“Ada efek anestesi dari kelaziman. Sebuah obat bius yang menumpulkan indera dan menyembunyikan ketakjuban hidup.”
Demikian kutipan Profesor Richard Dawkins dalam bukunya Unweaving the Rainbow yang diterjemahkan menjadi Mengurai Pelangi.
Ratapan tadi menggambarkan rasa penasaran terhadap ‘keajaiban’ dunia yang kian menyusut. Segala yang hadir di keseharian kita sering menjadi latar indah di panggung kehidupan tanpa mendapat perhatian lebih.
Sebut saja matahari, sang surya. Ia dikenal sebagai benda pembawa pagi hari, teriknya mengundang peluh dan momen kepergiannya melukiskan langit serba jingga dan merah.
Namun, tahukah bahwa matahari menyokong kehidupan bumi? Bola api yang berjarak 150 juta kilometer dari bumi ini membantu tanaman mengolah nutrisi dari tanah dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen yang kita hirup, serta hasil bumi yang kita nikmati.
Demikian pula rembulan yang berperan sebagai lentara malam dengan memantulkan sinar matahari. Bukan hanya memiliki efek terang, kehadiran bulan juga menyebabkan terjadinya pasang laut akibat gaya gravitasi yang ia miliki.
Ribuan bintang yang dapat dilihat oleh mata telanjang dan planet kerabat di tata surya yang diberi nama agung dewa-dewi Yunani yaitu Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus; semua lebih dari ornamen pengisi kekosongan luar angkasa.
“Tentu kita dihadiahkan bintang dan planet di atas langit, toh, bukan hanya sebagai hiasan,” jelas Widya Sawitar.
Penceramah di Planetarium dan Observatorium Jakarta ini lanjut menjelaskan bahwa bumi kita yang terasa amat luas ternyata hanya sebuah titik debu di samudera luar angkasa yang tampak tiada batas. Dan benda angkasa seperti matahari, bulan, planet dan bintang juga mengapung di samudera luas yang sama.
“Jika alam semesta diumpamakan sebagai rumah, maka kita layaknya ditempatkan di satu sudut kamar. Masih banyak yang belum kita ketahui mengenai halaman depan tempat tinggal kita sendiri,” kata pria berkacamata ini.
Dengan ucapan tersebut, Widya mengajak kita melihat dengan seksama setiap benda angkasa dan peristiwa yang terjadi di antara para bintang, tetapi juga sambil menelaah apa makna dibalik semua.
Lagi pula bukankah sebagai pemilik rumah kita harusnya lebih mengenal pelataran tempat tinggal sendiri?
Ilmu astronomi adalah wahana yang dapat menghantar kita lebih tahu tentang halaman depan kita.
Wikipedia menjelaskan astronomi sebagai “cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer bumi.”
Meski begitu, tidak salah juga jika astronomi disebut sebagai ilmu tentang alam semesta. Ya, alam semesta sama yang mencakup planet mungil bernama bumi.
Jika disamakan dengan olahraga, astronomi bukanlah sebuah disiplin yang berdiri sendiri seperti balap sepeda, lari marathon dan renang: Astronomi merupakan gabungan dari semuanya.
Layaknya triathlon yang memiliki lebih dari satu komponen, astronomi mengharuskan praktisi membekali diri dengan kefasihan bahasa matematis, keterampilan fisika, pengetahuan biologi mumpuni dan bekal ilmu kimia nan cukup demi memecahkan teka-teki bintang yang mengusik kaum manusia sejak lama:
Bagaimana alam semesta tercipta?
Jika alam semesta dilahirkan, akankah mengalami kematian?
Seberapa luas alam semesta?
Apakah black hole atau lubang hitam berisi alam semesta lain?
Adakah planet lain yang dapat ditinggali manusia selain bumi yang ada di pojokan kamar?
Adakah kehidupan di luar sana?
Pertanyaan tersebut mencetus lahirnya perpanjangan ilmu astronomi antara lain astrofisika yang mempelajari sifat badan angkasa; astrobiologi yang meneliti kehidupan di alam semesta; dan kosmologi yang meriset asal muasal, evolusi dan nasib akhir dari alam semesta; serta astronomi budaya.
“Dengan adanya matematika, fisika, kimia serta pemikir kreatif dan imajinatif seperti Albert Einstein dan Stephen Hawking, astronomi dilihat sebagai ilmu yang sulit untuk ‘dipegang’. Tetapi tidak semata itu. Kita harus melihat ada apa dibaliknya.”
