memberi label pada Josh, sebagai musisi jalanan yang mengamen, sebagian merasa kasihan dan berpikir apakah Josh mampu mencukupi kebutuhan dengan mengamen seperti itu? Sementara yang lainnya membuat skala prioritas dengan terburu - buru, mengedepankan ketergesaan atas suatu tujuan atau ambisi, takut terlambat, takut dimarah atasan, takut kehilangan client, dsb. Rasa, adalah satu - satunya sensor dalam diri yang sebenarnya menjadi pengingat. Rasa mengingatkan manusia akan keindahan, kelembutan, kesabaran dan perhatian.

Secara keseluruhan artikel tersebut memotret dengan baik betapa manusia khususnya yang telah dewasa seringkali acuh, atau bahkan pada banyak waktu mengabaikan hal - hal indah yang ada disekeliling karena dibutakan oleh berbagai prioritas. Seperti ambisi, cita - cita, materi dan sebagainya. Anak - anak, masih memiliki sensor rasa yang kuat. Mereka mudah tertarik oleh hal - hal yang tidak biasa, mendengar dengan seksama dan memberikan perhatian.

Kedewasaan juga mengaburkan persepi dengan apa yang telah diajarkan, entah oleh orang tua, lingkungan atau budaya. Penilaian tidak lagi murni dari nol tetapi sudah ada plus-minus yang ditambahkan. Sebagai contoh adalah penilaian tentang Josh yang sambil lalu nampak seperti musisi jalanan, padahal sebenarnya ia adalah musisi kaliber dunia. Eksperimen ini membuat saya bertanya - tanya, sudah sedemikian butakah kita sehingga ketergesaan, ambisi dan nafsu mengambil alih semua rasa?

Video by : Romy M Panlilio, Sumber : Experiment Josh Bell

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun