Ide bagus tak mengenal waktu dan tempat. Ia singgah dan pergi sesuka hati. Jika tidak segera ditangkap, ia akan hilang tertimbun ide-ide lain atau terurai seiring ingatan memudar.
Untuk Sandy Dwiputra, momen pencerahan ini datang ketika sedang hendak mengisi perut.
“Saat aku sedang makan ayam goreng muncul pikiran, ‘pengalaman makan tidak nikmat tanpa ditemani sambal,’” cerita dia. “Sejak itu aku menyadari betapa orang Indonesia sangat menggemari sambal.”
Ujaran Sandy tepat sasaran. Dalam ranah kuliner, ternyata motto Bhineka Tunggal Ika juga berlaku; meski letak geografis berbeda, kecintaan terhadap sambal tetap sama.
Dari Sabang sampai Merauke, sambal dengan tampilan, cita rasa dan aroma beragam hadir menemani karbohidrat (nasi, singkong, kentang) dan protein (ayam, ikan, tempe, tahu) di atas piring.
Sambal ijo Padang, sambal terasi Jawa Barat, sambal bajak Jawa Timur dan sambal teri Merauke hanyalah segelintir dari jajaran pelengkap makanan istimewa Nusantara.
Pengetahuan tersebut amat berharga bagi Sandy. Sebagai arek Malang yang menyukai taburan serba pedas, dia menantang diri untuk berinovasi di dunia percabaian.
Namun, bukankah membuat sambal adalah sesuatu yang mudah dilakukan? Simak saja resep sambal bajak yang ditampilkan di sebuah situs kuliner:
Pertama haluskan cabai merah besar, cabai merah keriting, cabai rawit merah, bawang merah dan terasi; Kedua, tumis bersama daun salam, lengkuas, dan serai sampai harum, lalu tambah garam dan gula merah. Aduk rata; Dan yang terakhir, tambahkan air asam. Masak di atas api kecil sampai meresap dan tinggal minyaknya.
Sambal simpel dan mudah! Sepintas semua orang sepertinya bisa membuatnya jika ada bahan dan tentunya niat.