Salah satu pesan implisit yang ia maksud adalah sumbangan astronomi pada ranah etika, moral bermasyarakat.
Jika meminjam perkataan almarhum astronom Carl Sagan:
“Astronomi dikatakan sebagai ilmu yang merendahkan hati dan membangun kepribadian. Tidak ada yang bisa memperlihatkan bodohnya keangkuhan manusia selain melihat potret bumi mungil yang diambil dari jarak jauh. Bagiku, ini menekankan kewajiban untuk memperlakukan sesama lebih baik, dan melihara serta mensyukuri si titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita ketahui.”
Tak kenal berarti tak sayang adalah idiom yang selamanya berlaku.
Dengan mengetahui ternyata bumi hanyalah merupakan satu-satunya rumah yang kita miliki – si titik biru pucat di tengah hamparan raksasa langit – diharapkan kita dapat lebih menghargai tempat tinggal kita beserta isinya dan juga sesama manusia.
Untuk semua kalangan
Astronomi adalah ilmu yang megah. Meski begitu, pengetahuannya bukan sesuatu yang eksklusif bagi kalangan elite.
“Bagi saya astronomi sangat menarik. Jika dilihat dari sudut pandang amatir, ilmu ini lebih menyenangkan dan tidak harus berkutat pada rumus. Kita dapat melihat hal-hal yang tidak dilihat kebanyakan orang,” kata Roni (27).
Roni adalah pengurus Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) yang telah berdiri sejak 1984. Himpunan ini diprakarsai untuk mengakomodasi masyarakat yang haus akan pengetahuan astronomi yang lebih mendalam.
Menaati visi yaitu ‘memasyarakatkan ilmu astronomi’, anggota HAAJ memiliki berbagai latar belakang dan berkumpul atas dasar kecintaan terhadap astronomi. Pekerjaan dan usia bukanlah batu sandungan bagi mereka yang tertarik untuk berpartisipasi.
Latar pendidikan pun tidak membatasi.
“Ada anggota yang berpendidikan informatika, matematika, bahasa, bisnis dan filsafat.”
Memang, ujar Roni, untuk menyukai astronomi seseorang tidak harus memiliki pendidikan astronomi formal. Ia sendiri adalah jebolan ilmu elektronika yang dipertemukan dengan ilmu perbintangan.
Himpunan baru saja menunaikan Star Party di Pusat Teknologi Penerbangan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Rumpin pada tanggal 13 dan 14 Agustus yang lalu. Para peserta menikmati acara peneropongan matahari, Planet Jupiter, Venus dan Mars, dan juga mengenal teknologi penerbangan tanah air.
Bila kecintaan astronomi anda belum terbina dan belum siap bergabung dengan para astronom amatir, maka Planetarium dan Observatorium Jakarta adalah batu loncatan yang baik untuk lebih mengenal ilmu kuno ini.
Pengunjung dapat menyaksikan pertunjukan teater bintang yang menggugah imajinasi dan sensasi dengan sesaat meninggalkan ibukota untuk melayang di antara bintang-bintang, melihat komet dengan ekornya yang panjang dan mengenal galaksi Bima Sakti yang memuat tata surya kita.
Pada tanggal tertentu, saat langit malam tidak diselimuti awan, peneropongan dibuka untuk umum di Planetarium. Bulan dengan wajahnya yang tidak mulus dan planet Saturnus yang bercincin, si balerina antariksa, dapat diamati menggunakan teleskop yang menengadah ke angkasa.
Tidak jarang kawula yang mengintip langit terkesima oleh puisi astronomi. Perasaan mendalam dapat banjir seperti oase yang mencegah hidup menjadi kering.
Claudius Ptolemaeus, astronom kuno Mesir, bersajak, “memang aku makhluk fana, aku tahu aku hidup hanya sehari, tetapi ketika aku menyaksikan bintang beramai-ramai menelusuri jalur melingkar, telapak kakiku tidak lagi menyentuh bumi; aku diangkat ke hadapan Zeus yang menyuguhkan Ambrosia, makanan para dewa.”
Maka anestesi yang menumpulkan indera digantikan dengan euforia yang mengundang rasa penasaran dan kagum; mengubah hal lazim menjadi mencengangkan; dan membangkitkan kerinduan manusia akan pengetahuan semesta.
Inilah rayuan para bintang. Inilah puisi astronomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H