Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi pusat dari berbagai fenomena viral yang menyedot perhatian publik secara masif. Salah satu fenomena yang cukup menarik adalah bagaimana sebuah konten, baik itu video, foto, maupun tulisan, dapat dengan cepat menyebar dan memengaruhi opini masyarakat dalam waktu singkat. Salah satu contoh nyata adalah kasus kampanye sosial bertajuk "#SaveTheEarth" yang beberapa waktu lalu menjadi viral di berbagai platform, mulai dari Instagram hingga TikTok. Kampanye ini menarik perhatian jutaan orang, dengan ribuan pengguna media sosial ikut berpartisipasi melalui unggahan kreatif, donasi, hingga demonstrasi nyata di dunia offline.
Namun, fenomena viral ini bukan tanpa tantangan. Di balik euforia dan partisipasi yang masif, muncul pula beberapa sisi gelap yang perlu dianalisis lebih dalam. Salah satunya adalah dampak psikologis dan sosial yang muncul akibat penyebaran informasi yang tidak selalu akurat. Dalam kampanye "#SaveTheEarth," misalnya, terdapat sejumlah klaim yang tidak berdasarkan fakta ilmiah, yang pada akhirnya justru menyesatkan sebagian besar audiens. Hal ini menunjukkan betapa mudahnya retorika yang dibangun di media sosial memengaruhi publik tanpa melalui proses verifikasi yang ketat.
Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, kita dapat menggunakan perspektif teori tradisi retorika dalam komunikasi. Tradisi retorika menitikberatkan pada seni persuasi, di mana seorang komunikator menggunakan strategi tertentu untuk memengaruhi audiensnya. Dalam konteks fenomena viral seperti kampanye "#SaveTheEarth," retorika digunakan untuk membangun narasi yang menarik, emosional, dan relevan bagi audiens. Strategi ini sering kali melibatkan elemen pathos (emosi), ethos (kredibilitas), dan logos (logika) yang dirancang untuk menciptakan resonansi dengan nilai-nilai audiens.
Pathos, misalnya, terlihat jelas dalam penggunaan gambar-gambar yang menyentuh hati, seperti foto satwa liar yang terdampak perubahan iklim. Elemen ini bertujuan untuk membangkitkan empati dan rasa tanggung jawab di kalangan audiens. Di sisi lain, ethos dimainkan melalui keterlibatan tokoh-tokoh publik atau influencer yang memiliki kredibilitas di mata masyarakat. Sementara itu, logos diwujudkan dalam bentuk infografis atau data statistik yang digunakan untuk mendukung argumen tentang urgensi isu yang diangkat.
Namun, efektivitas retorika dalam fenomena viral juga menghadirkan dilema etis. Ketika pathos terlalu mendominasi, audiens dapat terjebak dalam reaksi emosional yang kurang rasional. Hal ini sering kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyebarkan informasi yang bias atau bahkan hoaks. Di sinilah pentingnya edukasi literasi digital agar masyarakat dapat lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Kesimpulannya, fenomena viral di era media sosial adalah refleksi dari kekuatan retorika dalam membentuk opini publik. Dengan memahami strategi-strategi retorika yang digunakan dalam kampanye semacam "#SaveTheEarth," kita dapat lebih bijak dalam menavigasi arus informasi yang begitu deras. Pada akhirnya, tantangan terbesar bukanlah pada keberhasilan sebuah kampanye menjadi viral, tetapi pada bagaimana kita memastikan bahwa pesan yang disampaikan benar-benar bermanfaat dan berlandaskan fakta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H